Banjir
Saya hanya bisa duduk bengong di atas meja makan. Sekeliling air mengenang hampir sepaha. Rumah berantakan; sampah bertebaran, tabung gas dan sofa jungkir balik, ranjang dan meja tamu mengambang. Buku-buku jangan ditanya. Listrik mati. Bau tidak sedap menyengat pula.
Saya betul-betul berada pada situasi tidak berdaya. Dan hopeless. Bagai rusa dalam cengkraman harimau lapar; tidak bisa berbuat apa-apa. Kecuali menunggu banjir bermurah hati surut sendiri.
Ya, sungguh betapa kecilnya kita di hadapan alam raya ini. Sehebat dan secanggih apa pun kita, seperti dikatakan kitab suci, kita tidak lebih dari debu tanah asalnya. Dan akan kembali menjadi debu.
Maka, jangan sombong dengan kepandaian kita, lupa diri dengan apa yang sudah kita capai. Sesungguhnyalah kita ini bukan siapa-siapa, dan bukan apa-apa. Banjir tempo hari itu -- juga bencana lainnya -- kiranya semakin membuat kita sadar: tunduk dan luruh di hadapan Sang Khalik.
Dari Buku Tragedi dan Komedi, Ayub Yahya – diterbitkan oleh Grasindo
Saya betul-betul berada pada situasi tidak berdaya. Dan hopeless. Bagai rusa dalam cengkraman harimau lapar; tidak bisa berbuat apa-apa. Kecuali menunggu banjir bermurah hati surut sendiri.
Ya, sungguh betapa kecilnya kita di hadapan alam raya ini. Sehebat dan secanggih apa pun kita, seperti dikatakan kitab suci, kita tidak lebih dari debu tanah asalnya. Dan akan kembali menjadi debu.
Maka, jangan sombong dengan kepandaian kita, lupa diri dengan apa yang sudah kita capai. Sesungguhnyalah kita ini bukan siapa-siapa, dan bukan apa-apa. Banjir tempo hari itu -- juga bencana lainnya -- kiranya semakin membuat kita sadar: tunduk dan luruh di hadapan Sang Khalik.
Dari Buku Tragedi dan Komedi, Ayub Yahya – diterbitkan oleh Grasindo
No comments:
Post a Comment