Tuesday, March 14, 2006

Pornopikir

Dari buku lawas yang ditulis oleh Anthony de Mello SJ, Burung Berkicau, saya membaca cerita ini. Judulnya Rahib dan Wanita:

Dua orang rahib Budha, dalam perjalanan pulang kembali ke biara, bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita di tepi sungai. Seperti mereka wanita itu pun ingin menyeberangi sungai. Sayang, airnya terlalu tinggi. Maka salah seorang rahib menggendongnya sampai di seberang.

Rahib yang satunya lagi sungguh-sungguh merasa mendapat baru sandungan. Selama dua jam penuh ia mencacimaki temannya, karena lengah mematuhi Peraturan Suci: Apakah ia lupa, bahwa ia seorang rahib? Bagaimana ia sampai-sampai berani menyentuh seorang wanita? Dan lebih lagi, menggendongnya menyeberang sungai? Lalu bagaimana kata orang nanti? Apakah ia tidak merendahkan martabat agamanya? Dan begitu seterusnya.

Rahib yang bersalah itu dengan sabar mendengarkan khotbah yang tak habis-habisnya itu. Akhirnya ia menyela: "Kawanku, aku sudah meninggalkan wanita tadi di pinggir sungai. Apakah engkau tetap membawanya?"

Terkadang masalahnya tidak terletak di si pelaku, tapi di pikiran orang yang melihat. Kalau pikiran orang itu sudah negatif dulu "ngeres, sirik, penuh prasangka buruk" maka segala yang dilihatnya akan dimaknai negatif. Padahal orang yang melakukan mungkin hanya spontan; tidak dengan maksud apa-apa, juga tidak dengan pikiran macam-macam.
Coba deh tanya Inul. Apakah maksud di balik goyang ngebornya yang tersohor itu sama dengan yang Rhoma Irama cs pikirkan?! Lalu, silahkan nilai sendiri, mana sebetulnya yang ngeres, si pelaku atau si pelihat? :)). Karena itu, usul saya, kalau nanti RUU anti pornografi dan pornoaksi jadi diberlakukan, baiknya dilengkapi juga dengan anti pornopikir.

Intinya sih, jangan sampai ada orang yang menjadi "polisi moral", padahal ia sendiri jauh dari bermoral. Bisa melihat semut di mata orang lain, sedang gajah di matanya sendiri tidak dilihatnya. Sebab, seperti komentar Anthony de Mello pada cerita di atas, pikiran yang terus "mengunyah-ngunyah" kesalahan orang lain, malah bisa jauh lebih berbahaya dari kesalahan itu sendiri.

*

Ini cerita lain. Di sebuah gereja, ibu-ibu Komisi Wanita bikin kegiatan senam aerobik. Seminggu sekali, setiap Kamis sore. Tempatnya di aula gereja. Tujuannya sederhana, selain alasan untuk kesehatan, juga sebagai wadah kebersamaan para ibu yang suka senam. Walau dalam praktek, ada juga satu-dua orang bapak yang ikutan.
"Nemenin ibu," kata bapak yang pertama menunjuk kepada istrinya.
"Nemenin bapak," kata bapak yang kedua menunjuk kepada bapak yang pertama. Kedua bapak itu teman baik.
Awalnya kegiatan itu berjalan oke-oke saja. Aman, lancar, terkendali. Tapi tidak lama kemudian, timbul kasak-kusuk. Pangkal masalahnya, pakaian senam aerobic para ibu itu ketat. "Masak di gereja, pakai pakaian kayak begitu sih!" Dari kasak-kusuk timbul gerundelan. Dari gerundelan timbul protes.
Karuan ibu-ibu itu meradang. "Lha, namanya saja senam, masak mesti pakaian gedobyor sih," kata seorang ibu sengit.
"Iya. Lagian, dibanding dengan yang di sanggar-sanggar senam, nggak ketat-ketat amat koq kita," kata ibu yang lain.
"Memang tuh, pikirannya saja yang ngeres," kata ibu yang lain lagi.
Majelis Jemaat pun turun tangan.
Bagaimana keputusannya?
THE END.
Layar pun ditutup.
Siapa salah, siapa ngeres? Kesimpulannya di tangan pembaca.(ayub yahya)

No comments: