Saturday, January 27, 2007

Renungan Sabtu - 33


Patung Polisi

Sudah lama saya melihat di banyak perempatan ada patung polisi; berdiri tegak dengan sikap sempurna. Sampai pernah ada seorang teman yang berkelakar, sekarang ini katanya polisi yang “nakal” tinggal 20 persen saja. Sebab yang 40 persen sudah diganti patung polisi, dan yang 20 persen lagi sudah diganti polisi tidur.

Untuk apa patung polisi itu ditaruh di sana? Pastinya saya tidak tahu. Saya hanya bisa menduga, itu untuk “menakut-nakuti” para pengguna jalan supaya tertib dan tidak melanggar aturan.

Kalau benar dugaan itu, maka memang aneh tidak aneh. Anehnya, karena dengan begitu tidakkah masyarakat justru dididik untuk takut pada aparat, dan bukan patuh pada aturan?

Tidak anehnya, karena bukankah memang begitu budaya masyarakat kita; orang dikondisikan mengikuti aturan atas dasar perhitungan ada dan tidak adanya aparat, bukan karena sadar apalagi tulus.

Ada cerita, seorang anak muda naik sepeda motor. Dia ditilang karena menerobos rambu verbodeen. “Kamu tidak melihat tanda itu?” tanya polisi yang menilang sambil menunjuk ke arah rambu verbodeen di pinggir jalan. “Rambunya sih saya lihat, Pak,” sahut anak muda itu “Tetapi saya tidak melihat Bapak!”

Di kalangan preman mungkin lazim orang patuh karena takut, tetapi di kalangan masyarakat secara umum, budaya patuh karena takut pada aparat sesungguhnya sangat berbahaya; bahayanya yaitu kalau orang sudah tidak lagi takut pada aparat maka dia bisa berbuat apa saja sesuka hatinya.

Sama halnya dengan kalau orang takut hukum, bukan sadar hukum; maka ketika hukum tidak berfungsi, orang tidak segan-segan lagi melanggarnya. Kekerasan, terutama yang dilakukan secara massal, korupsi dan kriminalitas yang semakin marak belakangan ini; tidakkah itu menjadi petunjuk, betapa hukum sudah semakin kehilangan wibawa dan fungsinya. Lha, bagaimana berwibawa dan berfungsi, mudah dibeli dan diputarbalikkan begitu!

Kepatuhan harus didasarkan pada kesadaran dan ketulusan hati. Kepatuhan yang didasarkan pada ketakutan; bukan saja rapuh, tetapi juga terlalu mahal harganya.

Dari Buku Potret Diri Tanpa Bingkai – Ayub Yahya, diterbitkan oleh Gloria Graffa

No comments: