Elite
Elite adalah sebuah predikat, untuk menyebut orang-orang pilihan, golongan kelas atas, kaum terkemuka. Singkat kata, elite adalah mereka yang mumpuni di bidangnya; lebih dari sekadar orang biasa. Tetapi pengertian tersebut serta merta menjadi “kacau” (tidak relevan) bila dikenakan kepada para politikus di negeri kita. Mereka yang disebut, atau bahkan yang menamakan dirinya elite politik itu, ternyata lebih banyak yang tidak berlaku sebagai elite.
Bayangkan, di tengah persoalan bangsa yang begitu besar; pertikaian dan tindak kekerasan antar kelompok masyarakat, ancaman disintegrasi bangsa, krisis ekonomi yang berkepanjangan, belum terselesaikannya secara hukum kasus-kasus korupsi dan kriminal lainnya di masa lalu; mereka malah bertengkar soal jabatan, soal bagaimana mengganti presiden yang usianya belum dua tahun itu.
Yang menggelikan, dan tanpa malu-malu, dulu mereka yang mengojok-ojok Gus Dur menjadi presiden, dan menjegal Mbak Megawati memperoleh haknya sebagai calon presiden dari partai pemenang Pemilu. Berbagai alasan dikemukakan; dari yang katanya menurut agama wanita tidak boleh menjadi presiden, sampai yang katanya kemampuan Mbak Mega meragukan. Kini mereka-mereka juga yang mati-matian hendak menggusur Gus Dur, dan mengojok-ojok Mbak Mega menjadi presiden. Berbagai alasan pula yang dikemukakan; dari yang katanya dalam keadaan mendesak wanita boleh saja menjadi presiden, sampai yang katanya Mbak Mega sekarang sudah mampu memimpin bangsa ini dan lagi partainya Mbak Mega itu ‘kan pemenang pemilu.
Aneh, tetapi nyata. Padahal jelas mereka itu bukan orang-orang bodoh; ada yang sekian lama berkecimpung dalam dunia politik, bahkan ada yang profesor doktor. Tetapi lah, kok begitu kelakuannya? Sepertinya tidak ada cara lain yang lebih cerdas yang bisa mereka lakukan. Kalaulah kinerja Gus Dur amburadul, mereka yang dulu mengusung Gus Dur menjadi presiden harusnya ikut pula bertanggung jawab. Dan sebagai wujud pertanggungjawaban kepada kepada rakyat, akan sangat terhormat kalau mereka mundur dari dari jabatannya. Kalau mau bertarung, bertarunglah secara ksatria dalam Pemilu yang akan datang; bukan sekarang. Tetapi karena dasarnya memang mau jabatan, mana rela mereka mundur.
Begitulah kalau ambisi sudah menjadi tuan; maka nurani dan akal sehat menjadi tidak berfungsi. Bahkan agama dijadikan sebagai “kuda tunggangan” untuk merebut dan memuaskan napsu kekuasaan. Lupa, betapa rapuhnya kekuasaan yang didirikan di atas alas penghalalan segala cara.
Dari Buku Potret Diri Tanpa Bingkai - Ayub Yahya, diterbitkan oleh Gloria Graffa
Bayangkan, di tengah persoalan bangsa yang begitu besar; pertikaian dan tindak kekerasan antar kelompok masyarakat, ancaman disintegrasi bangsa, krisis ekonomi yang berkepanjangan, belum terselesaikannya secara hukum kasus-kasus korupsi dan kriminal lainnya di masa lalu; mereka malah bertengkar soal jabatan, soal bagaimana mengganti presiden yang usianya belum dua tahun itu.
Yang menggelikan, dan tanpa malu-malu, dulu mereka yang mengojok-ojok Gus Dur menjadi presiden, dan menjegal Mbak Megawati memperoleh haknya sebagai calon presiden dari partai pemenang Pemilu. Berbagai alasan dikemukakan; dari yang katanya menurut agama wanita tidak boleh menjadi presiden, sampai yang katanya kemampuan Mbak Mega meragukan. Kini mereka-mereka juga yang mati-matian hendak menggusur Gus Dur, dan mengojok-ojok Mbak Mega menjadi presiden. Berbagai alasan pula yang dikemukakan; dari yang katanya dalam keadaan mendesak wanita boleh saja menjadi presiden, sampai yang katanya Mbak Mega sekarang sudah mampu memimpin bangsa ini dan lagi partainya Mbak Mega itu ‘kan pemenang pemilu.
Aneh, tetapi nyata. Padahal jelas mereka itu bukan orang-orang bodoh; ada yang sekian lama berkecimpung dalam dunia politik, bahkan ada yang profesor doktor. Tetapi lah, kok begitu kelakuannya? Sepertinya tidak ada cara lain yang lebih cerdas yang bisa mereka lakukan. Kalaulah kinerja Gus Dur amburadul, mereka yang dulu mengusung Gus Dur menjadi presiden harusnya ikut pula bertanggung jawab. Dan sebagai wujud pertanggungjawaban kepada kepada rakyat, akan sangat terhormat kalau mereka mundur dari dari jabatannya. Kalau mau bertarung, bertarunglah secara ksatria dalam Pemilu yang akan datang; bukan sekarang. Tetapi karena dasarnya memang mau jabatan, mana rela mereka mundur.
Begitulah kalau ambisi sudah menjadi tuan; maka nurani dan akal sehat menjadi tidak berfungsi. Bahkan agama dijadikan sebagai “kuda tunggangan” untuk merebut dan memuaskan napsu kekuasaan. Lupa, betapa rapuhnya kekuasaan yang didirikan di atas alas penghalalan segala cara.
Dari Buku Potret Diri Tanpa Bingkai - Ayub Yahya, diterbitkan oleh Gloria Graffa