Saturday, May 12, 2007

Info Sabtu - 05

Mengenang Tragedi Mei 1998
Kenangan Mei: Atikah

Dia lahir dan besar di Pontianak, Kalimantan Barat. Keluarga, teman-temannya di sekolah, juga para tetangganya memanggil dia Acui. No problem. Orang tuanya memang memberinya nama Siau Tjui. Sebuah nama biasa. Orang-orang di sekitarnya; entah yang Melayu, Jawa, Batak atau Madura juga tidak pernah menganggap nama itu sebagai nama asing. Karenanya dia tidak pernah merasa berbeda, apalagi dibedakan dengan, misalnya Masaroh, atau Tarmini, atau Jubaedah. Mereka berteman biasa saja. Tanpa ada sekat atau jurang pemisah.

Bahwa dia “berbeda” baru dia sadari, atau lebih tepat rasakan, setelah dia bersama keluarganya hijrah ke Jakarta. Di kota inilah, kota yang katanya paling maju dan modern di Indonesia, dia baru tersadarkan kalau dia keturunan Cina. Non-pri. Terutama ketika dia harus berhadapan dengan birokrasi yang mengurusi surat-surat keterangan dirinya. Di kota ini, kota yang katanya paling maju dan modern di Indonesia, batas antara “mereka” dan “kami” bahkan bisa dilihat hanya dalam secarik KTP.

Dan puncaknya adalah tragedi bulan Mei 1998. Masih jelas terbayang di matanya; seorang tetangganya, sesama perempuan keturunan Cina, meronta tiada daya, di antara seringai menjijikkan dan tawa para iblis berwajah manusia yang menistanya. Juga masih terngiang di telinganya; suara gedoran pintu, lalu teriakan-teriakan angkara murka para dursila menyebar ancaman dan teror, bercampur suara tangisan dan jerit ketakutan orang tua dan adiknya.

Dia tidak pernah tahu soal politik. Dia juga tidak mau ambil pusing dengan motif kepentingan apa dibalik tragedi itu. Yang dia tahu pasti, luka itu terasa pedih perih. Maka kemudian dia memilih; "mengubur" Acui. “Acui telah mati,” begitu ujarnya. Dan terlahir kembali sebagai Atikah. Lantas "kerudung" menjadi aksesoris kesehariannya; menutup lurus rambut panjangnya, dan sebagian oval wajahnya. Tetapi sorot mata itu, betapa pun tidak bisa berbohong; bahwa ada segores luka di sana, yang bahkan tidak tersembuhkan oleh berlalunya waktu.

Itulah Atikah, kisah seorang anak manusia yang gamang dengan identitasnya; lalu larut dalam kegamangan itu. Atikah, adalah sebuah jejak, bahwa di negeri ini pernah terjadi (dan mungkin masih akan terjadi; hari ini menimpa mereka, besok bisa jadi menimpa kita), keberadaban dan kebiadaban tak lagi jelas batasnya.

Dari Buku Potret Diri Tanpa Bingkai – Ayub Yahya, diterbitkan oleh Gloria Graffa

No comments: