Day - 245
Ga kerasa udah harus kembali ke Singapore. Dua hari di Jakarta repot dengan urusan ceramah dan acara keluarga. Hari ini agak kosong. Siang janjian ketemu beberapa teman. Makan di resto seafood favorit di Kelapa Gading. Rasanya ini makanan terenak yang pernah saya makan dalam sebulan terakhir :). Lidah tuh emang ga bisa ketuker koq. Hehehe. Tadinya sih teman-teman mo bungkusin untuk Dewi. Tapi saya udah kebanyakan bawa barang.
Waktu pindahan tempo hari masih ada beberapa barang yang belum terbawa. Terutama buku-buku. Jadi mo saya bawa sekarang. Beberapa teman laen juga ngasih macam-macam vitamin dan madu. Katanya supaya saya, Dewi dan anak-anak ga cepat sakit. Mereka bilang masa penyesuaian di luar negeri pasti ga gampang. Saya jadi terharu dengan perhatian mereka. Thx temans.
Saya sempat pula diajak hadir di rapat Pokja Demuda. Tapi ga keburu. Sore udah harus di bandara. Sempat berbincang di telpon. Saya beri beberapa masukan berkenaan dengan tema dan pembicara. Demuda bulan Juli ga ada kegiatan. Sad. Saya ngerasa “salah” juga. Konon pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa menyiapkan pengganti. Jadi ketika ia “turun” atau “pergi”, program-program tetap jalan. Ga ada yang kurang. Saya “salah” ga nyiapin Demuda tanpa saya. Atau mungkin saya terlalu cepat “pergi”. Demuda lagi bagus-bagusnya ditinggal. Saya memang bukan tipe pemimpin yang baik.
Dari Cengkareng 19.40. Sampai di Changi hampir 22.30. Ke rumah naik taxi. 30 menit dari bandara. Di sini naik mobil 30 menit tuh jauh loh. Bisa dari ujung ke ujung :). Di Jakarta, dari Kelapa Gading ke Rawamangun saja bisa 30 menit. Hehehe. Welcome to the “jungle”.
Hidup seumpama sebuah sungai; mengalirlah. Dengan keyakinan di mana pun kita “terdampar”, di situ Tuhan menyediakan sesuatu yang baik. Maka, berdamai dengan kenyataan itu indah.
Monday, July 31, 2006
Sunday, July 30, 2006
Catatan Harian
Day - 246
Hari ini mimpin kursus Teknik Menulis Kreatif di Pusat Pembelajaran Warga Gereja (PPWG) STT Jakarta. Tiga sessi. Jam 9.00-15.00. Jumlah pesertanya diluar dugaan. Tadinya saya minta maksimal 15 orang, tapi yang ikut ternyata 29 orang. Itupun katanya, ada beberapa yang terpaksa ditolak karena kapasitas ruangan ga cukup. Pesertanya beragam. Dari remaja, ibu rumah tangga, sampe pensiunan. Dari pelajar, pengusaha sampe pendeta. Dari warga jemaat GKI, GKP, HKBP, GPIB, sampe GBI. Dari yang belum punya pengalaman menulis sama sekali, sampe yang udah menulis buku yang siap diterbitkan. Ada dua peserta khusus datang dari Bandung. Beberapa peserta ikut pelatihan, karena tertarik setelah membaca buku saya.
Seperti pada pelatihan menulis sebelumnya, saya membuat materi kursus lebih banyak latihan. Diselingi beberapa permainan. Saya senang dengan antusiasme para peserta. Mereka aktif terlibat. Bertanya, bermain, mengerjakan tugas, membacakan tulisannnya. Banyak yang awalnya berpikir, ga bisa menulis. Tapi setelah melewati sessi latihan kemudian menyadari bahwa menulis ternyata ga sesulit yang diduga. Saya percaya, semua orang yang bisa membaca bisa menulis. Kecuali karena “kelainan”. Menulis tuh keterampilan yang bisa dipelajari koq. Bakat tentu saja ada pengaruhnya, tapi sebagian besar tergantung kemauan, kerja keras dan kebiasaan.
Dalam perjalanan menuju STT di Jalan Proklamasi, saya menerima telpon dari penerbit Gloria. Ada dua berita gembira yang saya terima. Pertama, buku saya yang baru, seputar pernikahan, akan segera terbit. Itu buku yang saya tulis di minggu-minggu terakhir saya di Jakarta. Kedua, buku Seri Sketsa Iman, ada 4 biji, menempati rangking 1 sampai 4 buku terlaris di Gloria saat ini. Saya senang. Bukan apa-apa. Tandanya kan buku saya diterima orang. Bagi saya "honor" terbesar dari menulis, adalah ketika buku saya dibaca orang. Saya suka terharu loh kalo tiba-tiba ketemu orang yang ga saya kenal, lalu bilang bahwa ia senang membaca buku saya.
Sorenya saya nyempetin ke rumah kakak di Serpong. Dianter teman. Ini malam terakhir saya ada di Jakarta. Besok sore sudah harus kembali ke Singapore.
Hari ini mimpin kursus Teknik Menulis Kreatif di Pusat Pembelajaran Warga Gereja (PPWG) STT Jakarta. Tiga sessi. Jam 9.00-15.00. Jumlah pesertanya diluar dugaan. Tadinya saya minta maksimal 15 orang, tapi yang ikut ternyata 29 orang. Itupun katanya, ada beberapa yang terpaksa ditolak karena kapasitas ruangan ga cukup. Pesertanya beragam. Dari remaja, ibu rumah tangga, sampe pensiunan. Dari pelajar, pengusaha sampe pendeta. Dari warga jemaat GKI, GKP, HKBP, GPIB, sampe GBI. Dari yang belum punya pengalaman menulis sama sekali, sampe yang udah menulis buku yang siap diterbitkan. Ada dua peserta khusus datang dari Bandung. Beberapa peserta ikut pelatihan, karena tertarik setelah membaca buku saya.
Seperti pada pelatihan menulis sebelumnya, saya membuat materi kursus lebih banyak latihan. Diselingi beberapa permainan. Saya senang dengan antusiasme para peserta. Mereka aktif terlibat. Bertanya, bermain, mengerjakan tugas, membacakan tulisannnya. Banyak yang awalnya berpikir, ga bisa menulis. Tapi setelah melewati sessi latihan kemudian menyadari bahwa menulis ternyata ga sesulit yang diduga. Saya percaya, semua orang yang bisa membaca bisa menulis. Kecuali karena “kelainan”. Menulis tuh keterampilan yang bisa dipelajari koq. Bakat tentu saja ada pengaruhnya, tapi sebagian besar tergantung kemauan, kerja keras dan kebiasaan.
Dalam perjalanan menuju STT di Jalan Proklamasi, saya menerima telpon dari penerbit Gloria. Ada dua berita gembira yang saya terima. Pertama, buku saya yang baru, seputar pernikahan, akan segera terbit. Itu buku yang saya tulis di minggu-minggu terakhir saya di Jakarta. Kedua, buku Seri Sketsa Iman, ada 4 biji, menempati rangking 1 sampai 4 buku terlaris di Gloria saat ini. Saya senang. Bukan apa-apa. Tandanya kan buku saya diterima orang. Bagi saya "honor" terbesar dari menulis, adalah ketika buku saya dibaca orang. Saya suka terharu loh kalo tiba-tiba ketemu orang yang ga saya kenal, lalu bilang bahwa ia senang membaca buku saya.
Sorenya saya nyempetin ke rumah kakak di Serpong. Dianter teman. Ini malam terakhir saya ada di Jakarta. Besok sore sudah harus kembali ke Singapore.
Saturday, July 29, 2006
Renungan Sabtu - 12
Keinginan
Keinginan adalah anugerah. Hidup ini akan terasa hambar dan monoton bila tidak ada keinginan. Bayangkan kalau kita tidak punya keinginan; untuk makan, untuk belajar, untuk berekreasi, untuk bercinta, untuk mencapai sesuatu yang lebih baik, dan sebagainya.
Maka, sejauh itu mungkin -- tidak bertentangan dengan hati nurani, tidak melanggar nilai-nilai yang kita anut, tidak merugikan orang lain, tidak mencelakakan diri sendiri -- ikutilah keinginan hatimu.
Akan tetapi hati-hati, jangan pula sampai dikendalikan oleh keinginan. Salah-salah kita jatuh pada sikap menghalalkan segala cara dan patah arang bila tidak bisa mencapainya. Banyak tragedi kemanusiaan terjadi akibat orang-orang yang diperbudak oleh keinginannya.
Keinginan akan menjadi “kutuk” kalau sudah menjadi tuan atas kita. Jadi, prinsipnya: jangan membelenggu keinginan hatimu dengan segala “tetek bengek”, tetapi juga jangan membiarkannya lepas tanpa kendali.
dari buku Tragedi dan Komedi - Ayub Yahya, diterbitkan oleh Grasindo
Catatan Harian
Day - 247
Kemarin waktu ngelawat suami istri. Suaminya yang kena kanker. Saya tersentuh sekali. Dari perbincangan itu jelas sekali mereka orang-orang yang sangat "beriman". Aktif juga di pelayanan gereja. Sering ngunjungin orang sakit. Mereka ga tampak cemas atau galau. Berserah. Kita ngobrol malah sambil tertawa dan bersenda gurau. Iman memang ga selalu menghindarkan kita dari "kepahitan". Tapi iman memungkinkan kita melihat dan memaknai "kepahitan" secara positif dan produktif. Sebagai bagian dari rencana Tuhan. Iman membuat kita tetap bisa merasakan kasih Tuhan dalam keadaan paling berat sekalipun. Dan karenanya kita tidak kekurangan rasa syukur. Pun di balik kesusahan.
Hari ini saya ada di Jakarta. Tadi pagi naik GIA jam 7.30. Dari rumah jam 5, naik taxi. Di sini naik taxi bisa kena macem-macem charge diluar yang di argo. Kalo booking ada charge tambahan. Kalo naiknya pada saat jam sibuk atau jam malam kena tambahan. Bisa sampai 50 persennya. Tapi itu harga resmi. Bukan mau-maunya sopir taxi. Dan kita bisa minta bill-nya. Kata teman kadang sopir taxi “nakal” juga. Saat jam-jam sibuk atau jam malam, mereka pada “sembunyi”. Supaya di call.
Saya ceramah di National Counseling and Healing Conference 2006 (NCHC). Ini sebuah seminar yang diikuti para konselor atau juga yang berkecimpung dalam bidang ini. Pesertanya datang dari seluruh Indonesia. Ada dari Bali, Aceh, Medan, Ambon, Toraja, Solo, Bogor, Jakarta, dsb. Sekitar 350 orang. Yang paling banyak dari Jakarta. Di tengah-tengah kehidupan yang berat. Penuh tantangan. Penuh kesulitan. Penuh masalah. Konseling menjadi kebutuhan. Begitu banyak orang yang membutuhkan tempat curhat. Tempat berbagi keluh. Orang yang ga hanya bisa “mendengar”, tapi juga “mendengarkan”. Para konselor pun harus dibekali dan membekali diri. Jadi NCHC, yang bertajuk: Konseling dalam Amanat Agung Kristus, ini sangat penting.
Tema-temanya sangat menarik, antara lain: Konseling dalam perkunjungan, Pedampingan keluarga dengan masalah depresi, konseling anak kecanduan game dan internet, konseling bagi remaja: pornografi, narkoba, free-sex, membedakan gangguan jiwa dan Roh Jahat, dsb. Materi yang saya bawakan: pendampingan kaum lajang di gereja. Materi ini ada kaitannya dengan buku saya: Ngejomblo Itu Nikmat. Dibanding pembicara lain, saya ya pembicara “amatirlah” :). Makanya saya cukup bersyukur bisa diminta berpartisiasi di acara tsb.
Kemarin waktu ngelawat suami istri. Suaminya yang kena kanker. Saya tersentuh sekali. Dari perbincangan itu jelas sekali mereka orang-orang yang sangat "beriman". Aktif juga di pelayanan gereja. Sering ngunjungin orang sakit. Mereka ga tampak cemas atau galau. Berserah. Kita ngobrol malah sambil tertawa dan bersenda gurau. Iman memang ga selalu menghindarkan kita dari "kepahitan". Tapi iman memungkinkan kita melihat dan memaknai "kepahitan" secara positif dan produktif. Sebagai bagian dari rencana Tuhan. Iman membuat kita tetap bisa merasakan kasih Tuhan dalam keadaan paling berat sekalipun. Dan karenanya kita tidak kekurangan rasa syukur. Pun di balik kesusahan.
Hari ini saya ada di Jakarta. Tadi pagi naik GIA jam 7.30. Dari rumah jam 5, naik taxi. Di sini naik taxi bisa kena macem-macem charge diluar yang di argo. Kalo booking ada charge tambahan. Kalo naiknya pada saat jam sibuk atau jam malam kena tambahan. Bisa sampai 50 persennya. Tapi itu harga resmi. Bukan mau-maunya sopir taxi. Dan kita bisa minta bill-nya. Kata teman kadang sopir taxi “nakal” juga. Saat jam-jam sibuk atau jam malam, mereka pada “sembunyi”. Supaya di call.
Saya ceramah di National Counseling and Healing Conference 2006 (NCHC). Ini sebuah seminar yang diikuti para konselor atau juga yang berkecimpung dalam bidang ini. Pesertanya datang dari seluruh Indonesia. Ada dari Bali, Aceh, Medan, Ambon, Toraja, Solo, Bogor, Jakarta, dsb. Sekitar 350 orang. Yang paling banyak dari Jakarta. Di tengah-tengah kehidupan yang berat. Penuh tantangan. Penuh kesulitan. Penuh masalah. Konseling menjadi kebutuhan. Begitu banyak orang yang membutuhkan tempat curhat. Tempat berbagi keluh. Orang yang ga hanya bisa “mendengar”, tapi juga “mendengarkan”. Para konselor pun harus dibekali dan membekali diri. Jadi NCHC, yang bertajuk: Konseling dalam Amanat Agung Kristus, ini sangat penting.
Tema-temanya sangat menarik, antara lain: Konseling dalam perkunjungan, Pedampingan keluarga dengan masalah depresi, konseling anak kecanduan game dan internet, konseling bagi remaja: pornografi, narkoba, free-sex, membedakan gangguan jiwa dan Roh Jahat, dsb. Materi yang saya bawakan: pendampingan kaum lajang di gereja. Materi ini ada kaitannya dengan buku saya: Ngejomblo Itu Nikmat. Dibanding pembicara lain, saya ya pembicara “amatirlah” :). Makanya saya cukup bersyukur bisa diminta berpartisiasi di acara tsb.
Friday, July 28, 2006
Catatan Harian
Day - 248
Setiap pagi kalau mau ke gereja, turun dari apartemen saya suka lihat beberapa oma-opa yang sedang berenang. Di sini saya sering sekali lihat orang-orang tua; naik bis sendiri, nyeberang jalan, jualan tissue, dsb. Konon tingkat usia di Singapore memang lebih panjang. Mungkin karena udaranya yang bersih. Polusi sedikit sekali. Fasilitas publik untuk olah raga banyak. Di Indonesia konon tingkat usia yang lebih panjang tuh di Yogyakarta. Khususnya di desa-desanya. Selain faktor udara yang bersih, juga pola makan. Makanan daging atau sayur yang langsung dimasak dan dihabiskan katanya jauh lebih sehat, dibanding sayur atau daging yang sudah disimpan dulu.
Betul sih umur toh ada di tangan Tuhan. Tapi saya pikir, manusia juga bisa punya andil. Jadi ga bisalah berprinsip, umur toh ada di tangan Tuhan lalu boleh hidup sembarangan. Gaya hidup sehat membuat kemungkinan umur panjang dan sehat lebih besar. Saya ingat obrolan saya dengan alm. Pdt Eka Darmaputera. Salah satu yang paling Pak Eka sesali adalah kurangnya ia menjaga kesehatan. Sampai harus sakit bertahun-tahun. Dalam keadaaan sakit saja Pak Eka sudah begitu “luar biasa”. Apalagi kalau sehat walafiat. Pasti impeknya akan lebih "luar biasa".
Siang ini saya ngelawat orang yang sakit. Sang suami sakit kanker. Sekarang berobat jalan. Harus kemoterapi. Mereka sewa apartemen sampai proses pengobatan selesai. Di Singapore, sering saya bertemu dengan orang atau keluarga-keluarga Indonesia yang sedang menjalani perawatan ataupun pengobatan. Sudah lama Singapore menjadi daerah tujuan "wisata kesehatan" orang Indonesia. Ini sebenarnya "warning", ada apa dengan pelayanan kesehatan di Indonesia? Menurut satu survei yang pernah saya baca, setiap bulan ada 10.000 orang Indonesia yang berobat keluar negeri. 4.000 diantaranya ke Singapore. Biayanya tentu ajubilah. Ck ck ck.
Setiap pagi kalau mau ke gereja, turun dari apartemen saya suka lihat beberapa oma-opa yang sedang berenang. Di sini saya sering sekali lihat orang-orang tua; naik bis sendiri, nyeberang jalan, jualan tissue, dsb. Konon tingkat usia di Singapore memang lebih panjang. Mungkin karena udaranya yang bersih. Polusi sedikit sekali. Fasilitas publik untuk olah raga banyak. Di Indonesia konon tingkat usia yang lebih panjang tuh di Yogyakarta. Khususnya di desa-desanya. Selain faktor udara yang bersih, juga pola makan. Makanan daging atau sayur yang langsung dimasak dan dihabiskan katanya jauh lebih sehat, dibanding sayur atau daging yang sudah disimpan dulu.
Betul sih umur toh ada di tangan Tuhan. Tapi saya pikir, manusia juga bisa punya andil. Jadi ga bisalah berprinsip, umur toh ada di tangan Tuhan lalu boleh hidup sembarangan. Gaya hidup sehat membuat kemungkinan umur panjang dan sehat lebih besar. Saya ingat obrolan saya dengan alm. Pdt Eka Darmaputera. Salah satu yang paling Pak Eka sesali adalah kurangnya ia menjaga kesehatan. Sampai harus sakit bertahun-tahun. Dalam keadaaan sakit saja Pak Eka sudah begitu “luar biasa”. Apalagi kalau sehat walafiat. Pasti impeknya akan lebih "luar biasa".
Siang ini saya ngelawat orang yang sakit. Sang suami sakit kanker. Sekarang berobat jalan. Harus kemoterapi. Mereka sewa apartemen sampai proses pengobatan selesai. Di Singapore, sering saya bertemu dengan orang atau keluarga-keluarga Indonesia yang sedang menjalani perawatan ataupun pengobatan. Sudah lama Singapore menjadi daerah tujuan "wisata kesehatan" orang Indonesia. Ini sebenarnya "warning", ada apa dengan pelayanan kesehatan di Indonesia? Menurut satu survei yang pernah saya baca, setiap bulan ada 10.000 orang Indonesia yang berobat keluar negeri. 4.000 diantaranya ke Singapore. Biayanya tentu ajubilah. Ck ck ck.
Wednesday, July 26, 2006
Catatan Harian
Day - 249
Siang ke Raffles Country Club di daerah Tuas. GPBB semua kongregasi lagi fund-rising untuk pembangunan gereja. Bikin turnamen golf. Saya hanya ikut pembukaannya. Beberapa teman secara bergurau tanya, pendeta boleh main golf juga ga? Katanya dulu pernah ada pendeta ikut main golf, eh jadi "bahan omongan”. Saya memang belum pernah denger pendeta main golf. Mungkin karena golf identik dengan olahraga orang kaya. Sedang pendeta identik dengan "kesederhanaan". Tapi menurut saya sih kalau memang bisa kenapa ga kan. Katakanlah golf itu olah raga orang kaya. Ga apa-apa juga. Kalau golf bisa jadi sarana lobby dalam bisnis. Tentu bisa jadi sarana pekabaran injil juga kan. Orang-orang kaya juga butuh Injil loh.
Saya pernah baca di buku golf itu singkatan Gentlemen Only Ladies Forbidden. Olah raga ini berasal dari Inggris. Konon asal muasalnya begini. Dulu ibu-ibu di sana kerap kesal sama suami-suami mereka, karena suka kumpul-kumpul ga ada juntrungnya, ngobrol sambil minum-minum. Karena merasa terus dicereweti para istrinya, para suami itu jadi balik kesal juga. Lalu mereka bikin semacam permainan mukul-mukul bola, yang kemudian dikenal dengan golf. Sebagai “pembalasan” terhadap para wanita dipakai nama GOLF :)
Saya sediri sampai sekarang masih suka heran, koq ada orang yang suka golf. Malah katanya ada yang sampai kecanduan. Mungkin karena saya belum ngerasain “nikmatnya” main golf. Dulu saya pernah “ngejek” itu olah raga orang tua. Tapi pernah waktu di Jakarta dua kali saya nyoba main golf. Cuma driving. Pukul-pukul gitu. Aduh, ga gampang loh. Pinggang and tangan sakit-sakit. Kayaknya gampang tuh mukul-mukul bola mati begitu. Ternyata saya meleset melulu. Sekali malah pernah sampai melintir jatuh. Buset deh. Saya termakan oleh ejekan sendiri :). Kata teman-teman yang suka, golf tuh asyik. Dalam golf katanya, lawan sebenarnya adalah diri sendiri. Belajar mengendalikan diri. Lewat golf kita bisa mengetahui karakter orang. Yang sabar, yang emosian, yang ceroboh, dsb.
Sore saya ga ada acara khusus. Teman ngajak ke toko buku. Katanya lagi ada diskon. Tapi saya udah janji sama Kezia dan Karen mo jalan-jalan sore. beberapa hari belakangan saya pulang malam terus. Sampai di rumah mereka sudah tidur. Tadinya mo ke nature park. Atau ke library di west mall. Tapi pas mo berangkat ada tamu. Ngobrol-ngobrol, kesorean deh. Jadinya cuma jalan-jalan seputar rumah. Main di playground. Ke gym. Berenang. Dengan anak-anak yang penting waktu bersama-samanya.
Siang ke Raffles Country Club di daerah Tuas. GPBB semua kongregasi lagi fund-rising untuk pembangunan gereja. Bikin turnamen golf. Saya hanya ikut pembukaannya. Beberapa teman secara bergurau tanya, pendeta boleh main golf juga ga? Katanya dulu pernah ada pendeta ikut main golf, eh jadi "bahan omongan”. Saya memang belum pernah denger pendeta main golf. Mungkin karena golf identik dengan olahraga orang kaya. Sedang pendeta identik dengan "kesederhanaan". Tapi menurut saya sih kalau memang bisa kenapa ga kan. Katakanlah golf itu olah raga orang kaya. Ga apa-apa juga. Kalau golf bisa jadi sarana lobby dalam bisnis. Tentu bisa jadi sarana pekabaran injil juga kan. Orang-orang kaya juga butuh Injil loh.
Saya pernah baca di buku golf itu singkatan Gentlemen Only Ladies Forbidden. Olah raga ini berasal dari Inggris. Konon asal muasalnya begini. Dulu ibu-ibu di sana kerap kesal sama suami-suami mereka, karena suka kumpul-kumpul ga ada juntrungnya, ngobrol sambil minum-minum. Karena merasa terus dicereweti para istrinya, para suami itu jadi balik kesal juga. Lalu mereka bikin semacam permainan mukul-mukul bola, yang kemudian dikenal dengan golf. Sebagai “pembalasan” terhadap para wanita dipakai nama GOLF :)
Saya sediri sampai sekarang masih suka heran, koq ada orang yang suka golf. Malah katanya ada yang sampai kecanduan. Mungkin karena saya belum ngerasain “nikmatnya” main golf. Dulu saya pernah “ngejek” itu olah raga orang tua. Tapi pernah waktu di Jakarta dua kali saya nyoba main golf. Cuma driving. Pukul-pukul gitu. Aduh, ga gampang loh. Pinggang and tangan sakit-sakit. Kayaknya gampang tuh mukul-mukul bola mati begitu. Ternyata saya meleset melulu. Sekali malah pernah sampai melintir jatuh. Buset deh. Saya termakan oleh ejekan sendiri :). Kata teman-teman yang suka, golf tuh asyik. Dalam golf katanya, lawan sebenarnya adalah diri sendiri. Belajar mengendalikan diri. Lewat golf kita bisa mengetahui karakter orang. Yang sabar, yang emosian, yang ceroboh, dsb.
Sore saya ga ada acara khusus. Teman ngajak ke toko buku. Katanya lagi ada diskon. Tapi saya udah janji sama Kezia dan Karen mo jalan-jalan sore. beberapa hari belakangan saya pulang malam terus. Sampai di rumah mereka sudah tidur. Tadinya mo ke nature park. Atau ke library di west mall. Tapi pas mo berangkat ada tamu. Ngobrol-ngobrol, kesorean deh. Jadinya cuma jalan-jalan seputar rumah. Main di playground. Ke gym. Berenang. Dengan anak-anak yang penting waktu bersama-samanya.
Wednesday's Games Idea - 08
Siapa Pelakunya?
Bahan yang Dibutuhkan : Satu buah bola tenis, Lem plastik, Cat air
Waktu yang dibutuhkan : awal acara 5-10 menit
Aturan permainan :
Sehari sebelum pertemuan dilaksanakan, persiapkan metode ini. Anda perlu melakukan beberapa hal. Bola tenis dibelah menjadi dua sama besar. Kemudian, tempelkan belahan pertama pada kaca sebelah dalam dan belahan yang lain pada kaca sebelah luar. Pakailah lem yang cukup kuat. Gambarlah kaca sebelah luar dengan warna hitam/abu-abu, sampai mengesankan bahwa kaca di sekitar bola retak. Kesan yang seharusnya muncul adalah bahwa kaca tersebut pecah terkena bola tenis dan bola tersebut menancap pada kaca. Agar "tipuan" ini tidak kentara, kelilingi kaca dengan kursi, agar peserta tidak bisa melihat dari jarak kurang dari 1-2 meter. Kemudian di samping kaca pecah tersebut, tempelkan sebuah kertas yang berbunyi, "Siapa yang melakukannya? Harap mengaku!". Ketika acara mulai, tentu peserta akan tertarik. Kemudian peristiwa ini bisa dipakai sebagai ilustrasi pada awal percakapan. Pakailah hal ini sebagai bahan untuk berbicara soal dosa.
Tujuan permainan :
Metode ini dirancang agar peserta dapat mengerti bahwa manusia yang melakukan kesalahan seringkali malu dan takut mengakuinya. Metode ini baik untuk menarik perhatian peserta ketika memasuki ruangan persekutuan atau ibadah dan sebagai ilustrasi awal untuk menjelaskan persoalan pengakuan dosa. Metode ini hanya mungkin jika ruangan yang ada memiliki jendela atau pintu dari kaca.
Catatan Harian
Day - 250
Tadi pagi berdua Dewi ke Gleneagles Hospital di Orchard. Nengok yang sakit. Ada dua orang. Kedua-duanya bukan anggota jemaat GPBB. Di Singapore, kita ga hanya ngelawat anggota jemaat. Kerap ada orang dari Indonesia yang temannya atau saudaranya atau teman saudaranya atau entah siapanya gitu yang dirawat di RS sini, lalu juga minta dilawat. Pendeta-pendeta di sini akan berusaha memenuhi permintaan pelawatan itu.
Tadi salah seorang yang sakit tuh pria masih muda. Belum 40 tahun. Kanker di liver. Udah sangat parah. Ia udah ga sadar. Katanya, udah enam bulan dirawat di Singapore. Istrinya yang nungguin. Sabar dan telaten sekali ia. Kami berbincang, berdoa, baca Alkitab. Tampak ia udah pasrah. Jelas diwajahkan ada kesedihan, tapi ia ga menangis. Saya percaya, orang yang "diijinkan" Tuhan mengalami "cobaan" begitu, pastilah ia orang "istimewa". Melihat yang sakit gitu, baru deh kerasa betapa berharganya kesehatan. Biaya yang harus ditanggung keluarga pasti sangat mahal. Bukan hanya biaya dalam bentuk uang, tapi juga "biaya" dalam bentuk "rasa" dan "daya".
Tapi dalam sakit yang parah ga jarang loh orang ngalami sesuatu yang eksistensial. Entah pengalaman akan Tuhan yang personal, seperti Ayub dalam Alkitab. Entah makna cinta yang sejati (true love). Bayangkan seorang istri atau suami yang begitu telaten, sabar, penuh kasih, ngurusin suami atau istrinya. Kalo bukan cinta, entah apalagi yang bisa membuat mereka teguh begitu. Makanya betapa pun saya gak setuju dengan yang namanya euthanasia.
Tadi pagi berdua Dewi ke Gleneagles Hospital di Orchard. Nengok yang sakit. Ada dua orang. Kedua-duanya bukan anggota jemaat GPBB. Di Singapore, kita ga hanya ngelawat anggota jemaat. Kerap ada orang dari Indonesia yang temannya atau saudaranya atau teman saudaranya atau entah siapanya gitu yang dirawat di RS sini, lalu juga minta dilawat. Pendeta-pendeta di sini akan berusaha memenuhi permintaan pelawatan itu.
Tadi salah seorang yang sakit tuh pria masih muda. Belum 40 tahun. Kanker di liver. Udah sangat parah. Ia udah ga sadar. Katanya, udah enam bulan dirawat di Singapore. Istrinya yang nungguin. Sabar dan telaten sekali ia. Kami berbincang, berdoa, baca Alkitab. Tampak ia udah pasrah. Jelas diwajahkan ada kesedihan, tapi ia ga menangis. Saya percaya, orang yang "diijinkan" Tuhan mengalami "cobaan" begitu, pastilah ia orang "istimewa". Melihat yang sakit gitu, baru deh kerasa betapa berharganya kesehatan. Biaya yang harus ditanggung keluarga pasti sangat mahal. Bukan hanya biaya dalam bentuk uang, tapi juga "biaya" dalam bentuk "rasa" dan "daya".
Tapi dalam sakit yang parah ga jarang loh orang ngalami sesuatu yang eksistensial. Entah pengalaman akan Tuhan yang personal, seperti Ayub dalam Alkitab. Entah makna cinta yang sejati (true love). Bayangkan seorang istri atau suami yang begitu telaten, sabar, penuh kasih, ngurusin suami atau istrinya. Kalo bukan cinta, entah apalagi yang bisa membuat mereka teguh begitu. Makanya betapa pun saya gak setuju dengan yang namanya euthanasia.
Tuesday, July 25, 2006
Tuesday's Song - 13
You Raise Me Up
Penyanyi : Josh Groban
When I am down and, oh my soul, so weary;
When troubles come and my heart burdened be;
Then, I am still and wait here in the silence,
Until You come and sit awhile with me.
You raise me up, so I can stand on mountains;
You raise me up, to walk on stormy seas;
I am strong, when I am on Your shoulders;
You raise me up... To more than I can be.
You raise me up, so I can stand on mountains;
You raise me up, to walk on stormy seas;
I am strong, when I am on Your shoulders;
You raise me up... To more than I can be.
You raise me up... To more than I can be.
Renungan :
Dalam hidup ini, sering kita mengalami saat-saat dimana kita merasa sendiri. Kesepian. Masalah datang bertubi-tubi. Hopeless. Seakan tidak ada seorangpun yang sanggup menyelesaikannya. Bahkan diri kita pun tidak. Pada saat begitu, yang perlu kita lakukan adalah sejenak berdiam diri. Merasakan kehadiran Tuhan duduk di samping kita. Memeluk. Mengangkat. Kalau Tuhan mengijinkan kita mengalami sesuatu hal yang berat. Ia pasti akan beri kita kemampuan untuk menanggungnya. Melewatinya. Bahkan, He raise me up to more than I can be.
Penyanyi : Josh Groban
When I am down and, oh my soul, so weary;
When troubles come and my heart burdened be;
Then, I am still and wait here in the silence,
Until You come and sit awhile with me.
You raise me up, so I can stand on mountains;
You raise me up, to walk on stormy seas;
I am strong, when I am on Your shoulders;
You raise me up... To more than I can be.
You raise me up, so I can stand on mountains;
You raise me up, to walk on stormy seas;
I am strong, when I am on Your shoulders;
You raise me up... To more than I can be.
You raise me up... To more than I can be.
Renungan :
Dalam hidup ini, sering kita mengalami saat-saat dimana kita merasa sendiri. Kesepian. Masalah datang bertubi-tubi. Hopeless. Seakan tidak ada seorangpun yang sanggup menyelesaikannya. Bahkan diri kita pun tidak. Pada saat begitu, yang perlu kita lakukan adalah sejenak berdiam diri. Merasakan kehadiran Tuhan duduk di samping kita. Memeluk. Mengangkat. Kalau Tuhan mengijinkan kita mengalami sesuatu hal yang berat. Ia pasti akan beri kita kemampuan untuk menanggungnya. Melewatinya. Bahkan, He raise me up to more than I can be.
Catatan Harian
Day - 251
Seharian keluar rumah nih. Siang berdua Dewi ketemu teman anggota jemaat Kayu Putih yang lagi di Singapore. Sekeluarga. Mereka ga sempat mampir dirumah, jadi kita janjian ketemu di Lucky Plaza. Ngobrol banyak hal tentang gereja sambil makan nasi lemak. Restorannya persis di atas House of Condom. Katanya itu toko yang menjual segala bentuk kondom. Sampai sekarang saya ga habis pikir, emang kondom bisa berbentuk apalagi? Teman saya sih bilang ada yang berbentuk gajah-gajahan. Ada yang berbentuk makhluk luar angkasa. Koq bisa ya. Hehehe. Kapan-kapan ah lihat.
Dari Lucky Plaza Dewi pulang, Kezia dan Karen ga ada yang tungguin pulang sekolah. Saya terus ke Singapore Bible College di Adam Road. Ketemu teman-teman mahasiswa Indonesia yang membantu pelayanan di GPBB. Kita dari latar belakang gereja yang berbeda. Ada GKY, GIA, GKI, terus apa lagi gitu. Saya lupa. Kita akrab. Sudah lama saya berpikir, jangan-jangan kesatuan gereja di Indonesia tuh bisa diwujudkan oleh orang-orang kristen Indonesia di luar negeri :).
Dari situ ke City Hall. Ketemu teman. Udah janji sejak lama. Nah teman saya ini dari gereja Bethany. Dulu di Indonesia ia GKI. Di Singapore pernah di GPO. Jebolan National University of Singapore (NUS). Nyambi sekolah teologi di SBC. Pindah ke Bethany. Udah jadi pendeta pembantu di sana. Tapi karier di kantornya tetap jalan. Setahun yang lalu waktu lagi penjajakan dengan GPBB, saya pernah ajak ia pimpin bareng di Persekutuan Pemuda GPO tentang pertumbuhan gereja.
Kita ngobrol sambil makan di Marina Square dekat Suntec City. Di mata saya ia itu salah satu “misteri”. Bayangkan seorang pria mapan, 30-an, pinter, penulis buku, karier bagus, wajah ga jelek, orangnya juga baik, keinginan menikah besar. Tapi koq jodohnya ga kunjung tiba? Aneh kan?
Seharian keluar rumah nih. Siang berdua Dewi ketemu teman anggota jemaat Kayu Putih yang lagi di Singapore. Sekeluarga. Mereka ga sempat mampir dirumah, jadi kita janjian ketemu di Lucky Plaza. Ngobrol banyak hal tentang gereja sambil makan nasi lemak. Restorannya persis di atas House of Condom. Katanya itu toko yang menjual segala bentuk kondom. Sampai sekarang saya ga habis pikir, emang kondom bisa berbentuk apalagi? Teman saya sih bilang ada yang berbentuk gajah-gajahan. Ada yang berbentuk makhluk luar angkasa. Koq bisa ya. Hehehe. Kapan-kapan ah lihat.
Dari Lucky Plaza Dewi pulang, Kezia dan Karen ga ada yang tungguin pulang sekolah. Saya terus ke Singapore Bible College di Adam Road. Ketemu teman-teman mahasiswa Indonesia yang membantu pelayanan di GPBB. Kita dari latar belakang gereja yang berbeda. Ada GKY, GIA, GKI, terus apa lagi gitu. Saya lupa. Kita akrab. Sudah lama saya berpikir, jangan-jangan kesatuan gereja di Indonesia tuh bisa diwujudkan oleh orang-orang kristen Indonesia di luar negeri :).
Dari situ ke City Hall. Ketemu teman. Udah janji sejak lama. Nah teman saya ini dari gereja Bethany. Dulu di Indonesia ia GKI. Di Singapore pernah di GPO. Jebolan National University of Singapore (NUS). Nyambi sekolah teologi di SBC. Pindah ke Bethany. Udah jadi pendeta pembantu di sana. Tapi karier di kantornya tetap jalan. Setahun yang lalu waktu lagi penjajakan dengan GPBB, saya pernah ajak ia pimpin bareng di Persekutuan Pemuda GPO tentang pertumbuhan gereja.
Kita ngobrol sambil makan di Marina Square dekat Suntec City. Di mata saya ia itu salah satu “misteri”. Bayangkan seorang pria mapan, 30-an, pinter, penulis buku, karier bagus, wajah ga jelek, orangnya juga baik, keinginan menikah besar. Tapi koq jodohnya ga kunjung tiba? Aneh kan?
Sunday, July 23, 2006
Catatan Harian
Day - 252
Tadi hanya pimpin kebaktian remaja. Jadi punya kesempatan ngelihat-lihat sekolah minggu. Kalo memungkinkan saya pengen ngajar sekolah minggu. Tapi umumnya anak sekolah minggu di sini udah ga fasih berbahasa Indonesia. Jadi Guru Sekolah Minggu harus lebih banyak pake bahasa Inggris. Sesekali campur bahasa Indonesia. Salah satu pergumulan keluarga-keluarga muda yang tinggal sementara di sini, dan juga di negara-negara laen, adalah anak-anaknya jadi susah bahasa Indonesia. Malah ada yang ga bisa ngomong sama sekali. Dengar masih ngerti tapi itupun terbatas.
Siang ikut persekutuan Maria Marta. Ini persekutuan untuk para pekerja rumah tangga yang bekerja di sini. Persekutuan Maria Marta ini sebulan sekali. Yang pimpin bergantian. Teman-teman pengurus juga ngadain kursus bahasa Inggris gratis buat mereka. Ga semua pekerja rumah tangga itu Kristen. Pelayanan gereja yang sangat bagus saya pikir.
Sore ada acara ulang tahunan di salah satu keluarga. Selain anggota keluarga yang diundang juga para anak asuh. Di sini kan banyak tuh mahasiswa atau siswa Indonesia yang sedang studi. Sebagai salah satu bentuk pelayanan gereja beberapa orang tua mengangkat mereka sebagai anak asuh. Satu keluarga bisa angkat 7-8 orang anak asuh. Peran orang tua asuh ya memperhatikan, tempat curhat. Sesekali mereka adakan acara bersama seperti sebuah keluarga. Intinya agar para mahasiswa dan siswa ga terlalu merasa sendiri jauh dari orang tua. Sebuah bentuk pelayanan yang sangat kreatif. Good.
Tadi hanya pimpin kebaktian remaja. Jadi punya kesempatan ngelihat-lihat sekolah minggu. Kalo memungkinkan saya pengen ngajar sekolah minggu. Tapi umumnya anak sekolah minggu di sini udah ga fasih berbahasa Indonesia. Jadi Guru Sekolah Minggu harus lebih banyak pake bahasa Inggris. Sesekali campur bahasa Indonesia. Salah satu pergumulan keluarga-keluarga muda yang tinggal sementara di sini, dan juga di negara-negara laen, adalah anak-anaknya jadi susah bahasa Indonesia. Malah ada yang ga bisa ngomong sama sekali. Dengar masih ngerti tapi itupun terbatas.
Siang ikut persekutuan Maria Marta. Ini persekutuan untuk para pekerja rumah tangga yang bekerja di sini. Persekutuan Maria Marta ini sebulan sekali. Yang pimpin bergantian. Teman-teman pengurus juga ngadain kursus bahasa Inggris gratis buat mereka. Ga semua pekerja rumah tangga itu Kristen. Pelayanan gereja yang sangat bagus saya pikir.
Sore ada acara ulang tahunan di salah satu keluarga. Selain anggota keluarga yang diundang juga para anak asuh. Di sini kan banyak tuh mahasiswa atau siswa Indonesia yang sedang studi. Sebagai salah satu bentuk pelayanan gereja beberapa orang tua mengangkat mereka sebagai anak asuh. Satu keluarga bisa angkat 7-8 orang anak asuh. Peran orang tua asuh ya memperhatikan, tempat curhat. Sesekali mereka adakan acara bersama seperti sebuah keluarga. Intinya agar para mahasiswa dan siswa ga terlalu merasa sendiri jauh dari orang tua. Sebuah bentuk pelayanan yang sangat kreatif. Good.
Catatan Harian
Day - 253
Kemarin malam saya ikut “konser doa” Love Sumatera di GPO. Pulang jam 22.30. Kezia dan Karen belum tidur. Sorenya saya ga sempet ketemu dengan mereka. Rupanya Kezia punya berita gembira. Nilai spelling Bahasa Inggrisnya dapat 10. Biasanya dapat 6 atau 7. Ia cerita dengan semangatnya. Mengingat apa yang ia hadapi akhir-akhir ini, jujur saya takjub. Bukan pada nilainya saja. Tapi pada semangatnya untuk menyesuaikan diri. Apalagi waktu saya lihat juga soal-soalnya. Tambah "takjub". Saya juga belum tentu bisa. Hehehe.
Kezia tuh anaknya perfeksionis kalau sudah menyangkut pelajaran sekolah. Baiknya, ia jadi termotivasi untuk belajar. Tapi buruknya, kan ga dalam semua hal kita bisa sempurna. Saya sih selalu bilang ke ia, yang penting sudah berusaha sebaik-baiknya. Soal hasil itu nomor dua. Bukan berarti saya ga senang kalo ia dapat nilai bagus. O, tentu saya bangga. Itu hasil usahanya. Kerja kerasnya. Papa bangga, Kez. Well done!!
Cuma kerap anak-anak menjadi tertekan dengan "ambisi" dan tuntutan orang tua. Mesti jadi juara kelas. Nilai harus bagus. Sehingga belajar menjadi beban. Ga dinikmati. Tentu ga ada yang salah dengan harapan-harapan itu. Tapi, yang ga kalah penting juga adalah mengajarkan nilai kehidupan. Bahwa di dunia ini, orang ga selalu menang. Ada saatnya kalah. Toh, kegagalan bukan dosa. Hanya sebuah kesempatan untuk mencoba lagi. Anak ga melulu "dibebani" harapan dan tuntutan. Tapi yang penting kasih sayang dan penerimaan. Sehingga ketika mereka menemukan masalah. Benturan dan kegagalan. Mereka ga merasa sendirian, terkucil dan dihakimi. Sebaliknya, merasakan penerimaan dan pendampingan. Di Indonesia tanggal 23 Juli adalah hari anak nasional. Selamat harimu, anak Indonesia.
