Senin, 26 Desember 2006 -- Hari ini dua tahun peristiwa tsunami di Aceh, Nias dan sekitarnya. Saya jadi terkenang saat itu. Tangal 31-nya saya pimpin kebaktian tutup tahun di Kayu Putih. Saya puter lagu Ebiet G Ade, "Untuk Kita Renungkan", sebagai bagian dari khotbah. Di tengah khotbah, saya ga bisa menahan airmata. Dalam hidup saya, dua kali saya ga tahan untuk ga menangis sewaktu berkhotbah. Pertama, waktu peristiwa tsunami itu. Kedua, waktu perpisahan saya dengan jemaat Kayu Putih. Dua peristiwa yang sangat mengetarkan.
Beberapa tahun belakangan, Indonesia hampir selalu menutup dan mengawali tahun dengan musibah. Tsunami Aceh itu yang terbesar. Musibah selalu mengundang sebuah tanya: kenapa bumi yang dalam Alktab disebut sebagai ciptaaan Tuhan yang sungguh amat baik, tiba-tiba jadi mesin pembunuh yang mematikan? Kalau ini dikatakan karena dosa, lalu dosa siapa? Siapa yang berbuat doa siapa yang terkena dampaknya? Musibah juga hampir selalu membuka kembali gugatan yang ga akan pernah berakhir: akan Kemahakuasaan, Kemahadilan, dan Kemahabaikan Tuhan. Tapi itulah batas manusia.
Ada satu hal yang sampai sekarang saya sesali. Tadinya dengan teman-teman relawan GKI saya sudah berniat berangkat ke Aceh. Tapi karena waktu keadaan di Aceh masih chaos, transportasi sulit. Jadi ga ada jaminan sampai kapan bisa pulang. Padahal saya ada beberapa tugas yang ga bisa ditinggal dalam dua minggu ke depannya; peneguhan nikah yang sudah dipersiapakan 6 bulan sebelumnya, terus juga acara retreat klasis. Akhirnya saya ga jadi berangkat. Sungguh saya kagum dengan teman-teman relawan yang ketika itu berangkat. Saya tahu ga mudah tugas mereka di sana. Saya sangat menyesal ga jadi pergi ketika itu. Saya selalu punya cita-cita punya pengalaman "hidup-mati". Dengan catatan selamat gitu :).
Di sini seharian hujan terus. Kantor masih libur. Siang temenin keluarga ke Sim Lim. Kalau di Jakarta, kayak Glodok-nya. Tempat jual alat-alat elektronik. Wah tekhnologi elektronik sekarang benar-benar luar biasa perkembangannya. Kayak MP4, lalu DVD kecil yang langsung nyambung dengan player-nya. Terus apa lagi gitu. Hebatnya lagi, dibanding dengan dengan kapasitasnya harganya termasuk "murah-lah". Saya melihat alat-alat canggih yang beberapa tahun lalu ga terbayangkan akan ada. Kagum juga pada para pembuat alat-alat itu.
Beberapa tahun belakangan, Indonesia hampir selalu menutup dan mengawali tahun dengan musibah. Tsunami Aceh itu yang terbesar. Musibah selalu mengundang sebuah tanya: kenapa bumi yang dalam Alktab disebut sebagai ciptaaan Tuhan yang sungguh amat baik, tiba-tiba jadi mesin pembunuh yang mematikan? Kalau ini dikatakan karena dosa, lalu dosa siapa? Siapa yang berbuat doa siapa yang terkena dampaknya? Musibah juga hampir selalu membuka kembali gugatan yang ga akan pernah berakhir: akan Kemahakuasaan, Kemahadilan, dan Kemahabaikan Tuhan. Tapi itulah batas manusia.
Ada satu hal yang sampai sekarang saya sesali. Tadinya dengan teman-teman relawan GKI saya sudah berniat berangkat ke Aceh. Tapi karena waktu keadaan di Aceh masih chaos, transportasi sulit. Jadi ga ada jaminan sampai kapan bisa pulang. Padahal saya ada beberapa tugas yang ga bisa ditinggal dalam dua minggu ke depannya; peneguhan nikah yang sudah dipersiapakan 6 bulan sebelumnya, terus juga acara retreat klasis. Akhirnya saya ga jadi berangkat. Sungguh saya kagum dengan teman-teman relawan yang ketika itu berangkat. Saya tahu ga mudah tugas mereka di sana. Saya sangat menyesal ga jadi pergi ketika itu. Saya selalu punya cita-cita punya pengalaman "hidup-mati". Dengan catatan selamat gitu :).
Di sini seharian hujan terus. Kantor masih libur. Siang temenin keluarga ke Sim Lim. Kalau di Jakarta, kayak Glodok-nya. Tempat jual alat-alat elektronik. Wah tekhnologi elektronik sekarang benar-benar luar biasa perkembangannya. Kayak MP4, lalu DVD kecil yang langsung nyambung dengan player-nya. Terus apa lagi gitu. Hebatnya lagi, dibanding dengan dengan kapasitasnya harganya termasuk "murah-lah". Saya melihat alat-alat canggih yang beberapa tahun lalu ga terbayangkan akan ada. Kagum juga pada para pembuat alat-alat itu.
No comments:
Post a Comment