Friday, March 31, 2006

Cermin-04

Ironi Hidup

Hidup ini penuh ironi. Teman saya, kariernya bagus, usianya belum 35 tahun sudah menduduki orang nomor dua di sebuah perusahaan besar. Mobil dinasnya Mercy keluaran baru. Tetapi dia tidak punya anak. Padahal sudah menikah hampir 12 tahun. Bukannya tidak pengen. Dia dan istrinya pengen sekali punya anak. Segala usaha sudah dilakukan. Nihil. Rumah luas dan megah miliknya terasa sepi.

Tetapi ada teman saya yang lain. Pekerjaannya hanya calo di terminal. Anaknya... ya ampun, enam orang! Saya sampai bingung, bagaimana dia kasih makan. Istrinya ya di rumah ngurusin anak-anak.

Bukan hanya itu itu ada orang yang kaya sekali sampai mungkin dia tidak tahu uangnya mau dipakai apa. Nyumbang sampai m-m-an dengan gampang saja. Tapi ada juga orang yang bahkan seratus dua ratus perak dia kumpulkan dengan telaten karena begitu berartinya.

Wednesday, March 29, 2006

Kata Hati-07

Kamu akhirnya pergi.
Meninggalkan sederetan kenangan indah
dalam batinku.
Yang akan kubingkai dalam relung cinta.

Bila kelak aku pergi
Semoga aku pun meninggalkan kenangan indah
di batin mereka?
Seperti kamu dalam batinku.

Cermin-03

Egois


Dulu, waktu masih di Jogja, setiap hari saya lewat Jalan Kaliurang; kalau mau ke kampus, atau antar anak sekolah, atau belanja ke supermarket. Rumah kontrakan saya di km. 13,5.

Jalan Kaliurang tidak begitu besar, tetapi dua arah cukup padat, terutama oleh sepeda motor. Apalagi pagi hari.

Maka, saya suka tidak habis pikir dengan pengendara mobil yang jalan perlahan sekali; sudah gitu, agak di tengah pula. Padahal di depannya kosong. Atau dua pengendara sepeda motor asyik ngobrol jalan paralel. Sedang jalan dari arah sebaliknya padat, jadi susah juga kalau mau nyusul. Sehingga kendaraan-kendaraan lain antri di belakang mereka.

Ya, mungkin mereka tidak sedang tergesa-gesa. Sedang santai. Tetapi bagaimana kalau misalnya di belakang mereka ada orang yang harus cepat-cepat tiba di kampus, atau di kantor, atau di rumah sakit? Saya pernah melihat ada kendaraan yang akhirnya memaksakan diri menyusul, dan serempetan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan.

Susahnya kalau di dunia ini masih saja ada orang-orang yang egois; yang hanya memikirkan kepentingan dan urusannya sendiri. Andai setiap orang bisa bertenggang rasa dengan memikirkan kepentingan dan kebutuhan orang lain juga, betapa akan damainya dunia ini. Barangkali kita bisa memulai dari diri kita sendiri.

Tuesday, March 28, 2006

Kata Hati-06

Darimu aku belajar tentang ketulusan.
Ketegaran. Dan cinta.
Terima kasihku untuk hadirmu.
Hadirmu adalah anugerah bagiku.

Adakah hadirku juga anugerah bagimu?
Adakah terima kasihmu untuk hadirku?
Kebajikan apa yang kamu pelajari dariku?
Semoga aku bagimu, seperti kamu bagiku.

Sunday, March 26, 2006

Cermin-02

Petani

Saya pernah membayangkan betapa enaknya jadi petani; tentram, tidak macam-macam. Hidup sehari demi sehari dengan bertani.


Bayangan saya berubah setelah saya tinggal di Jatimulyo. Hampir tiap hari saya berbincang dengan Pak Mardi, pemilik sawah persis di depan rumah; dan melihat sendiri bagaimana Pak Mardi setiap harinya. Kalau sawah akan mulai ditanami, setiap hari subuh-subuh atau tengah malam harus ngecek kalau-kalau saluran air mampet. Sebab kalau sampai kurang air bisa lama lagi sawah siap ditanami.

Kalau padi sudah berbulir, ia harus berjuang mengusir burung. Pernah saya tanya, kok tidak pakai boneka sawah, seperti dulu waktu kecil kerap saya lihat bila main ke sawah. “Burung sekarang pintar, Mas. Satu dua hari takut. Setelah itu, nggak takut lagi.” Maka, jadilah setiap hari nggak pagi, nggak siang, nggak sore Pak Mardi teriak-teriak mengusir burung-burung itu. ‘Oah... weyu.....”

Ah, segala sesuatu memang enak kalau dilihat dari luar. Tapi sebelum menilai enak atau tidak, lihat dulu ke dalam, rasakan, alami, baru bicara. Setiap profesi setiap peran setiap keadaan, pasti ada enak dan tidak enaknya.

Kata Hati-05

Betapa tipis jarak antara cinta dan benci.
Dulu kau tebar cinta di jantungku.
Kini, bahkan di sekujur tubuhku, kau tabur racun.

Tapi aku tidak bisa membencimu.
Kuterima itu sebagai salahku:
Kenapa dulu tak kumatikan saja cintamu?!

Saturday, March 25, 2006

Kata Hati-04


Aku seumpama Abraham,
yang dipanggil dari kemapanan
dan kenyamanan
ke suatu negeri antah berantah.

Maka aku akan mengalir.
Dengan doa:
“Ini aku, Tuhan.
Pakailah seturut kehendak-Mu.”

Cermin - 01

Bakmi Kadin

Dulu kalau ke Jogjakarta, biasanya saya mampir di Bakmi Kadin. Semula namanya Bakmi Mbah Karto, tetapi karena tempatnya di depan Kadin, jadinya terkenal dengan Bakmi Kadin. Pun ketika sudah pindah tempat ke Bintaran Kulon, dekat Bioskop Permata.

Tempatnya sih sederhana; ruangan sekitar 4x4 meter, dengan meja-bangku dari papan biasa. Tetapi masaknya memang enak, bumbunya pol (istilah bahasa Jawa, mungkin kependekan dari jempol, artinya oke). Tidak heran pembeli biasanya antri. Apalagi kalau jam makan, atau malam minggu. Orang bisa nunggu sampai setengah jam lebih untuk dapat tempat duduk. Padahal makannya --plus nyeruput bajigur panasnya-- paling-paling seperempat jam.

Agak aneh juga sebenarnya. Lha, bahannya ‘kan sama dengan penjual bakmi lain; entah yang di jalan Solo, jalan Kaliurang, Alun-alun. Bakminya, bihunnya, sayurannya, bumbunya, daging dan telor ayamnya. Semua sama. Kalau pun ada yang beda, ya cuma yang masak.

Ini bukti bahwa yang penting bukan apa; seberapa banyak atau seberapa bagus yang kita punya, tetapi bagaimana kita mengelola dan menggunakannya. Meski pun yang kita punya biasa-biasa saja, tetapi kalau kita kelola dengan "oke", maka hasilnya akan sangat luar biasa.

Friday, March 24, 2006

Kata Hati-03

Aku bilang padanya, kemarilah.
Dia hanya berdiri mematung.

Aku ingin mendekapnya.
Tapi dia melengos dan pergi.

Dia memiliki kehendaknya sendiri.
Yang tak selalu sejalan dengan kehendakku.

Dia adalah sang hidup.

Thursday, March 23, 2006

Kata Hati-02


Na, aku galau. Gundah.
Dalam rentang panjang bimbang.
Dan aku sendiri.

Aku ingin kamu ada di sini.
Di sisiku. Menuntunku.
Menelusuri lekuk liku “takdirku”.

Seperti ketika itu.

Wednesday, March 22, 2006

Kata Hati-01


Na, aku ingin kembali ke masa itu
Masa ketika kita bocah di kampung

Kita akrab dengan sawah
Dengan sungai bening
Dengan gunung dan hutan

Raga kita dekat dengan raga alam
Jiwa kita menyatu dengan jiwa alam
Ada damai yang kita damba

Khotbah

Kemaren nonton Crash. Film yang dibintangi antara lain Sandra Bullock, Matt Dillon, dan Brendan Fraser. Tadinya saya pikir itu film mirip-mirip Speed. Tapi koq dapet Oscar sebagai film terbaik. Mana ada kan film “ringan” macam Speed dapet film terbaik Oscar?
Dan benar, jauh dari model Speed. Nggak “ringan”. Nontonnya kudu perhatiin benar. Sedikit kelewat dialognya, buyar deh.

Dari segi penyajian sih film itu sangat oke-lah. Pemain-pemainnya juga bagus. Cuma alur ceritanya nggak menarik. Ngebosenin. Nggak ada klimaksnya. Nggak ada kesimpulannya. Malah kayaknya nggak ada pemain utamanya pula. Semuanya pemain dapat porsi relatif sama.

Bercerita tentang rasialisme di tengah keseharian masyarakat Amerika. Tapi penggambarannya kayak potongan-potongan puzzle. Setiap potongan punya cerita sendiri-sendiri. Dan setiap bagian cerita itu kemudian berkaitan secara kebetulan. Cuma dibikin begitu rupa sehingga nggak kayak kebetulan.

Saya coba ringkas ni ya.
Tokoh-tokohnya: Sepasang suami (a) istri (b) kulit putih. Sang suami seorang pengacara sibuk. Sang istri kesepian. Dua orang pemuda berandalan kulit hitam (c) (d). Sepasang suami (e) istri (f) kulit hitam. Hubungan mereka tengah bermasalah. Dua orang polisi kulit putih (g) (h). (g) tengah menghadapi masalah dengan asuransi kesehatan, ayahnya sakit-sakitan. (h) seorang polisi idealis.

Seorang detektif kulit hitam (i) dengan kekasihnya seorang gadis Meksiko (j). Satu keluarga Persia: suami (k), istri, dan anak gadisnya. Mereka punya toko kelontong. Seorang tukang kunci jujur (l) dengan istri dan anaknya yang masih kecil. Karena warna kulit ia kerap dicurigai buruk walau sudah bertindak benar. Sepasang suami (m) istri (o) Cina.

Baru pemetaan tokoh-tokohnya sudah jelimet kan. Ceritanya lebih lagi. Begini potongan intinya. (i) bersama (j) tengah menyidik sebuah kasus pembunuhan. Mobil mereka tabrakan dengan mobil (o). (j) dan (o) bertengkar. Dalam pertengkaran itu soal ras terbawa-bawa.

(e) dan (f) kena tilang karena berbuat tidak senonoh di dalam mobil. (g) yang menilang melecehkan (e). ketika pelecehan itu terjadi (f) hanya diam saja. (e) marah kepada (f). (f) tidak terima disalahkan. Mereka bertengkar hebat. Hubungan mereka pun retak. (h) tidak terima (g) berbuat begitu.

(c) dan (d) merampas mobil (a) dan (b). Saat melarikan mobil itu tanpa sengaja mereka melindas (m). (f) mengalami kecelakaan mobil. (g) yang kebetulan ada di situ menyelamatkan nyawa (f). Sempat terjadi ketegangan. (f) menolak diselamatkan (g). Ia teringat peristiwa pelecehan dirinya oleh (g).

(l) membetulkan kunci pintu toko (k). (k) nggak puas dengan pekerjaan (l). Ia marah-marah. Besoknya tokonya habis dijarah maling. Ia menuduh (l). Lalu dengan sepucuk pistol ia mendatangi rumah (l). Terjadilah adegan sangat mengharukan. Hampir (k) membunuh anak (l) yang masih kecil.

(c) (d) merampas mobil (e). (e) yang lagi stress nekad melawan. (c) dan (d) tak berkutik. Mereka terpisah. (c) melarikan diri sendirian. Sedang (d) ikut (e) yang terus melarikan mobilnya. Mereka dikejar serombongan polisi. (h) yang ikut dalam pengejaran itu berhasil meredakan suasana.

Malam menjelang. (c) terlunta-lunta mencari tumpangan. (h) mengendarai mobil sendirian. Ia memberi tumpangan pada (c). Terjadi salah pengertian. (h) menembak (c) hingga tewas. (c) ternyata adik (i) yang menghilang dari rumahnya dan ditunggu-tunggu sang ibu. Jenazah (c) inilah yang disidik (i) di awal film..

Ribet ya? Hehehe itu nggak semuanya terceritakan loh.
Jadi, bisa dibayangkan jelimet dan ngebingunginnya kan?!
Lalu pesannya apa?
Ya, tentang rasialisme itu. Selebihnya embuh. Teu nyaho teuing abdi. Nggak tahu hehehehe.


*
Lain banget dengan film Jet Li, Fearless. Jalan cerita sederhana. Lurus. Mudah ditangkap. Kisah pendekar jagoan yang sombong. Karena kesombongannya ia harus kehilangan orang-orang yang dikasihinya. Ia jadi gila. Lalu sembuh. Dan kemudian jadi pahlawan.
Pesannya? Jadi orang tuh jangan takabur. Ketakaburan bisa bikin celaka; celaka diri sendiri, celaka orang lain. Rendah hati mendatangkan kehormatan.
Sebuah pesan yang very simple.
Dan perlu.
Asyik lagi nontonnya.
*
Mari bicara tentang khotbah.
Khotbah seperti film. Ada khotbah seperti film Crash tadi. Isinya berbobot; baik secara teologis maupun filosofis. Dalam, luas, lebar. Tafsir Alkitabnya pun canggih; entah dengan historis kritis, entah dengan tafsir naratif. Atau model tafsiran apa lagi gitu. Pokoknya secara akademis A plus deh.
Cuma ya, bagi orang kebanyakan jelimet. Ngebingungin. Orang harus mikir dan menebak-nebak. Sudah gitu, masih disuruh nyimpulin sendiri. Ujung-ujungnya kalau orang ditanya, apa pesannya? Jawabnya: Anu. Anu apa? Teu nyaho teuing abdi. Hehehe jadinya kumaha eta???
Ada khotbah jenis film Fearless. Sederhana. Pesannya jelas. Nggak muter-muter. Nggak di awang-awang. Asyik disimak. Enak gitu didengerinnya. Orang nggak disuruh menebak-nebak. Dari sisi akademis, ya biasalah. Tapi nggak buruk juga loh. Pendek kata orang pulang bawa “sesuatu” yang nempel di benak lekat di hati.
Selain itu ada juga khotbah bukan tipe Crash. Bukan tipe Fearless. Tapi tipe film Indonesia tempo dulu. Kayak “Persaingan Asmara” dan “Kutukan Nyi Blorong” :))
*
Just info, waktu nonton Crash, yang nonton cuma berdua; saya dan istri. Mbak penjaga bioskop sampai tanya, “Filmnya mau tetap diputerin, atau dikembalikan saja uangnnya?” Karena tanggung, saya dan istri pilih lanjut :)). Khotbah ala Crash, ya setali tiga uanglah. Kurang peminat.

Sedang waktu nonton Fearless, saya sampai dua kali ngantri karena kehabisan karcis. Baru ngantri ketiga dapet. Itu pun di barisan kedua paling depan. Nah, Kalau khotbah ala Fearless, okelah. Orang pasti berbondong-bondong mau dengerin. Bisa sampai ngebela-belain.
Lalu bagaimana dengan khotbah ala “Persaingan Asmara” dan “Kutukan Nyi Blorong”??? Hehehe, jangan tanya saya. Suer, saya nggak nonton. Bukan nggak nasionalis. Tapi gimana ya. Dibayarin pun nggak deh. Mending di rumah baca buku atau nonton Discovery Channel atau National Geographic.
*****

Tuesday, March 14, 2006

Pornopikir

Dari buku lawas yang ditulis oleh Anthony de Mello SJ, Burung Berkicau, saya membaca cerita ini. Judulnya Rahib dan Wanita:

Dua orang rahib Budha, dalam perjalanan pulang kembali ke biara, bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita di tepi sungai. Seperti mereka wanita itu pun ingin menyeberangi sungai. Sayang, airnya terlalu tinggi. Maka salah seorang rahib menggendongnya sampai di seberang.

Rahib yang satunya lagi sungguh-sungguh merasa mendapat baru sandungan. Selama dua jam penuh ia mencacimaki temannya, karena lengah mematuhi Peraturan Suci: Apakah ia lupa, bahwa ia seorang rahib? Bagaimana ia sampai-sampai berani menyentuh seorang wanita? Dan lebih lagi, menggendongnya menyeberang sungai? Lalu bagaimana kata orang nanti? Apakah ia tidak merendahkan martabat agamanya? Dan begitu seterusnya.

Rahib yang bersalah itu dengan sabar mendengarkan khotbah yang tak habis-habisnya itu. Akhirnya ia menyela: "Kawanku, aku sudah meninggalkan wanita tadi di pinggir sungai. Apakah engkau tetap membawanya?"

Terkadang masalahnya tidak terletak di si pelaku, tapi di pikiran orang yang melihat. Kalau pikiran orang itu sudah negatif dulu "ngeres, sirik, penuh prasangka buruk" maka segala yang dilihatnya akan dimaknai negatif. Padahal orang yang melakukan mungkin hanya spontan; tidak dengan maksud apa-apa, juga tidak dengan pikiran macam-macam.
Coba deh tanya Inul. Apakah maksud di balik goyang ngebornya yang tersohor itu sama dengan yang Rhoma Irama cs pikirkan?! Lalu, silahkan nilai sendiri, mana sebetulnya yang ngeres, si pelaku atau si pelihat? :)). Karena itu, usul saya, kalau nanti RUU anti pornografi dan pornoaksi jadi diberlakukan, baiknya dilengkapi juga dengan anti pornopikir.

Intinya sih, jangan sampai ada orang yang menjadi "polisi moral", padahal ia sendiri jauh dari bermoral. Bisa melihat semut di mata orang lain, sedang gajah di matanya sendiri tidak dilihatnya. Sebab, seperti komentar Anthony de Mello pada cerita di atas, pikiran yang terus "mengunyah-ngunyah" kesalahan orang lain, malah bisa jauh lebih berbahaya dari kesalahan itu sendiri.

*

Ini cerita lain. Di sebuah gereja, ibu-ibu Komisi Wanita bikin kegiatan senam aerobik. Seminggu sekali, setiap Kamis sore. Tempatnya di aula gereja. Tujuannya sederhana, selain alasan untuk kesehatan, juga sebagai wadah kebersamaan para ibu yang suka senam. Walau dalam praktek, ada juga satu-dua orang bapak yang ikutan.
"Nemenin ibu," kata bapak yang pertama menunjuk kepada istrinya.
"Nemenin bapak," kata bapak yang kedua menunjuk kepada bapak yang pertama. Kedua bapak itu teman baik.
Awalnya kegiatan itu berjalan oke-oke saja. Aman, lancar, terkendali. Tapi tidak lama kemudian, timbul kasak-kusuk. Pangkal masalahnya, pakaian senam aerobic para ibu itu ketat. "Masak di gereja, pakai pakaian kayak begitu sih!" Dari kasak-kusuk timbul gerundelan. Dari gerundelan timbul protes.
Karuan ibu-ibu itu meradang. "Lha, namanya saja senam, masak mesti pakaian gedobyor sih," kata seorang ibu sengit.
"Iya. Lagian, dibanding dengan yang di sanggar-sanggar senam, nggak ketat-ketat amat koq kita," kata ibu yang lain.
"Memang tuh, pikirannya saja yang ngeres," kata ibu yang lain lagi.
Majelis Jemaat pun turun tangan.
Bagaimana keputusannya?
THE END.
Layar pun ditutup.
Siapa salah, siapa ngeres? Kesimpulannya di tangan pembaca.(ayub yahya)

Friday, March 10, 2006

Ayah's Quote of The Days-02

Jujur

Bu Bagus dan Bu Murni mengunjungi Pak Nirman yang sedang sakit dan di rawat di rumah sakit.

Pak Nirman bercerita, ada kelainan yang cukup serius pada jantungnya. Jadi mungkin harus dioperasi.

“Bapak tidak usah kuatir,” kata Bu Bagus membesarkan hati. “Suami saya juga dulu operasi jantung. Di rumah sakit ini pula malah.”

“Suami ibu ada kelainan jantung juga?” tanya Pak Nirman.

“Iya. Sama dengan Bapak. Mulanya dia suka sesak kalau bernapas. Dada agak sakit. Setelah diperiksa ternyata memang harus operasi jantung.”

“Sekarang suami ibu sudah sembuh?”

“Nggak. Sudah meninggal.”

Ayah's quote of the days:
Jujur memang baik, tetapi kalau tidak disertai dengan kebijaksanaan jadinya malah bodoh. Ibarat ketulusan tanpa kecerdikan.

Friday, March 03, 2006

Ayah's Quote of The Days-01

Boni

Boni, anjing milik Pak Bob, tetangga saya. Lucu dan jinak dia. Bulunya putih dengan totol-totol coklat di seputar lehernya. Tetapi kalau ada orang asing Boni akan ribut menggonggong.

Suatu kali boni sakit. Oleh Pak Bob dibawa ke dokter hewan. Pak Dokter memberi sejenis obat cair berwarna hitam, kental dan agak berbau amis. Sehari tiga kali harus diminum Boni.

Sore itu saya mendengar Boni mengaing-ngaing. Saya melongok dari jendela. Tampak Pak Bob sedang berusaha keras memberi Boni obat. Boni meronta-ronta. Pak Bob menjepit tubuh Boni dengan kedua kakinya. Tangan kanan berusaha membuka mulut boni. Tangan kiri memegang obat.

Obat itu tumpah. Pak Bob jengkel. Boni disepaknya. Boni berlari menjauh. Sekitar setengah jam kemudian, saya lihat Boni sedang menjilat-jilat tumpahan obat itu. Asyik sekali dia. Dalam sekejap tumpahan obat itu ludes.


Ayah's quote of the days :
"Jelaslah, Boni bukan menolak obatnya. Yang dia tolak adalah cara Pak Bob memberinya obat. Kerap memang, yang penting itu bukan sesuatunya, tetapi cara kita menyampaikan sesuatu itu. Tidakkah begitu?"

Atas Nama Cinta


Cinta, seperti rakyat kecil di negeri ini, kerap hanya diatasnamakan. Diingat dan disuarakan – atau bahkan diagungkan – kalau lagi diperlukan.

Maka, jangan heran kalau, tanpa merasa bersalah atau malu, tidak sedikit orang yang memaksakan keinginannya, mengkhianati, mengeksploitasi, menindas atau bahkan membunuh sesamanya atas nama cinta.

Ironis memang. Cinta yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan dan kenangan indah, ini malah membuahkan derita dan mimpi buruk. Cinta yang seharusnya menghidupkan, senyatanya justru mematikan.


Inilah sesungguhnya tragedi terbesar dalam peradaban manusia. Yaitu, ketika cinta – karena kedegilan, kebodohan, egoisme dan egosentrisme – lantas menjadi ungkapan kosong; tanpa makna, tanpa “getar”, tanpa “greget”. Seperti kicau burung bagi yang tidak bisa mendengar, indahnya alam bagi yang tidak bisa melihat.

Padahal cinta adalah roh kehidupan. Cerah suramnya dunia ini sangat ditentukan oleh cinta. Suka dan duka, bahagia dan derita, tawa dan tangis dalam kehidupan kita sangat ditentukan oleh ada dan tidak adanya cinta. Ketika cinta tiada, maka yang tinggal hanyalah aroma kematian.

Yogyakarta, Maret 2004
Ayub Yahya