Rabu, 21 Maret 2007 -- Pagi setelah anter Karen sekolah, berdua Dewi ke Gleneagle. Nengok. Seorang Bapak. Teman pendeta dari Semarang yang "titip". Bapak itu mengalami kecelakaan mobil waktu berburu di hutan. Mobilnya masuk jurang. Sampai gelundung-gelundung. Lukanya parah. Terlambat ditangani pula.
Begitulah musibah. Datang bisa kapan saja. Dengan cara apa saja. Menimpa siapa saja. Betapa fana dan "ringkih-nya" hidup ini. Orang yang sehat walafiat, sedang "kuat-kuatnya", tengah tertawa-tawa gembira pun bisa tiba-tiba dihantam musibah. Ga ada hujan ga ada angin. Pernah seorang teman cerita, ayahnya masih sehat. Lagi jalan pagi. Kakinya keselimpet kabel telepon. Jatuh. Kepalanya kebentur aspel. Gegar otak. Koma. Meninggal.
Maka eling lan waspada itu perlu. Jangan jauh-jauh dengan Sang Khalik. Rengkuh DIA erat dalam jiwa. Ingat DIA dalam setiap helaan napas. Sehebat apa pun kita, toh kita ini tetaplah "debu". Dan akan kembali menjadi debu. Ga ada yang abadi di dunia ini. Dengan menyadari kefanaan dan keringkihan hidup, paling ga akan membuat kita lebih "ringan melangkah". Hidup lebih berserah. Lebih berpengahrapan. Lebih mawas diri.
Terus ke kantor. Diskusi dengan teman tentang arahan program gereja. Concern kita gimana agar gereja ga sekadar "menggelinding". Aktivitas gereja ga just menjadi sesuatu yang rutin. Tanpa arah. Tanpa goal. Program dari tahun ke tahun ga hanya copy paste. Malam rapat di gereja. Ada himbauan gereja ga dipakai sampai jam 10 malam. Kasihan koster juga sih. Apalagi sedang renovasi juga.
1 comment:
Post a Comment