Saturday, March 10, 2007

Renungan Sabtu - 37


Kezia


Sudah lama kami, saya dan istri, berniat melatih Kezia berani tidur sendiri, tanpa kami, di rumah opa-omanya. Pertama, kalau nanti adiknya lahir – istri saya sedang hamil empat bulan – dia sudah terbiasa kalau kami sampai mesti nginep beberapa hari di rumah sakit. Kedua, kami berpikir, anak-anak perlu juga belajar merasa aman berada bersama-sama orang lain selain orang tuanya.

Namun kami kuatir kalau Kezia belum bisa lepas dari kami. Takutnya malam-malam dia terbangun. Nyariin kami. Lalu nangis. ‘Kan bisa berabe. Maka, niat itu pun terus kami urungkan.

Suatu siang ayah dan ibu berkujung ke rumah. Waktu mereka mau pulang, eh Kezia mau ikut. Tumben. Ya, sudah. Sekalian biar dia nginep. Kalau dia nangis pengen pulang, saya toh bisa menjemputnya.

Di rumah tidak ada Kezia semula “enak” juga. Saya bisa baca buku dan pakai komputer dengan tenang. Begitu juga istri saya, dia bisa mengerjakan apa yang disukainya tanpa kena interupsi. Tetapi lama-lama rumah terasa sepi; tidak ada tawa ataupun tangisan Kezia, tidak ada yang gelendotin atau gangguin kalau lagi ngerjakan apa-apa. Rasanya ada sesuatu yang hilang.

Malamnya, istri saya malah kelihatan gelisah. Dia uring-uringan. Apalagi telepon rumah ayah-ibu kebetulan rusak. Tidak bisa kontak. Wah, sudah deh…..! Saya bisa memahami. Saya saja yang biasa jarang di rumah rasanya kehilangan Kezia, lebih-lebih istri saya yang setiap hari bersamanya.

Alhasil, malam itu juga istri saya minta diantar ke rumah ayah-ibu. “Kalau-kalau Kezia kenapa-kenapa,” katanya. Saya tidak menunggu diminta dua kali. Langsung cabut. Tiba di sana, eh, Kezia malah sedang tidur. Nyenyak lagi. Tidak nangis, tidak apa. Kami jadi pengen tertawa sendiri. Rupanya bukan Kezia yang belum bisa lepas dari kami, tetapi kami yang belum bisa lepas dari Kezia.

Kekuatiran yang membelenggu kita, orang dewasa, tidakkah itu kerap adalah produk pikiran dan bayangan kita sendiri? Kita kuatir ini kuatir itu, padahal siapa pula yang bisa tahu pasti masa depan? Dalam menjalani kehidupan kita memang perlu belajar dari anak-anak; mereka tidak pernah dikungkung masa lalu, tidak pernah juga di bayang-bayangi masa depan. Mereka menjalani hidup ini apa adanya. Ya, anak-anak adalah guru kehidupan.

Dari buku Tragedi dan Komedi oleh Ayub Yahya, diterbitkan oleh Grasindo

No comments: