Minggu, 24 Desember 2006 -- Siang waktu di bis pulang dari gereja, saya dapat SMS panjang dari seorang teman di Jakarta: Td spnjng kebak di grj, sy cb ingt2. Ada ga mmen ntl yg "sking b'ksnnya" jd pny bks dlm ingtn sy. Enth sy sdh segt pkunnya or apa, jjr sy ga nmu. Bhkn spnjng jln plng slsi keb jg gt. Ga ada knngn ntl yg msh sy ingt. Sy tb2 jd "melow" bngt. Btp hmbr ntl 4 sy. Dr dl smpi skrg :( Wkt kcl ga ada yg sy ingt slain ke grj. N itu ga tnmkn ksn diht sy. Smpi sy rmj n dws. nothing.
Saya jadi merenung. Apakah saya juga punya kenangan Natal? Waktu kecil di Bandung yang saya ingat Natal berarti pasang pohon Natal. Saya biasa kebagian ngambil pohon Natal yang disimpan di ruang antara langit dan genteng (Sunda: para). Naik kursi. Terus ngegelantung nginjek dinding (Sunda: nerekel naek). Rumah kami sebagian dari gedek. Langit-langit juga dari gedek (Sunda: bilik). Jadi banyak sekali debunya. Kakak-kakak saya yang masang dan kasih hiasan. Biasanya sampai seminggu setelah tahun baru. Lalu diberesin lagi. Dan dikembalikan ke para.
Kemudian saya masuk STT di Yogyakarta. Lulus 1991. Langsung "masuk" Jemaat. Sejak itu Natal selalu saya habiskan di gereja. Sampai terakhir setahun yang lalu. Sibuk dengan acara ini dan itu. Di rumah pun praktis ga ada aksesoris Natal. Baru dua tahun lalu punya pohon Natal kecil. Kezia yang minta. Adakah sesuatu yang membekas? Rasanya ga ada juga. Tahun ini mungkin bisa jadi Natal yang "berbeda". Suasana beda. Lingkungan beda. Kesibukan juga beda. Yang pasti inilah pertama kali setelah 15 tahun saya bisa Natalan bareng keluarga di rumah.
Tadi siang saya pimpin persekutuan Pelaut. Ada seorang teman pelaut yang sharing. Anaknya baru lahir dua minggu yang lalu. Lagi sakit. Ia pengen bisa nemenin. Tapi karena kerjaan, ga bisa. Saya selalu bersimpati dengan teman-teman pelaut seperti juga teman-teman Maria Marta. Bisa jadi justru merekalah yang punya banyak kenangan Natal yang penuh kesan. Mereka harus jauh dari keluarga, justru pada momen-momen di mana hampir semua orang berkumpul dengan keluarga.
Saya jadi merenung. Apakah saya juga punya kenangan Natal? Waktu kecil di Bandung yang saya ingat Natal berarti pasang pohon Natal. Saya biasa kebagian ngambil pohon Natal yang disimpan di ruang antara langit dan genteng (Sunda: para). Naik kursi. Terus ngegelantung nginjek dinding (Sunda: nerekel naek). Rumah kami sebagian dari gedek. Langit-langit juga dari gedek (Sunda: bilik). Jadi banyak sekali debunya. Kakak-kakak saya yang masang dan kasih hiasan. Biasanya sampai seminggu setelah tahun baru. Lalu diberesin lagi. Dan dikembalikan ke para.
Kemudian saya masuk STT di Yogyakarta. Lulus 1991. Langsung "masuk" Jemaat. Sejak itu Natal selalu saya habiskan di gereja. Sampai terakhir setahun yang lalu. Sibuk dengan acara ini dan itu. Di rumah pun praktis ga ada aksesoris Natal. Baru dua tahun lalu punya pohon Natal kecil. Kezia yang minta. Adakah sesuatu yang membekas? Rasanya ga ada juga. Tahun ini mungkin bisa jadi Natal yang "berbeda". Suasana beda. Lingkungan beda. Kesibukan juga beda. Yang pasti inilah pertama kali setelah 15 tahun saya bisa Natalan bareng keluarga di rumah.
Tadi siang saya pimpin persekutuan Pelaut. Ada seorang teman pelaut yang sharing. Anaknya baru lahir dua minggu yang lalu. Lagi sakit. Ia pengen bisa nemenin. Tapi karena kerjaan, ga bisa. Saya selalu bersimpati dengan teman-teman pelaut seperti juga teman-teman Maria Marta. Bisa jadi justru merekalah yang punya banyak kenangan Natal yang penuh kesan. Mereka harus jauh dari keluarga, justru pada momen-momen di mana hampir semua orang berkumpul dengan keluarga.
No comments:
Post a Comment