Day - 298
Ada artikel bagus tentang Jogja di Kompas hari ini. Mataram, Kembali ke Jati Dirimu. Tulisan Emmanuel Subangun, pengamat sosial kebudayaan dari Jogja. Ia memaknai bencana Jogja dari sisi mitologi. Sebagai peringatan alam. Bahwa Jogja harus kembali ke jati diri. Jangan terus dimabukkan oleh segala “kuil berhala konsumsi”. Maksudnya pusat perbelanjaan modern. Saya setuju, Jogja adalah contoh pembangunan yang salah arah dan menyakiti rakyat. Tapi kalau gempa itu dianggap peringatan alam, lha koq rakyat kecil yang jadi korban? Siapa yang diperingatkan, siapa yang kena diperingatkan?!
Sore pimpin kursus berkhotbah lanjutan di PPWG STT Jakarta. Setiap peserta bergiliran praktek khotbah. Di-shoot handycam. Terus didiskusikan. Saya pikir, sekolah teologi perlu memberi perhatian lebih pada pelajaran berkhotbah. Sebab buat apa kan mahasiswa teologi itu pintar, kalau ga bisa mengkomunikasikannya. Berkhotbah bukan melulu soal bakat, tapi juga soal keterampilan. Jadi bisa dilatih.
Dari STT Jakarta terus rapat di gereja. Selesai rapat ada seorang penatua utusan Majelis Jemaat minta bicara dengan saya; tentang kebaktian pengutusan saya, juga tentang Dewi. Bulan Nopember tahun lalu kan Dewi mendapat kecelakaan. Lebih tepat “kesialan”. Ada sepeda motor yang jatuh lalu nyenggol mobil yang dikendarainya. Pengendaranya ngaku sendiri ngantuk. Waktu itu saya lagi mission trip di Kalimantan. Orangnya masuk Rumah Sakit. Dioperasi. Sudah beres sih. Cuma kan ada biaya-biaya lain yang ga ditanggung asuransi. Sementara ini besarnya dua juta. Majelis Jemaat tanya, saya mau bayar berapa. Penatua itu sih bilang, ia hanya menyampaikan. Ia sendiri ga ikut rapat waktu keputusan itu diambil. Dan katanya, ia tuh ga setuju dengan keputusan ini. Ga sesuai dengan hati nuraninya. Istri pendeta juga bagian dari pelayanan pendeta. Harusnya Majelis Jemaat ga lepas tangan. Bla, bla, bla.
Salah satu kelemahan organisasi gereja tuh suka ga jelas aturan mainnya. Jadi sebuah keputusan itu tergantung siapa yang memutuskan. Dulu pernah Dewi kena demam berdarah. Masuk Rumah Sakit. Jatah asuransi dari gereja kamar kelas dua. Tapi waktu itu kelas dua penuh. Jadi terpaksa masuk kelas satu. Kelebihannya saya harus bayar sendiri. Oke saja sih kalau emang begitu aturannya. Tapi belakangan ada pendeta lain yang sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit. Langsung masuk kelas satu. Ga masalah. Para penatua yang mutusin sudah ganti. Susah kan kalau begini?
No comments:
Post a Comment