Tadi siang ada teman dari Kayu Putih datang berkunjung ke GPBB. Sempet foto-foto:). Mereka terus ada acara. Saya sendiri ada rapat tim pemerhati. Terus ada katekisasi dan Persekutuan Keluarga Muda di gereja. Dilanjutkan Persekutuan Keluarga Senior di rumah salah seorang anggota jemaat. Sekalian ada acara perpisahan dengan satu keluarga yang mau pindah ke USA. Persekutuan-persekutuan di sini tuh penuh keakraban. Mungkin karena sama-sama berasal dari satu negara. Sampai di rumah udah jam 23 lebih.
Kemarin malam saya ikut “konser doa” Love Sumatera di GPO. Pulang jam 22.30. Kezia dan Karen belum tidur. Sorenya saya ga sempet ketemu dengan mereka. Rupanya Kezia punya berita gembira. Nilai spelling Bahasa Inggrisnya dapat 10. Biasanya dapat 6 atau 7. Ia cerita dengan semangatnya. Mengingat apa yang ia hadapi akhir-akhir ini, jujur saya takjub. Bukan pada nilainya saja. Tapi pada semangatnya untuk menyesuaikan diri. Apalagi waktu saya lihat juga soal-soalnya. Tambah "takjub". Saya juga belum tentu bisa. Hehehe.
Kezia tuh anaknya perfeksionis kalau sudah menyangkut pelajaran sekolah. Baiknya, ia jadi termotivasi untuk belajar. Tapi buruknya, kan ga dalam semua hal kita bisa sempurna. Saya sih selalu bilang ke ia, yang penting sudah berusaha sebaik-baiknya. Soal hasil itu nomor dua. Bukan berarti saya ga senang kalo ia dapat nilai bagus. O, tentu saya bangga. Itu hasil usahanya. Kerja kerasnya. Papa bangga, Kez. Well done!!
Cuma kerap anak-anak menjadi tertekan dengan "ambisi" dan tuntutan orang tua. Mesti jadi juara kelas. Nilai harus bagus. Sehingga belajar menjadi beban. Ga dinikmati. Tentu ga ada yang salah dengan harapan-harapan itu. Tapi, yang ga kalah penting juga adalah mengajarkan nilai kehidupan. Bahwa di dunia ini, orang ga selalu menang. Ada saatnya kalah. Toh, kegagalan bukan dosa. Hanya sebuah kesempatan untuk mencoba lagi. Anak ga melulu "dibebani" harapan dan tuntutan. Tapi yang penting kasih sayang dan penerimaan. Sehingga ketika mereka menemukan masalah. Benturan dan kegagalan. Mereka ga merasa sendirian, terkucil dan dihakimi. Sebaliknya, merasakan penerimaan dan pendampingan. Di Indonesia tanggal 23 Juli adalah hari anak nasional. Selamat harimu, anak Indonesia.
Tadi siang ada teman dari Kayu Putih datang berkunjung ke GPBB. Sempet foto-foto:). Mereka terus ada acara. Saya sendiri ada rapat tim pemerhati. Terus ada katekisasi dan Persekutuan Keluarga Muda di gereja. Dilanjutkan Persekutuan Keluarga Senior di rumah salah seorang anggota jemaat. Sekalian ada acara perpisahan dengan satu keluarga yang mau pindah ke USA. Persekutuan-persekutuan di sini tuh penuh keakraban. Mungkin karena sama-sama berasal dari satu negara. Sampai di rumah udah jam 23 lebih.
Saturday, July 22, 2006
Renungan Sabtu - 11
Lalat
Suatu siang di suatu saat. Sendirian saya nyetir mobil. Lalu lintas jakarta seperti biasa padat. Tanpa diduga ada lalat di dalam mobil. Mungkin dia masuk ketika tadi saya membuka pintu. Terbang ke sana-ke mari dengan suara mendengung hebat. Menggangu sekali.
Maka, saya berusaha mengeluarkannya. Membuka jendela, lalu menepuk-nepuknya dengan buku. Tetapi tidak berhasil. Lalat itu tidak juga mau keluar. Alih-alih lalat keluar, malah saya jadi tidak konsen nyetir. Sekali hampir nubruk metromini yang mendadak berhenti agak di tengah jalan menaikkan penumpang. Sekali lagi hampir nyenggol pembatas jalan ketika menghindari sepeda motor yang nyalib dari kiri.
Ah, lalat, binatang kecil yang biasanya sekali tepuk pergi jauh, kini jadi masalah besar. Bukan cuma mobil penyok karena nubruk taruhannya, tetapi mungkin juga nyawa!
Seseorang kerap juga “jatuh” karena hal kecil. Tanyakan kepada para pendaki gunung, hal apa yang kerap paling membuatnya repot? Bukan badai hebat atau cuaca buruk – untuk hal-hal itu biasanya mereka sudah mempersiapkan diri – tetapi pasir-pasir kecil yang masuk ke dalam sepatu mereka.
Seseorang yang sanggup bertahan dalam cobaan besar, deraan berat, tidak jarang justru jatuh dalam cobaan kecil. Maka, jangan pernah meremehkan godaan atau tantangan. Sekecil apa pun ia bisa menjatuhkanmu. Prinsipnya: waspada dalam segala hal. Eling. Eling. Dan eling.
Dari buku Tragedi dan Komedi - Ayub Yahya, diterbitkan oleh Grasindo
Catatan Harian
Day - 254
Siang diajak makan sama Rev. James Seah. Ia pendeta paling senior. Orangnya baik banget. Bener-bener sosok seorang pendeta deh. Ga kayak saya :) Ia orang Malaysia. Kita makan sekalian bareng dengan teman-teman Pendeta dan Preacher dari kongregasi bahasa Inggris dan Mandarin. Sudah direncanakan sejak minggu lalu. Saya satu-satunya yang bahasa Inggrisnya “payah” :). Duh. Tapi ya so far so good-lah. Rasanya akrab. Kita makan di Penang Place, restoran khas Malaysia. Di daerah Jurong. Buffet. Semua makanannya enak-enak. Kecuali rujak, rasanya aneh. Katanya, yang punya pendeta. Dan kalau pendeta bawa teman makan di situ, ga bayar.
Saya bermimpi punya “bisnis” sendiri. Syaratnya “bisnis” itu jangan yang menyita waktu saya. Dan saya juga ga akan “ngoyo” dengan bisnis itu. Cukup bisa membuat saya “bebas secara financial”. Ini istilah dari Robert Kiyosaki. Intinya, saya dan keluarga ga usah "menggantungkan nafkah" ke gereja, tapi juga saya bisa punya banyak waktu buat pelayanan di gereja. Tanpa terikat lembaga tertentu. Saya kira itu akan lebih produktif deh. Cuma apa bisa ya. Apalagi sampai sekarang pun belum kebayang, bisanya bisnis apa gitu. Mungkin sih penerbitan buku. Atau lembaga konsultasi dan pendidikan. Namanya juga mimpi. Hehehe.
Sejak SD sampai SMP di Bandung sebetulnya saya sudah berbisnis. Jualan telor puyuh. Jualan mainan anak-anak. Pernah juga jualan rokok dan permen. Tapi “bakat” bisnis saya ga terasah. Malah terkubur. Hehehe. Masuk STM saya beralih ke menulis. Sampai kuliah. Sampai sekarang. Bisa jadi sih Tuhan ga ngijinin saya punya “bisnis” di waktu sekarang-sekarang ini, karena tahu jangan-jangan konsentrasi saya malah ke bisnis ga ke pelayanan :).
Makanya saya heran. Ada seorang teman saya. Ia punya warisan dari ayahnya bisnis yang oke. Ia tinggal jalanin tanpa banyak menyita waktu. Bisnis itu sudah bisa jalan sendirilah. Eh, ia malah mau masuk sekolah teologi. Orang itu emang lain-lain. Rumput di halaman rumah tetangga selalu kelihatan lebih hijau. Saya pun ngelihatnya enak ya orang yang punya bisnis bisa punya banyak waktu buat ini dan itu. Bisa melakukan kegiatan di gereja sesuai minat hatinya. Padahal kalau saya sudah ngalami sendiri, ya belum tentu juga.
Siang diajak makan sama Rev. James Seah. Ia pendeta paling senior. Orangnya baik banget. Bener-bener sosok seorang pendeta deh. Ga kayak saya :) Ia orang Malaysia. Kita makan sekalian bareng dengan teman-teman Pendeta dan Preacher dari kongregasi bahasa Inggris dan Mandarin. Sudah direncanakan sejak minggu lalu. Saya satu-satunya yang bahasa Inggrisnya “payah” :). Duh. Tapi ya so far so good-lah. Rasanya akrab. Kita makan di Penang Place, restoran khas Malaysia. Di daerah Jurong. Buffet. Semua makanannya enak-enak. Kecuali rujak, rasanya aneh. Katanya, yang punya pendeta. Dan kalau pendeta bawa teman makan di situ, ga bayar.
Saya bermimpi punya “bisnis” sendiri. Syaratnya “bisnis” itu jangan yang menyita waktu saya. Dan saya juga ga akan “ngoyo” dengan bisnis itu. Cukup bisa membuat saya “bebas secara financial”. Ini istilah dari Robert Kiyosaki. Intinya, saya dan keluarga ga usah "menggantungkan nafkah" ke gereja, tapi juga saya bisa punya banyak waktu buat pelayanan di gereja. Tanpa terikat lembaga tertentu. Saya kira itu akan lebih produktif deh. Cuma apa bisa ya. Apalagi sampai sekarang pun belum kebayang, bisanya bisnis apa gitu. Mungkin sih penerbitan buku. Atau lembaga konsultasi dan pendidikan. Namanya juga mimpi. Hehehe.
Sejak SD sampai SMP di Bandung sebetulnya saya sudah berbisnis. Jualan telor puyuh. Jualan mainan anak-anak. Pernah juga jualan rokok dan permen. Tapi “bakat” bisnis saya ga terasah. Malah terkubur. Hehehe. Masuk STM saya beralih ke menulis. Sampai kuliah. Sampai sekarang. Bisa jadi sih Tuhan ga ngijinin saya punya “bisnis” di waktu sekarang-sekarang ini, karena tahu jangan-jangan konsentrasi saya malah ke bisnis ga ke pelayanan :).
Makanya saya heran. Ada seorang teman saya. Ia punya warisan dari ayahnya bisnis yang oke. Ia tinggal jalanin tanpa banyak menyita waktu. Bisnis itu sudah bisa jalan sendirilah. Eh, ia malah mau masuk sekolah teologi. Orang itu emang lain-lain. Rumput di halaman rumah tetangga selalu kelihatan lebih hijau. Saya pun ngelihatnya enak ya orang yang punya bisnis bisa punya banyak waktu buat ini dan itu. Bisa melakukan kegiatan di gereja sesuai minat hatinya. Padahal kalau saya sudah ngalami sendiri, ya belum tentu juga.
Friday, July 21, 2006
Friday's Joke - 10
KESASAR
Udin pada dasarnya sangat membenci kucing, ditambah lagi istrinya memelihara seekor kucing yang sangat di sayanginya. Bertambah-tambah kebenciannya terhadap kucing istrinya, karena ia menganggap istrinya lebih sayang kucing dari pada dirinya.
Suatu hari ia memutuskan untuk membuang kucing tersebut secara diam-diam. Udin pergi sekitar 10 km dari rumah, ia pun membuang kucing tersebut, anehnya setelah ia sampai dirumah, sikucing sudah ada disana.
Besoknya ia berusaha membuang kucing istrinya lebih jauh, lebih jauh lagi, tapi tetap saja sikucing kembali kerumah mendahului dirinya.
Suatu hari ia tidak saja membuangnya lebih jauh, tapi dibawanya putar2 dahulu, belok kanan, kiri, kanan, kiri lagi dan berputar-putar sebelum membuangnya dan akhirnya ia membuang kucing yang dibawanya.
Beberapa jam kemudian ia menelpon istrinya : "Tik, kucingmu ada dirumah?" tanya Udin.
”Ada, kenapa? Tumben nanya simanis segala," jawab istrinya agak heran.
”Panggil dia Tik, aku mau tanya arah pulang, aku kesasar..........!"
mailto:&%$#@*(&%???
Ayah's quote :
Kerap kita dipersulit oleh ulah kita sendiri. Apa yang ditabur, itu juga yang akan dituai.
Thursday, July 20, 2006
Catatan Harian
Day - 255
Kemarin malam ke library di West Mall. Kezia dan Karen yang ngajak. Sekalian kita mau daftar member. Tempo hari kita ke sana ga bisa daftar member karena ga bawa paspor. Saya tuh ga “iri” dengan segala keteraturan, kebersihan, dan kemudahan tranpostasi di Singapura. Menurut saya, wajarlah. Ini negara kecil. Pasti ga sesulit ngurusin negara macam Indonesia. Tapi jujur, sungguh saya “iri” sekali ngelihat perpustakaannya. Ya ampun, anak-anak di sini bener-bener deh “dimanjakan” dengan buku-buku. Saya sangat terpesona melihat bagaimana anak-anak kecil begitu asyik membaca-baca buku di perpustakaan. Buku-bukunya bagus-bagus. Tempatnya nyaman. Bersih. Teratur. Pinjem dan kembaliin gampang. Andai Indonesia bisa sepeti ini. Buku adalah dasar penting pendidikan sebuah bangsa.
Saya kira peradaban sebuah bangsa bisa dilihat sejauh mana masyarakatnya mencintai buku. Kemajuan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kecintaan bangsa itu membaca buku. Dan bagaimana sebuah masyarakat bisa mencintai buku sangat ditentukan sejauh mana pemerintah punya kepedulian akan pendidikan rakyatnya. Sayang Indonesia sudah terlalu lama diperintah oleh rezim yang lebih peduli kepentingan diri dan kroninya daripada pendidikan bangsanya. Saya jadi teringat seorang teman yang bemimpi membuka perpustakaan gratis di desa untuk masyarakat di desa. Saya mendukung sekali upaya-upaya seperti ini.
Mungkin baik juga gereja-gereja bekerja sama dengan penerbit-penerbit Kristen berusaha membangun perpustakaan gratis di desa-desa. Saya kira itu bisa menjadi salah satu misi gereja. Selama ini misi gereja kerap hanya kartitatif, bagi-bagi sembako, bagi-bagi uang, bagi-bagi pakaian. Ga salah sih. Tapi kalau hanya begitu ga cukup deh. Perlu misi yang sifatnya transformatif. Mengubah. Memperbaharui.
