Day - 297
Di perempatan Jalan Pemuda saya beli majalah Playboy edisi dua. Saya cuma pengen tahu kenapa itu majalah bikin begitu heboh. Saya sempet tanya penjualnya, ga takut di-sweeping? Ia cuma tertawa, “Kucing-kucingan saja, Pak. Lha, orang saya ini cuma mau cari makan. Emang mereka mau ngasih saya makan,” begitu jawab ia.
Menurut saya sih majalah itu oke-lah. Walaupun ga banget. Artikel-artikelnya interesan dan humanis. Tentang Fabianus Tibo, terpidana mati kasus Poso. Tentang orang-orang di Kamboja yang harus hidup di antara ranjau bekas perang. Sangat menyentuh hati. Tentang para amoy Singkawang yang penganten pesanan lelaki Taiwan. Tentang fenomena “bakso” di Bali. Malah juga tentang mitos seputar teori evolusi Darwin, dan tentang “Iman dan akal budi”. Soal foto-foto cewek-nya. Biasa saja. Majalah lain kayak Popular, Matra, dan FHM malah lebih “berani”. Apalagi dibanding tabloid-tabloid “kacangan” yang jualannya emang foto seronok. Saya kira dari isi majalah itu sendiri ga ada yang perlu dihebohkan. Apalagi dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan. Seandainya majalah itu ga pakai nama Playboy, saya yakin deh ga akan menimbulkan kehebohan. Yang bikin ribut itu kan image playboy-nya.
Saya pribadi ga setuju majalah tersebut dilarang. Tapi saya setuju isi dan peredarannya dibatasi. Cuma susahnya di Indonesia walau sudah ada aturannya, tapi pelaksanaannya itu loh yang suka ga konsisten. Kesannya tuh “benci-benci butuh”. Diikat ekornya dilepas kepalanya. Jadinya lebih buruk. Pelarangan bikin orang kepengen tahu. Ketidaktegasan bikin “barang’barang” itu mudah didapat.
Padahal yang “begitu-begitu” itu kalau sudah tahu, so what gito loh? Saya ingat cerita Goenawan Mohamad di salah satu Catatan Pinggir-nya di Majalah Tempo. Suatu hari katanya, ketika di luar negeri ia nonton film BF. Pertama kali matanya terbelalak. Kedua kali matanya ga terbelalak lagi. Ketiga kali ia tertidur.
4 comments:
saya setuju pak.. Ga usah dilarang, tapi dibatasi peredarannya. para otak di balik majalah pasti udah tau bahwa bakal ada pro dan kontra waktu mau terbit. Dan justru ini bakalan bikin orang pada penasaran dan akhrnya laris maniss.. Kaya davinci code aja..
Yang serunya terbit di Bali beredar di Jakarta, dan eh ternyata foto-foto kurang syurrr. He he he kacian FPI, termasuk AY yg ikutan beli penasaran, he he he
Ah, biar aja palyboy "ditekan" sama FPI. DI Indonesia kan berlaku hukum bahwa barang siapa ditekan, justru ia akan makin berkembang. Jadi makin banyak beredar, makin banyak yang penasaran-beli-baca.
Dengan demikian makin banyak yang tahu, majalah seperti apa sih yang sebenernya dilarang sama FPI itu. Orang majalah normal normal aja kok dilarang larang.
Majalah lampu merah yang isinya lebih kampungan, ga ada mutu, murahan, bahkan merusak mental bangsa, justru diperbolehkan sama FPI. Ya begitulah FPI seleranya yang rendahan. Begitulah pola pikir FPI.
salam,
pram
nah itulah susahnya di indonesia. fpi begini dan begitu ujung2-nya duit juga kan. saya baca wawancara prof sarlito: anjasmara yang foto-nya heboh diprotes fpi diperas habis2an.
susahnya kita sering jadi permainan euforia media massa. jadi ikut2an heboh. termasuk da vinci code. padahal kalo dibiarin, nanti juga belalu bersama waktu kan.
btw, siapa yang mau beli play boy 2 nih? hubungi saya hehehe
Post a Comment