Tadi pagi bersama Dewi, saya ke Gleneagles Hospital di Orchad. Nengok seorang anggota jemaat dari Jakarta yang baru operasi di sana. Naik bis dua kali. Kami sudah membeli buku petunjuk bis. Tapi saya sih tetap ga bisa “membacanya”. Sebenarnya bukan ga bisa sih, cuma ga telaten saja. Untuk urusan jalan saya sih ngandelin Dewi.
Kemarin malam ke library di West Mall. Kezia dan Karen yang ngajak. Sekalian kita mau daftar member. Tempo hari kita ke sana ga bisa daftar member karena ga bawa paspor. Saya tuh ga “iri” dengan segala keteraturan, kebersihan, dan kemudahan tranpostasi di Singapura. Menurut saya, wajarlah. Ini negara kecil. Pasti ga sesulit ngurusin negara macam Indonesia. Tapi jujur, sungguh saya “iri” sekali ngelihat perpustakaannya. Ya ampun, anak-anak di sini bener-bener deh “dimanjakan” dengan buku-buku. Saya sangat terpesona melihat bagaimana anak-anak kecil begitu asyik membaca-baca buku di perpustakaan. Buku-bukunya bagus-bagus. Tempatnya nyaman. Bersih. Teratur. Pinjem dan kembaliin gampang. Andai Indonesia bisa sepeti ini. Buku adalah dasar penting pendidikan sebuah bangsa.
Saya kira peradaban sebuah bangsa bisa dilihat sejauh mana masyarakatnya mencintai buku. Kemajuan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kecintaan bangsa itu membaca buku. Dan bagaimana sebuah masyarakat bisa mencintai buku sangat ditentukan sejauh mana pemerintah punya kepedulian akan pendidikan rakyatnya. Sayang Indonesia sudah terlalu lama diperintah oleh rezim yang lebih peduli kepentingan diri dan kroninya daripada pendidikan bangsanya. Saya jadi teringat seorang teman yang bemimpi membuka perpustakaan gratis di desa untuk masyarakat di desa. Saya mendukung sekali upaya-upaya seperti ini.
Mungkin baik juga gereja-gereja bekerja sama dengan penerbit-penerbit Kristen berusaha membangun perpustakaan gratis di desa-desa. Saya kira itu bisa menjadi salah satu misi gereja. Selama ini misi gereja kerap hanya kartitatif, bagi-bagi sembako, bagi-bagi uang, bagi-bagi pakaian. Ga salah sih. Tapi kalau hanya begitu ga cukup deh. Perlu misi yang sifatnya transformatif. Mengubah. Memperbaharui.
Tadi pagi bersama Dewi, saya ke Gleneagles Hospital di Orchad. Nengok seorang anggota jemaat dari Jakarta yang baru operasi di sana. Naik bis dua kali. Kami sudah membeli buku petunjuk bis. Tapi saya sih tetap ga bisa “membacanya”. Sebenarnya bukan ga bisa sih, cuma ga telaten saja. Untuk urusan jalan saya sih ngandelin Dewi.
Catatan Harian
Day - 256
Pagi ke Bank. Ngurus yang tempo hari belum kelar. Bareng teman. Beres. Kalo tau caranya, semua urusan tuh gampang koq:). Pulang hujan gede banget. Untung teman bawa mobil. Saya langsung ke gereja. Biasa, ngantor. Sebelumnya saya sudah bilang sih ke teman dikantor, saya datang agak siangan.
Di sini pendeta ada jam kantor, tapi ga mutlak harus gitu. Yang penting HP on dan kalo kemana-mana kasih tau orang kantor. Jadi kalo sampai ada apa-apa, gampang “ngelacak” gitu. Saya ga asing dengan kebiasaan ini. Dan menurut saya ini bagus. Suka ada kan di gereja itu, pendetanya kemana ga ada yang tau. Hp-nya off lagi. Ketika ada perlu apa-apa, baru deh orang-orang kelabakan.
Siang dengan teman bicarain persiapan kegiatan apresiasi aktifis Agustus yang akan datang. Ga direncanakan sih. Cuma tiba-tiba saja dapat ide. Ini juga salah satu baiknya kalo para pendeta ada jam kantor. Relasi dan kerja sama dengan rekan sekerja jadi lebih intens. Ada apa-apa, misalnya ketemu ide berkenaan dengan kegiatan tertentu, bisa langsung didiskusikan. Sulit berharap kerjasama yang baik kalo antar rekan sekerja ketemu saja jarang. Atau kalo ketemu paling pas lagi rapat.
Sore waktu pulang dapat SMS dari teman di Jakarta, katanya ada gempa. Malamnya saya nonton berita di TV tentang tsunami di pantai Pangandaran dan sepanjang laut selatan Jawa. Saya agak ketinggalan berita nih. Habis baca koran sudah ga pernah. Nonton TV sangat jarang. Berita-berita paling taunya dari internet atau SMS teman-teman. Duh. Indonesia koq ya “ga putus dirundung malang”. Sad. Tuhan, Tuhan!
Pagi ke Bank. Ngurus yang tempo hari belum kelar. Bareng teman. Beres. Kalo tau caranya, semua urusan tuh gampang koq:). Pulang hujan gede banget. Untung teman bawa mobil. Saya langsung ke gereja. Biasa, ngantor. Sebelumnya saya sudah bilang sih ke teman dikantor, saya datang agak siangan.
Di sini pendeta ada jam kantor, tapi ga mutlak harus gitu. Yang penting HP on dan kalo kemana-mana kasih tau orang kantor. Jadi kalo sampai ada apa-apa, gampang “ngelacak” gitu. Saya ga asing dengan kebiasaan ini. Dan menurut saya ini bagus. Suka ada kan di gereja itu, pendetanya kemana ga ada yang tau. Hp-nya off lagi. Ketika ada perlu apa-apa, baru deh orang-orang kelabakan.
Siang dengan teman bicarain persiapan kegiatan apresiasi aktifis Agustus yang akan datang. Ga direncanakan sih. Cuma tiba-tiba saja dapat ide. Ini juga salah satu baiknya kalo para pendeta ada jam kantor. Relasi dan kerja sama dengan rekan sekerja jadi lebih intens. Ada apa-apa, misalnya ketemu ide berkenaan dengan kegiatan tertentu, bisa langsung didiskusikan. Sulit berharap kerjasama yang baik kalo antar rekan sekerja ketemu saja jarang. Atau kalo ketemu paling pas lagi rapat.
Sore waktu pulang dapat SMS dari teman di Jakarta, katanya ada gempa. Malamnya saya nonton berita di TV tentang tsunami di pantai Pangandaran dan sepanjang laut selatan Jawa. Saya agak ketinggalan berita nih. Habis baca koran sudah ga pernah. Nonton TV sangat jarang. Berita-berita paling taunya dari internet atau SMS teman-teman. Duh. Indonesia koq ya “ga putus dirundung malang”. Sad. Tuhan, Tuhan!
Wednesday, July 19, 2006
Wednesday's Games Idea - 07
Dokter Spesialis Bedah Pisang
Bahan untuk metode ini : sebuah pisang yang cukup keras untuk setiap kelompok, pisau dan enam buah tusuk gigi untuk setiap kelompok.
Jumlah peserta : Tidak dibatasi, peserta di bagi dalam kelompok yang beranggotakan maksimal 6 orang (tidak untuk anak-anak).
Waktu yang dibutuhkan : 15 - 30 menit
Aturan permainan :
Setiap kelompok mendapat sebuah pisang yang cukup keras, sebuah pisau dan beberapa tusuk gigi. Selama lima menit setiap kelompok harus mengupas pisang tersebut dan membelahnya menjadi empat. Pisang yang sudah terbelah kemudian ditunjukkan kepada wasit. Setelah itu kelompok "mengobati" pisangnya dengan cara menyatukan kembali, lengkap dengan kulitnya. Kelompok diizinkan memakai tusuk gigi untuk merapihkan pisangnya. Kelompok yang paling baik "mengobati" pisangnya adalah pemenangnya.
Tujuan permainan :
Kadang ketika kita "merusak" sesuatu, tidak pernah kita sadari, betapa sulit "memperbaikinya". Yang pasti, tidak akan kembali ke bentuk semula. Relasi antar manusia pun demikian. Betapa mudah kita menyakiti hati orang lain. Dengan kata-kata. Dengan tindakan. Padahal, tidak mudah untuk mengobatinya.
Tuesday, July 18, 2006
Catatan Harian
Day - 257
Mulai deh saya mengalami “culture-shock”. Ritme kerja di sini tuh serba teratur, terencana dan cepat. Lah selama ini saya kan biasa ikut ritme kerja “seniman”. Tunggu kepepet, baru tuh ide-ide keluar. Di sini satu saja kerjaan hari ini tertunda, besok tambah numpuk.
Jangan jauh-jauh deh, email. Selama ini saya ga selalu langsung jawab email yang masuk. Bisa besoknya atau lusanya. Lha di sini sehari ga jawab email. Besok sudah ada lagi email yang harus dijawab. Lama-lama numpuk. Duh. Tapi saya lihat positifnya saja deh. Saya tuh punya tingkat “disiplin” yang rendah. Mungkin karena prinsip hidup saya “go with the flow”. Di sini saya dididik berdisiplin. Bersyukur teman-teman di sini sangat men-support. Mereka banyak membantu.
Saya kenal banyak teman yang sukses dalam kariernya. Mereka itu rata-rata orang yang berdisiplin, pekerja keras, berdedikasi. Bukan orang yang berprinsip seperti saya. Tuhan berbaik hati mengijinkan saya bersekolah di “sekolah kehidupan” di sini. Supaya saya bisa memaksimalkan talenta yang sudah diberikan-Nya. Semoga selama di sini, betul-betul bisa menjadi pembelajaran bagi saya. Dan keluarga tentunya.
Tadi pagi ke kantor imigrasi dan KBRI. Diantar teman dari GPBB. Urusan lancar. Di sini tuh kalau tau, semua gampang :). Selama ini kesannya rumit karena ga tahu. Saya terus flu nih. Aneh deh. Tadi pagi flu. Siang ga. Eh, sore flu lagi. Mana kalo bersin-bersin, kata Dewi bersinnya “mengerikan”. Capek deh. Beberapa teman dari Jakarta juga terus membesarkan hati saya. Ada teman yang kirim sms ini : “Km flu ga bae2, stress tu. Terlalu nervous sama lingkgn baru.Nikmati aja, brur, dan jalani ngeflow.” Thx, temans.
Mulai deh saya mengalami “culture-shock”. Ritme kerja di sini tuh serba teratur, terencana dan cepat. Lah selama ini saya kan biasa ikut ritme kerja “seniman”. Tunggu kepepet, baru tuh ide-ide keluar. Di sini satu saja kerjaan hari ini tertunda, besok tambah numpuk.
Jangan jauh-jauh deh, email. Selama ini saya ga selalu langsung jawab email yang masuk. Bisa besoknya atau lusanya. Lha di sini sehari ga jawab email. Besok sudah ada lagi email yang harus dijawab. Lama-lama numpuk. Duh. Tapi saya lihat positifnya saja deh. Saya tuh punya tingkat “disiplin” yang rendah. Mungkin karena prinsip hidup saya “go with the flow”. Di sini saya dididik berdisiplin. Bersyukur teman-teman di sini sangat men-support. Mereka banyak membantu.
Saya kenal banyak teman yang sukses dalam kariernya. Mereka itu rata-rata orang yang berdisiplin, pekerja keras, berdedikasi. Bukan orang yang berprinsip seperti saya. Tuhan berbaik hati mengijinkan saya bersekolah di “sekolah kehidupan” di sini. Supaya saya bisa memaksimalkan talenta yang sudah diberikan-Nya. Semoga selama di sini, betul-betul bisa menjadi pembelajaran bagi saya. Dan keluarga tentunya.
Tadi pagi ke kantor imigrasi dan KBRI. Diantar teman dari GPBB. Urusan lancar. Di sini tuh kalau tau, semua gampang :). Selama ini kesannya rumit karena ga tahu. Saya terus flu nih. Aneh deh. Tadi pagi flu. Siang ga. Eh, sore flu lagi. Mana kalo bersin-bersin, kata Dewi bersinnya “mengerikan”. Capek deh. Beberapa teman dari Jakarta juga terus membesarkan hati saya. Ada teman yang kirim sms ini : “Km flu ga bae2, stress tu. Terlalu nervous sama lingkgn baru.Nikmati aja, brur, dan jalani ngeflow.” Thx, temans.
Tuesday's Song - 12
My Heart (Soundtrack Film : Heart)
Penyanyi : Irwansyah dan Acha
Pencipta : Melly Goeslaw
Di sini kau dan aku terbiasa bersama
Menjalani kasih sayang
Bahagiaku denganmu
Pernahkah kau menguntai hari paling indah
Kuukir nama kita berdua
Di sini surga kita
Reff.
Bila kita mencintai yang lain
Mungkinkah hati ini akan tegar
Sebisa mungkin tak akan pernah
Sayangku akan hilang
If you love somebody
Could we be this strong
I will fight to win
Our love will conquer all
Wouldn't risk my love
Even just one night
Our love will stay in my heart
Renungan :
Perfilman Indonesia sedang bangkit. Terutama film remaja. Mengusung tema cinta. Dan dunia keseharian remaja. Sebuah film tidak berdiri sendiri. Pemilihan soundtrack yang pas jadi salah satu "marketing tools" yang ampuh untuk membuat sebuah film diterima pasar. Lagu My Heart ini dinyanyikan oleh penyanyi debutan. Sekaligus pemeran utama film ini. Film romantis garapan Hanny R. Saputra ini bertahan berminggu-minggu di bioskop Indonesia. Bahkan konon di Jakarta, film ini "ngalahin" Da Vinci Code. Bravo. Cinta memang selalu indah untuk dibicarakan. Gak habis-habisnya deh. Duh5.
Penyanyi : Irwansyah dan Acha
Pencipta : Melly Goeslaw
Di sini kau dan aku terbiasa bersama
Menjalani kasih sayang
Bahagiaku denganmu
Pernahkah kau menguntai hari paling indah
Kuukir nama kita berdua
Di sini surga kita
Reff.
Bila kita mencintai yang lain
Mungkinkah hati ini akan tegar
Sebisa mungkin tak akan pernah
Sayangku akan hilang
If you love somebody
Could we be this strong
I will fight to win
Our love will conquer all
Wouldn't risk my love
Even just one night
Our love will stay in my heart
Renungan :
Perfilman Indonesia sedang bangkit. Terutama film remaja. Mengusung tema cinta. Dan dunia keseharian remaja. Sebuah film tidak berdiri sendiri. Pemilihan soundtrack yang pas jadi salah satu "marketing tools" yang ampuh untuk membuat sebuah film diterima pasar. Lagu My Heart ini dinyanyikan oleh penyanyi debutan. Sekaligus pemeran utama film ini. Film romantis garapan Hanny R. Saputra ini bertahan berminggu-minggu di bioskop Indonesia. Bahkan konon di Jakarta, film ini "ngalahin" Da Vinci Code. Bravo. Cinta memang selalu indah untuk dibicarakan. Gak habis-habisnya deh. Duh5.
Catatan Harian
Day - 258
Pagi Kezia pamit sekolah. Seperti biasa dengan wajah memelas. Jujur di hati kecil saya, saya merasa ga tega. Kezia sedang melewati saat-saat berat. Penyesuaian diri dengan lingkungan sekolah di sini tentu ga gampang. Ia sampai pernah bertanya, “Kenapa sih, Pa kita mesti pindah ke Singapore?”. Tapi di hati besar saya, saya bersyukur. Saat sulit di awal-awal kami di sini akan jadi pembelajaran yang baik buat Kezia.
Untuk Kezia dan Karen saya kerap berdoa begini : “Tuhan, jangan selalu berikan kepada anak-anak saya kasur busa yang empuk. Berikan juga kepada mereka tanah berbatu dan semak duri. Supaya mereka tumbuh menjadi pribadi tangguh dan mandiri. Jangan selalu bawa mereka ke air yang tenang dan teduh. Bawa juga mereka arungi ombak dan badai. Supaya mereka selalu ingat dan bergantung kepadaMu”. Di sini rupanya doa saya mulai terjawab. Thx, God.
Pagi bersama Dewi dan Karen jalan-jalan ke Nature Park. Ga jauh dari rumah. Karen sekolah siang. Nature Park semacam hutan kecil di tengah kota. Kalo pagi dan sore banyak orang yang berolahraga atau sekadar jalan-jalan di sana. Ada danau dan tempat rekreasinya. Bagus.
Sorenya bersama Dewi, Kezia dan Karen ke Public Library di West Mall dekat rumah. Buku-buku untuk anak-anaknya oke-oke. Bisa ngirit dana untuk beli buku nih:). Kata teman-teman di sini, itu tuh perpustakaan “standar”. Hampir di setiap daerah ada. Tapi untuk ukuran saya sudah termasuk bagus. Terutama sistem komputernya. Sangat modern. Perpustakaan kampus-kampus yang saya kenal saja ga kayak gitu. Tiba-tiba saya jadi takut deh. Takut kalau saya jadi “betah” di sini. Hehehe.
Pagi Kezia pamit sekolah. Seperti biasa dengan wajah memelas. Jujur di hati kecil saya, saya merasa ga tega. Kezia sedang melewati saat-saat berat. Penyesuaian diri dengan lingkungan sekolah di sini tentu ga gampang. Ia sampai pernah bertanya, “Kenapa sih, Pa kita mesti pindah ke Singapore?”. Tapi di hati besar saya, saya bersyukur. Saat sulit di awal-awal kami di sini akan jadi pembelajaran yang baik buat Kezia.
Untuk Kezia dan Karen saya kerap berdoa begini : “Tuhan, jangan selalu berikan kepada anak-anak saya kasur busa yang empuk. Berikan juga kepada mereka tanah berbatu dan semak duri. Supaya mereka tumbuh menjadi pribadi tangguh dan mandiri. Jangan selalu bawa mereka ke air yang tenang dan teduh. Bawa juga mereka arungi ombak dan badai. Supaya mereka selalu ingat dan bergantung kepadaMu”. Di sini rupanya doa saya mulai terjawab. Thx, God.
Pagi bersama Dewi dan Karen jalan-jalan ke Nature Park. Ga jauh dari rumah. Karen sekolah siang. Nature Park semacam hutan kecil di tengah kota. Kalo pagi dan sore banyak orang yang berolahraga atau sekadar jalan-jalan di sana. Ada danau dan tempat rekreasinya. Bagus.
Sorenya bersama Dewi, Kezia dan Karen ke Public Library di West Mall dekat rumah. Buku-buku untuk anak-anaknya oke-oke. Bisa ngirit dana untuk beli buku nih:). Kata teman-teman di sini, itu tuh perpustakaan “standar”. Hampir di setiap daerah ada. Tapi untuk ukuran saya sudah termasuk bagus. Terutama sistem komputernya. Sangat modern. Perpustakaan kampus-kampus yang saya kenal saja ga kayak gitu. Tiba-tiba saya jadi takut deh. Takut kalau saya jadi “betah” di sini. Hehehe.
Sunday, July 16, 2006
Catatan Harian
Day - 259
Di seberang GPBB tuh ada food court. Murah meriah. Makanannya oke-okelah. Nah kalo siang sehabis bubaran gereja, jemaat GPBB “pindah” deh ke situ :). Sama keluarga masing-masing. Orang-orang sini banyaknya ga masak sendiri. Makan di luar. Tapi malah jadi tambah akrab. Keakraban di gereja tuh penting. Bahkan menurut saya ga kalah penting dengan pembinaan. Kalau sudah akrab, kerja sama pun enak. Komunikasi lebih lancar. Pengertian dan kesalingpahaman lebih oke. Ini bisa jadi dasar yang baik untuk melayani bersama. Keakraban biasanya lebih mudah terbangun dalam suasana informal. So, bagi GPBB food court di seberang itu “anugerah” tersendiri :).
Tadi ada teman dari Kayu Putih yang kunjungan ke GPBB. Saya selalu senang dapat kunjungan teman-teman Kayu Putih. Obat kangen. Sayang tadi saya ga bisa temani. Setelah pimpin khotbah dua kali di GPBB, saya harus khotbah di GPO. Di sana juga ketemu teman-teman lama dari Jakarta yang sudah pindah ke Singapore.
Habis pimpin kebaktian ikut ramah tamah sebentar. Di sini setiap selesai kebaktian ada acara ramah tamah jemaat; minum teh dan makan kue-kue kecil. Terus rapat majalah “Gema”. Itu majalah intern GPO dan GPBB. Saya punya concern mengefektifkan pelayanan literatur kayak perpustakaan dan kolportase termasuk warta jemaat dan majalah. Menurut saya literatur bisa jadi sarana pembinaan dan pelayanan yang baik sekali. Sayang umumnya gereja kurang perhatian terhadap pelayanan ini. Lihat saja perpustakaan dan kolportase di banyak gereja biasanya sekadar ada. Warta jemaat hanya jadi sara informasi kegiatan. Padahal bisa dijadikan sarana pembinaan. Majalah atau buletin kerap ga ditangani serius.
Pulang malam naik MRT bareng teman. Terus nyambung bis. Ketemu beberapa pelaut anggota jemaat. Sambil ngobrol. Di sini tuh ada yang namanya Komisi Pelaut. Di GPO anggota jemaat yang pelaut banyak. Sampai rumah flu berat nih. Bersin-bersin dan meler terus. Biasa nih kalau ga tidur siang. Minum obat. “Teler” deh saya. Duh.
Di seberang GPBB tuh ada food court. Murah meriah. Makanannya oke-okelah. Nah kalo siang sehabis bubaran gereja, jemaat GPBB “pindah” deh ke situ :). Sama keluarga masing-masing. Orang-orang sini banyaknya ga masak sendiri. Makan di luar. Tapi malah jadi tambah akrab. Keakraban di gereja tuh penting. Bahkan menurut saya ga kalah penting dengan pembinaan. Kalau sudah akrab, kerja sama pun enak. Komunikasi lebih lancar. Pengertian dan kesalingpahaman lebih oke. Ini bisa jadi dasar yang baik untuk melayani bersama. Keakraban biasanya lebih mudah terbangun dalam suasana informal. So, bagi GPBB food court di seberang itu “anugerah” tersendiri :).
Tadi ada teman dari Kayu Putih yang kunjungan ke GPBB. Saya selalu senang dapat kunjungan teman-teman Kayu Putih. Obat kangen. Sayang tadi saya ga bisa temani. Setelah pimpin khotbah dua kali di GPBB, saya harus khotbah di GPO. Di sana juga ketemu teman-teman lama dari Jakarta yang sudah pindah ke Singapore.
Habis pimpin kebaktian ikut ramah tamah sebentar. Di sini setiap selesai kebaktian ada acara ramah tamah jemaat; minum teh dan makan kue-kue kecil. Terus rapat majalah “Gema”. Itu majalah intern GPO dan GPBB. Saya punya concern mengefektifkan pelayanan literatur kayak perpustakaan dan kolportase termasuk warta jemaat dan majalah. Menurut saya literatur bisa jadi sarana pembinaan dan pelayanan yang baik sekali. Sayang umumnya gereja kurang perhatian terhadap pelayanan ini. Lihat saja perpustakaan dan kolportase di banyak gereja biasanya sekadar ada. Warta jemaat hanya jadi sara informasi kegiatan. Padahal bisa dijadikan sarana pembinaan. Majalah atau buletin kerap ga ditangani serius.
Pulang malam naik MRT bareng teman. Terus nyambung bis. Ketemu beberapa pelaut anggota jemaat. Sambil ngobrol. Di sini tuh ada yang namanya Komisi Pelaut. Di GPO anggota jemaat yang pelaut banyak. Sampai rumah flu berat nih. Bersin-bersin dan meler terus. Biasa nih kalau ga tidur siang. Minum obat. “Teler” deh saya. Duh.
Saturday, July 15, 2006
Catatan Harian
Day - 260
Tadi Siang ada urusan ke Bank. Berangkat bareng Dewi. Janjian ketemu teman juga. Sekalian ia mau bantuin. Ia kan sudah lama tinggal di sini. Minimal udah ngerti tata caranya. Antrian lumayan panjang. Lama. Padahal teman saya punya keperluan lain. Ia ga bisa nunggu. Akhirnya kami ditinggal. Jadilah Dewi dan saya bengak-bengok jelasin maksudnya kita:). Akibatnya, salah ngerti. Customer Service-nya salah nangkap. Kami juga. Yang sederhana jadi rumit. Gagal deh. Hehehe.
Saya cerita ke teman di Jakarta. Ia bilang orang-orang bank di Singapore udah terbiasa kok ngelayani orang Indonesia. Jadi pe-de saja. Ga ngerti tanya. Minta saja mereka jelaskan pelan-pelan. Maklum, pengalaman pertama buka rekening di luar negeri. Padahal yang namanya bank tuh “standar”nya mirip. Ternyata waktu dipelajari, ya ga sulit juga. Sama saja dengan bank di Indonesia. Namanya juga proses belajar. Senin kita balik lagi.
Dari Bank saya dan Dewi pisah. Ia temenin anak-anak jalan-jalan. Sabtu mereka libur sekolah. Refreshing buat anak-anak juga. Saya ke gereja. Ada rapat pembinaan. Saya kan baru. Jadi perlu ikut semuanya dulu:). Sorenya ada Persekutuan Pemuda. Yang datang hampir semua orang-orang Indonesia yang lagi studi di sini. Kelihatan dari “wajah” dan “gaya”, mereka orang-orang yang pintar di sekolahnya. Senang berada di tengah anak muda. Melihat semangat mereka. Merasakan keakraban. Jadi ingat waktu muda dulu:).
Pulang naik bis. Ini pertama kali saya naik bis malam-malam sendiri. Takut kelewat jadi saya berdiri saja di dekat jendela. Longak-longok keluar terus. Kali ini nggak nyasar:) Thank God. Malam ini ada acara Persekutuan Keluarga Muda. Sesudah persekutuan kita makan duren bareng-bareng. Kumpul-kumpul begini, saya jadi inget ketika ngumpul-ngumpul sama teman-teman di Jakarta. Saya akan selalu mengenangnya. Sebagai kenangan yang indah dalam hidup saya. Thx, rekans.
Tadi Siang ada urusan ke Bank. Berangkat bareng Dewi. Janjian ketemu teman juga. Sekalian ia mau bantuin. Ia kan sudah lama tinggal di sini. Minimal udah ngerti tata caranya. Antrian lumayan panjang. Lama. Padahal teman saya punya keperluan lain. Ia ga bisa nunggu. Akhirnya kami ditinggal. Jadilah Dewi dan saya bengak-bengok jelasin maksudnya kita:). Akibatnya, salah ngerti. Customer Service-nya salah nangkap. Kami juga. Yang sederhana jadi rumit. Gagal deh. Hehehe.
Saya cerita ke teman di Jakarta. Ia bilang orang-orang bank di Singapore udah terbiasa kok ngelayani orang Indonesia. Jadi pe-de saja. Ga ngerti tanya. Minta saja mereka jelaskan pelan-pelan. Maklum, pengalaman pertama buka rekening di luar negeri. Padahal yang namanya bank tuh “standar”nya mirip. Ternyata waktu dipelajari, ya ga sulit juga. Sama saja dengan bank di Indonesia. Namanya juga proses belajar. Senin kita balik lagi.
Dari Bank saya dan Dewi pisah. Ia temenin anak-anak jalan-jalan. Sabtu mereka libur sekolah. Refreshing buat anak-anak juga. Saya ke gereja. Ada rapat pembinaan. Saya kan baru. Jadi perlu ikut semuanya dulu:). Sorenya ada Persekutuan Pemuda. Yang datang hampir semua orang-orang Indonesia yang lagi studi di sini. Kelihatan dari “wajah” dan “gaya”, mereka orang-orang yang pintar di sekolahnya. Senang berada di tengah anak muda. Melihat semangat mereka. Merasakan keakraban. Jadi ingat waktu muda dulu:).
Pulang naik bis. Ini pertama kali saya naik bis malam-malam sendiri. Takut kelewat jadi saya berdiri saja di dekat jendela. Longak-longok keluar terus. Kali ini nggak nyasar:) Thank God. Malam ini ada acara Persekutuan Keluarga Muda. Sesudah persekutuan kita makan duren bareng-bareng. Kumpul-kumpul begini, saya jadi inget ketika ngumpul-ngumpul sama teman-teman di Jakarta. Saya akan selalu mengenangnya. Sebagai kenangan yang indah dalam hidup saya. Thx, rekans.
Renungan Sabtu - 10
Yunus Bin Amitai
Kisahnya sungguh menggetarkan. Dimulai dengan pemberontakkannya terhadap panggilan Tuhan untuk pergi ke Niniwe; membawa berita pertobatan. Dia melarikan diri ke Tarsis.
Kenapa? Masalahnya bukan pergi ke Niniwenya, tetapi missinya itu: membawa berita pertobatan. Dia tidak ingin Niniwe bertobat, dan karenanya terhindar dari hukuman Tuhan. Dia ingin Tuhan benar-benar menghajar Niniwe, dan menjungkirbalikkan musuh besar bangsanya itu.
Namun Tuhan tidak melepaskannya. DIA menurunkan angin ribut ke laut, maka terjadilah badai dahsyat. Laut pun mengelora, bagai raksasa kelaparan mengamuk. Kapal yang ditumpanginya terombang-ambing tanpa daya. Kehancuran membayang di pelupuk mata. Ibarat pertandingan tinju, tinggal menunggu waktu untuk “knock out”.
Para awak kapal pun berusaha keras menyelamatkan kapal, dan penumpang lain berdoa kepada allahnya masing-masing. Tetapi sementara itu, dia malah pergi ke ruang bawah, dan tertidur nyenyak di sana. Seakan tidak terjadi apa-apa. Sangat ironis. Sedang orang banyak kebingungan, si pembuat ulah malah tenang-tenang tidur.
Toh dia tidak luput dari jerat. Undi dibuang. Dia tidak dapat mengelak. “Akan kami apakan engkau, supaya laut menjadi reda dan tidak menyerang kami lagi?” tanya mereka.
“Angkatlah dan campakkanlah aku ke laut, maka laut akan menjadi reda. Aku tahu, karena akulah badai besar ini menyerang,” jawabnya. Bisa jadi dalam keputusasaannya dia menjawab begitu. Bayangkanlah seseorang yang sudah tersudut; tidak ada daya lagi untuk mengelak. Begitulah dia.
Mereka masih berusaha menyelamatkan kapal tanpa mengorbankan dia. Tetapi apa mau dikata. Palu sudah diketukkan. Dia harus dilemparkan ke laut. Tidak ada cara lain. Dan benar, laut pun kemudian tenang. Kapal selamat.
Dan dia?! Atas penuntunan Tuhan datanglah seekor ikan besar, tidak disebutkan ikan apa, menelannya bulat-bulat. Tiga hari tiga malam dia berada di dalam perut sang ikan. Apa yang dilakukannya di sana? Tidak jelas.
Demikian kisah Yunus bin Amitai. Masih ada kelanjutannya, tetapi untuk kita cukuplah sampai di sini. Mari kita melihat maknanya. Toh, memang itu yang terpenting dari sebuah kisah: apa maknanya buat kita?
Pertama, Yunus artinya merpati. Sebuah nama nan elok. Merpati adalah simbol perdamaian dan ketulusan. Tetapi kedua makna simbolis itu rupanya tidak kena mengena dengan Yunus bin Amitai.
Yunus tidak berdamai dengan panggilan Tuhan, dia justru memberontak. Ketika akhirnya dia pergi ke Niniwe membawa berita pertobatan, rupanya juga tidak dengan tulus hati. Sebab ketika penduduk Niniwe bertobat, jauh dari senang dia malah kesal dan marah. Sampai-sampai ingin mati segala (Yunus 4:3).
Nama memang tidak selalu mencerminkan sifat dan perilaku penyandangnya. Ada yang namanya bagus, sifat dan perilakunya malah buruk. Ada yang namanya biasa-biasa saja, sifat dan perilakunya malah luar biasa. Maka, jangan terpaku pada nama. Seperti kata Shakespeare, pengarang terkenal asal Inggris, “What’s in a name?!” Apalah arti sebuah nama?!
Kedua, kalau Tuhan sudah memanggil seseorang untuk suatu tugas, DIA tidak akan melepaskannya. Bisa saja orang itu melarikan diri, tetapi pelariannya hanya akan mendatangkan kesulitan; baik bagi dirinya sendiri, maupun orang lain. Dan biasanya untuk sementara pula. Seperti Yunus, entah bagaimana caranya, akhirnya dia pergi juga ke Niniwe. Tidak bisa mengelak.
Maka, kalau Tuhan memanggil kita untuk sebuah tugas, jalanilah dengan lapang hati. Pun bila itu tugas tidak seperti yang kita inginkan. Toh hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan kita. Ada saatnya yang tidak kita inginkan, justru itu yang harus kita lakukan. Ya, tidak apa. Yang penting bukan melakukan apa yang kita inginkan, tetapi menyukai apa yang harus lakukan.
Pula, kalau memang tidak ada cara lain; kita tidak dapat mengelak, berdamailah dengannya. Melarikan diri, bukan hanya akan membuat kita capek sendiri, tetapi juga salah-salah kita malah “ditelan ikan besar” seperti Yunus. Prinsipnya, jangan menunggu Tuhan menuntut harga.
Ketiga, berhati-hatilah dengan ulah dan polah kita. Jangan karena ulah dan polah kita, orang lain yang tidak berdosa ikut menanggung akibatnya. Dosa kita akan berlipat ganda; sudah memberontak kepada Tuhan dengan melarikan diri, membuat orang lain yang tidak tahu apa-apa ikut susah pula.
Lebih celaka kalau karena tindakan kita, “kapal yang kita tumpangi” bersama orang lain tertimpa badai. Dan sementara orang lain berusaha keras menyelamatkan kapal, kita malah enak-enak pergi “ke ruang bawah” dan tertidur. Tidak peduli. Kisah Yunus kiranya dapat membuka kesadaran kita, betapa buruknya kita kalau berpolah seperti itu.
Dari Buku : Lebur Tanpa Menjadi Larut, Ayub Yahya - diterbitkan oleh Gloria Graffa, 2006
Friday, July 14, 2006
Catatan Harian
Day - 261
Kezia mulai agak mogok sekolah. Capek dan nggak ngerti katanya. Di sini sekolah sehari 6 jam. Bahasa pengantarnya Inggris dan Mandarin. Bisa dimengerti sih. Orang saya saja bengak bengok nyesuain diri. Hidup di lingkungan baru, masa-masa awal biasanya memang menjadi masa-masa yang sulit. Tapi ga apa. Bagi saya semua pengalaman itu perlu. Anak-anak juga perlu belajar kenal, bahwa hidup ini perlu ketabahan dan kesabaran. Ga melulu indah. Ga selalu mudah. Justru sesuatu yang diraih dengan perjuangan biasanya menjadi penuh makna. Ada jejak dalam hidup kita. Dan saya toh mengimani bahwa semuanya ada dalam grand design Tuhan. Saya bersyukur punya banyak teman yang terus meng-support saya dan keluarga. Kami jadi merasa ga berjalan sendiri. A friend indeed is a friend in need. Thx, rekans.
Semalam diajak “rapat informal” oleh BPH GPBB di Club Swiss, Bukit Timah. Namanya juga “rapat informal” jadi ga ada acara khusus sih. Hanya berbincang santai. Lebih saling mengenal. Sejak saya di sini kan baru tuh ketemu “resmi” dengan Majelis Jemaat lengkap. Asyik juga “rapat” kayak begini. Akrab. Santai. Jadi ingat kalau lagi rapat-rapat dengan pengurus Demuda Kaput :). Menurut saya sebagian besar masalah di gereja sudah teratasi kalau di antara pengurus atau anggota Majelis Jemaat ada kesehatian dan keakraban.
Di sini mestinya saya bisa hidup lebih sehat. Lingkungan bersih. Banyak pohon. Udara segar. Saya bisa jogging pagi dengan enak dan nyaman. Ada kolam renang. Saya bisa berenang kapan pun. Juga ada ruang fitness. Tapi lha koq saya flu lagi? :( Padahal baru bebas sariawan. Mana flunya berat pula. Setengah harian tadi tidur di rumah. Lagi pula dari pagi hujan terus. Mungkin masih penyesuaian dengan cuaca. Padahal siangnya harus pimpin Komisi Wanita.
Di sini praktis saya ga bisa tidur siang. Padahal sejak di kampus dulu, 20 tahunan yang lalu. Saya sudah terbiasa tidur siang. Saya bisa ga tidur malam. Tapi tidur siang walau cuma setengah jam harus. Kalau ga biasanya malamnya atau paginya jadi flu. Di sini saya harus merubah kebiasaaan itu :). Tapi mungkin itu kali cara hidup sehat ya. Di sini pelan-pelan jam tidur saya jadi tertata. Jarang ngalong lagi:) Ga gampang loh merubah kebiasaan. Saya jadi ingat sebuah buku, lupa siapa yang nulis. Bahwa hidup kita ini sebagian besar terdiri dari kebiasaan. Maka segala hal kalau itu baik walau susah, coba deh biasakan. Ke sananya akan gampang. Tapi kalau sesuatu itu buruk, jangan dibiasakan. Karena akan sulit mengubahnya.
Kezia mulai agak mogok sekolah. Capek dan nggak ngerti katanya. Di sini sekolah sehari 6 jam. Bahasa pengantarnya Inggris dan Mandarin. Bisa dimengerti sih. Orang saya saja bengak bengok nyesuain diri. Hidup di lingkungan baru, masa-masa awal biasanya memang menjadi masa-masa yang sulit. Tapi ga apa. Bagi saya semua pengalaman itu perlu. Anak-anak juga perlu belajar kenal, bahwa hidup ini perlu ketabahan dan kesabaran. Ga melulu indah. Ga selalu mudah. Justru sesuatu yang diraih dengan perjuangan biasanya menjadi penuh makna. Ada jejak dalam hidup kita. Dan saya toh mengimani bahwa semuanya ada dalam grand design Tuhan. Saya bersyukur punya banyak teman yang terus meng-support saya dan keluarga. Kami jadi merasa ga berjalan sendiri. A friend indeed is a friend in need. Thx, rekans.
Semalam diajak “rapat informal” oleh BPH GPBB di Club Swiss, Bukit Timah. Namanya juga “rapat informal” jadi ga ada acara khusus sih. Hanya berbincang santai. Lebih saling mengenal. Sejak saya di sini kan baru tuh ketemu “resmi” dengan Majelis Jemaat lengkap. Asyik juga “rapat” kayak begini. Akrab. Santai. Jadi ingat kalau lagi rapat-rapat dengan pengurus Demuda Kaput :). Menurut saya sebagian besar masalah di gereja sudah teratasi kalau di antara pengurus atau anggota Majelis Jemaat ada kesehatian dan keakraban.
Di sini mestinya saya bisa hidup lebih sehat. Lingkungan bersih. Banyak pohon. Udara segar. Saya bisa jogging pagi dengan enak dan nyaman. Ada kolam renang. Saya bisa berenang kapan pun. Juga ada ruang fitness. Tapi lha koq saya flu lagi? :( Padahal baru bebas sariawan. Mana flunya berat pula. Setengah harian tadi tidur di rumah. Lagi pula dari pagi hujan terus. Mungkin masih penyesuaian dengan cuaca. Padahal siangnya harus pimpin Komisi Wanita.
Di sini praktis saya ga bisa tidur siang. Padahal sejak di kampus dulu, 20 tahunan yang lalu. Saya sudah terbiasa tidur siang. Saya bisa ga tidur malam. Tapi tidur siang walau cuma setengah jam harus. Kalau ga biasanya malamnya atau paginya jadi flu. Di sini saya harus merubah kebiasaaan itu :). Tapi mungkin itu kali cara hidup sehat ya. Di sini pelan-pelan jam tidur saya jadi tertata. Jarang ngalong lagi:) Ga gampang loh merubah kebiasaan. Saya jadi ingat sebuah buku, lupa siapa yang nulis. Bahwa hidup kita ini sebagian besar terdiri dari kebiasaan. Maka segala hal kalau itu baik walau susah, coba deh biasakan. Ke sananya akan gampang. Tapi kalau sesuatu itu buruk, jangan dibiasakan. Karena akan sulit mengubahnya.
Friday's Joke - 09
Kelinci
Suatu hari, seorang pria yang baru saja tiba di rumahnya setelah bekerja seharian, melihat anjingnya sedang mencengkeram kelinci peliharaan tetangganya. Kelinci itu mati dan pria itu menjadi panik. Pria itu berpikir bahwa tetangganya pasti akan membenci dia selamanya.
Tapi akhirnya dia mendapat akal, ia mengambil kelinci itu, membawanya masuk kerumah, memandikannya, mengeringkan bulunya dan mengembalikan kelinci itu kekandang di halaman tetangganya. Dia berharap agar tetangganya berpikir bahwa kelinci itu mati secara alami.
Beberapa hari kemudian, tetangganya keluar dari rumah dan bertanya pada pria itu, "Tahukah kamu bahwa kelinciku sudah mati?" Pria itu dengan gemetar menjawab, "Um.. tidak.. um.. apa yang terjadi?" Tetangga itu menjawab, "Kami mendapati kelinci itu sudah mati dikandangnya. Namun hal yang mengerikan adalah sehari sesudah kami menguburkannya di halaman luar, ada seseorang yang menggali kuburannya,memandikannya dan meletakkannya kembali di kandangnya. Pasti orang sakit jiwa yang melakukan hal itu dan berkeliaran di sekitar sini."
Ayah's quote :
Keputusan yang diambil dari ketidakjelasan bisa jadi blunder. Sama dengan penilaian yang diambil dari gosip. Maka, sebelum ambil keputusan, sebelum ambil kesimpulan, jelas dululah. Pastiin dulu.
Thursday, July 13, 2006
Catatan Harian
Day - 262
Semalam tuh boleh dibilang rapat majelisnya majelis gitulah. Selain dari jemaat berbahasa Indonesia, ada dari jemaat berbahasa Inggris dan Jerman. Dulu katanya jemaat berbahasa Mandarin juga gabung. Tapi sekarang mereka rapat terpisah. Rapatnya ga lama. Cuma dua jam-an. Asyik juga rapat ga panjang-panjang gitu :). Tapi emang koq baiknya rapat-rapat ga usah bertele-tele-lah. Sampai seharian. Apalagi kalau dirapatin yang mboten-mboten. Pepesan kosong. Tobat deh. Rapat kayak gitu tuh bikin capek lahir batin deh.
Semalam nyasar. Kan turun di Dhoby Ghaut. Kok tahu-tahu di Singapura Plaza. Habis deh. Saya kehilangan arah. Sampai saya tanya-tanya. Yang lucu waktu saya tanya kepada dua orang remaja. Saya udah bengak-bengok ngejelasin dalam bahasa Inggris. Kan susah tuh. Mereka juga udah bengak-bengok ngejelasin. Sama-sama sulit ngerti. Eh, tahunya mereka dari Jakarta. Jadi ketawa deh. Katanya, mereka sangka saya dari Jepang atau Taiwan. Hehehe. Gitu tuh kalo menilai orang hanya dari “kemasannya” :)
Pagi tadi ke KBRI. Urus pindah alamat. Mesti balik lagi minggu depan.Ga nyasar lagi. Karena naik taksi:). Dari KBRI terus ke Mount Elizabeth. Mau ke Guardian. Ada teman dari Jakarta minta dibeliin obat. Ga ada di Guardian Jakarta. Belinya banyak, sampe satu dus supermi. Di Guardian, beberapa penjaganya nawarin saya obat menebalkan rambut. Saya heran. Kok ga ditawarin obat jerawat atau obat untuk memperhalus kulit :). Saya positive thinking aja. Itu artinya, walau rambut saya tipis, tapi wajah saya mulus ga berjerawat dan kulit saya halus. Hehehe.
Terus ke kantor pos kirim. Waduh agak ribet tuh. Karena kirim obat dalam jumlah banyak. Disangka mau bisnis. Saya jelasin saja apa adanya. Beres. Menurut saya, dimanapun yang penting kita jujur. Ga neko-neko. Katanya kan kejujuran itu “mata uang yang berlaku di seluruh dunia”. Tentang jujur. Di sini, pernah sekali teman naik taksi. Terus taksinya salah jalan. Sopir taksinya ngaku. Katanya ongkosnya terus didiskon. Lain waktu, saya makan sama teman di China Town. Udah bayar. Udah makan dan mau pulang. Tahu-tahu tukang jualnya ngampirin. Kasih uang kembalian. Katanya tadi ia kasih harga kemahalan. Justru kadang “orang-orang” kecil lebih bisa menunjukkan kejujuran.
Semalam tuh boleh dibilang rapat majelisnya majelis gitulah. Selain dari jemaat berbahasa Indonesia, ada dari jemaat berbahasa Inggris dan Jerman. Dulu katanya jemaat berbahasa Mandarin juga gabung. Tapi sekarang mereka rapat terpisah. Rapatnya ga lama. Cuma dua jam-an. Asyik juga rapat ga panjang-panjang gitu :). Tapi emang koq baiknya rapat-rapat ga usah bertele-tele-lah. Sampai seharian. Apalagi kalau dirapatin yang mboten-mboten. Pepesan kosong. Tobat deh. Rapat kayak gitu tuh bikin capek lahir batin deh.
Semalam nyasar. Kan turun di Dhoby Ghaut. Kok tahu-tahu di Singapura Plaza. Habis deh. Saya kehilangan arah. Sampai saya tanya-tanya. Yang lucu waktu saya tanya kepada dua orang remaja. Saya udah bengak-bengok ngejelasin dalam bahasa Inggris. Kan susah tuh. Mereka juga udah bengak-bengok ngejelasin. Sama-sama sulit ngerti. Eh, tahunya mereka dari Jakarta. Jadi ketawa deh. Katanya, mereka sangka saya dari Jepang atau Taiwan. Hehehe. Gitu tuh kalo menilai orang hanya dari “kemasannya” :)
Pagi tadi ke KBRI. Urus pindah alamat. Mesti balik lagi minggu depan.Ga nyasar lagi. Karena naik taksi:). Dari KBRI terus ke Mount Elizabeth. Mau ke Guardian. Ada teman dari Jakarta minta dibeliin obat. Ga ada di Guardian Jakarta. Belinya banyak, sampe satu dus supermi. Di Guardian, beberapa penjaganya nawarin saya obat menebalkan rambut. Saya heran. Kok ga ditawarin obat jerawat atau obat untuk memperhalus kulit :). Saya positive thinking aja. Itu artinya, walau rambut saya tipis, tapi wajah saya mulus ga berjerawat dan kulit saya halus. Hehehe.
Terus ke kantor pos kirim. Waduh agak ribet tuh. Karena kirim obat dalam jumlah banyak. Disangka mau bisnis. Saya jelasin saja apa adanya. Beres. Menurut saya, dimanapun yang penting kita jujur. Ga neko-neko. Katanya kan kejujuran itu “mata uang yang berlaku di seluruh dunia”. Tentang jujur. Di sini, pernah sekali teman naik taksi. Terus taksinya salah jalan. Sopir taksinya ngaku. Katanya ongkosnya terus didiskon. Lain waktu, saya makan sama teman di China Town. Udah bayar. Udah makan dan mau pulang. Tahu-tahu tukang jualnya ngampirin. Kasih uang kembalian. Katanya tadi ia kasih harga kemahalan. Justru kadang “orang-orang” kecil lebih bisa menunjukkan kejujuran.
Wednesday, July 12, 2006
Catatan Harian
Day- 263
Pagi ke gereja. Naik bis. Nyasar. Kebablasan. Mana hujan lagi. Jalan deh dua halte. Lumayan. Dalam seminggu, ini nyasar yang ketiga. Pertama, pulang ke rumah. Lupa masuknya dari mana. Habis apartemen di sini hampir sama semua. Bingung deh. Sampai telepon Dewi minta jemput ke bawah:). Kedua, nyasar waktu makan siang. Mo balik lagi ke gereja, eh malah puter-puter. Ketiga, ya yang tadi itu naik bis salah. Tapi saya punya jurus ampuh, kalau nyasar ga usah kuatir, kembali saja ke tempat awal. Saya tuh kalau berada di satu tempat sering kehilangan arah.Pernah parkir mobil di mal gitu, lupa parkir dimana. Payah deh:).
Saya tuh paling lemah ngapalin jalan. Selemah baca peta, selemah baca manual petunjuk. Kalau jalan lebih baik dikasih petunjuk deh, dari sini kemana, ada tandanya apa, lalu dimana beloknya. Lebih masuk. Atau kalau manual -misalnya manual PDA atau HP- mending kasih tahu saja deh caranya gimana. Disuruh baca manual-nya malah bingung. Saya biasanya ngandelin Dewi untuk urusan ginian, ia lebih handal :). Katanya pria tuh begitu. Susah memperhatikan dan mengingat hal-hal detil. Lebih ngurusin "makro" daripada "mikro". Sementara wanita sebaliknya. Makanya di Alkitab wanita itu disebut "penolong yang sepadan" bagi pria. Sebagai mitra. Saling melengkapi. Bersinergi.
Siang bersama Dewi ketemu teman dari Jakarta yang lagi liburan di Singapore. Musim liburan begini, Jakarta serasa pindah ke Singapore hehehe. Kita janji di West Mall. Dekat Bukit Batok Interchange. Makan siang. Mereka terus ke rumah. Saya terus ke gereja lagi. Masih ada yang harus dikerjakan di kantor. Malam ada rapat dengan majelis ORPC di gereja pusat di Orchard. Dari gereja terus naik bis. Nyambung dengan MRT. Sebetulnya kalo mau gampang saya bisa naik taksi. Tapi saya pikir masih cukup waktu. Juga sekalian biar tau jalan.
Tapi saya salah perhitungan. Tunggu bis lama. MRT jam pulang kantor penuh banget. Umpel-umpelan. Ga bisa deh ikuti tulisan di atas pintu :”Jangan berdiri dekat pintu”. “Celakanya” lagi di Ang Mo Kiu semua penumpang diminta turun. Ga tau kenapa. Mungkin ada kerusakan. Ganti MRT. Dari stasiun MRT mesti jalan kaki lagi. And, guess what? Pake nyasar pula. Duh. Terlambat deh. Padahal rapat pertama nih. Duh. Duh.
Pagi ke gereja. Naik bis. Nyasar. Kebablasan. Mana hujan lagi. Jalan deh dua halte. Lumayan. Dalam seminggu, ini nyasar yang ketiga. Pertama, pulang ke rumah. Lupa masuknya dari mana. Habis apartemen di sini hampir sama semua. Bingung deh. Sampai telepon Dewi minta jemput ke bawah:). Kedua, nyasar waktu makan siang. Mo balik lagi ke gereja, eh malah puter-puter. Ketiga, ya yang tadi itu naik bis salah. Tapi saya punya jurus ampuh, kalau nyasar ga usah kuatir, kembali saja ke tempat awal. Saya tuh kalau berada di satu tempat sering kehilangan arah.Pernah parkir mobil di mal gitu, lupa parkir dimana. Payah deh:).
Saya tuh paling lemah ngapalin jalan. Selemah baca peta, selemah baca manual petunjuk. Kalau jalan lebih baik dikasih petunjuk deh, dari sini kemana, ada tandanya apa, lalu dimana beloknya. Lebih masuk. Atau kalau manual -misalnya manual PDA atau HP- mending kasih tahu saja deh caranya gimana. Disuruh baca manual-nya malah bingung. Saya biasanya ngandelin Dewi untuk urusan ginian, ia lebih handal :). Katanya pria tuh begitu. Susah memperhatikan dan mengingat hal-hal detil. Lebih ngurusin "makro" daripada "mikro". Sementara wanita sebaliknya. Makanya di Alkitab wanita itu disebut "penolong yang sepadan" bagi pria. Sebagai mitra. Saling melengkapi. Bersinergi.
Siang bersama Dewi ketemu teman dari Jakarta yang lagi liburan di Singapore. Musim liburan begini, Jakarta serasa pindah ke Singapore hehehe. Kita janji di West Mall. Dekat Bukit Batok Interchange. Makan siang. Mereka terus ke rumah. Saya terus ke gereja lagi. Masih ada yang harus dikerjakan di kantor. Malam ada rapat dengan majelis ORPC di gereja pusat di Orchard. Dari gereja terus naik bis. Nyambung dengan MRT. Sebetulnya kalo mau gampang saya bisa naik taksi. Tapi saya pikir masih cukup waktu. Juga sekalian biar tau jalan.
Tapi saya salah perhitungan. Tunggu bis lama. MRT jam pulang kantor penuh banget. Umpel-umpelan. Ga bisa deh ikuti tulisan di atas pintu :”Jangan berdiri dekat pintu”. “Celakanya” lagi di Ang Mo Kiu semua penumpang diminta turun. Ga tau kenapa. Mungkin ada kerusakan. Ganti MRT. Dari stasiun MRT mesti jalan kaki lagi. And, guess what? Pake nyasar pula. Duh. Terlambat deh. Padahal rapat pertama nih. Duh. Duh.
Wednesday's Games Idea - 06
Peragaan Busana
Bahan yang Dibutuhkan : Setumpuk kertas koran, lem sejumlah kelompok, sebuah gunting untuk setiap kelompok
Jumlah peserta : tidak dibatasi, dibagi dalam kelompok beranggotakan maksimal 7 orang
Waktu : 30 - 45 menit
Aturan permainan :
Setiap kelompok harus membuat sebuah baju dari koran-koran tersebut. Setiap kelompok harus memilih salah satu anggotanya untuk menjadi peraga. Jika peraganya pria, maka kelompok harus membuat pakaian wanita. Demikian pula sebaliknya. Kelompok tidak diperkenankan memakai bahan lain selain yang sudah diberikan. Jelaskan pula bahwa nilai setiap kelompok berdasarkan tiga kriteria: kekompakan, kerapihan, kreativitas. Pilihlah 2-3 orang dari antara peserta atau pembina untuk menjadi juri. Minta mereka berkeliling dari satu kelompok ke kelompok lain. Penilaian didasarkan pada tiga kriteria di atas. Setelah waktu yang ditetapkan selesai, setiap kelompok diminta memeragakan hasil karyanya.
Tujuan permainan
Melalui permainan ini peserta diajak untuk belajar bekerjasama dengan anggota kelompok lainnya demi tujuan bersama yang harus dicapai. Beberapa isu mengenai “Tim Kerja” akan muncul lewat permainan ini.
Catatan Harian
Day - 264
Hari ini ga ada yang khusus. Ke gereja. Baca risalah-risalah rapat. Ngetik. Baca buku. Sampai beberapa hari ke depan masih dalam taraf pengenalan “medan”. Saya sudah ikut milis-milis yang di sini. Posting yang masuk sehari lebih 50-an. “Hangatnya” diskusi juga sudah langsung terasa.
Hambatan terbesar saya di kantor adalah bahasa Inggris saya tuh pasif sekali. Tapi untung melayu rata-rata bisa nangkap juga. Cuma “kagok” saja gitu. Tapi saya selalu yakin ungkapan ini: “bisa karena biasa” dan “bisa kalo harus”. Jadi saya sih enjoy-enjoy saja ngejalani segala keterbatasan yang ada.
Saya sampai ke sini, setelah melewati proses yang panjang. Pasti karena rencana Tuhan juga kan. Dia pasti sudah memperhitungkan segala sesuatunya. Jadi ya, saya sih jalani sajalah. Just do the best and let God do the rest. Sore hujan. Pulang naik bis. Saya tuh senang hujan. Waktu kecil sering main hujan-hujanan. Jadi asyik-asyik saja :).
Malam ada teman main ke rumah. Ia mau pindah apartment ke dekat saya tinggal. Ngobrol-ngobrol katanya ia mau jadi adik saya. Dan kalo sampai ia ga merit, ia mo angkat Kezia dan Karen jadi anaknya. Saya tentu saja senang. Saya sungguh bersyukur, kemana pun saya pergi selalu ketemu orang yang baik. Adik-adik angkat, sahabat, teman bae, adalah anugerah Tuhan yang “luar biasa”. Semoga saya bisa mendatangkan hal-hal baik buat mereka.
Hari ini ga ada yang khusus. Ke gereja. Baca risalah-risalah rapat. Ngetik. Baca buku. Sampai beberapa hari ke depan masih dalam taraf pengenalan “medan”. Saya sudah ikut milis-milis yang di sini. Posting yang masuk sehari lebih 50-an. “Hangatnya” diskusi juga sudah langsung terasa.
Hambatan terbesar saya di kantor adalah bahasa Inggris saya tuh pasif sekali. Tapi untung melayu rata-rata bisa nangkap juga. Cuma “kagok” saja gitu. Tapi saya selalu yakin ungkapan ini: “bisa karena biasa” dan “bisa kalo harus”. Jadi saya sih enjoy-enjoy saja ngejalani segala keterbatasan yang ada.
Saya sampai ke sini, setelah melewati proses yang panjang. Pasti karena rencana Tuhan juga kan. Dia pasti sudah memperhitungkan segala sesuatunya. Jadi ya, saya sih jalani sajalah. Just do the best and let God do the rest. Sore hujan. Pulang naik bis. Saya tuh senang hujan. Waktu kecil sering main hujan-hujanan. Jadi asyik-asyik saja :).
Malam ada teman main ke rumah. Ia mau pindah apartment ke dekat saya tinggal. Ngobrol-ngobrol katanya ia mau jadi adik saya. Dan kalo sampai ia ga merit, ia mo angkat Kezia dan Karen jadi anaknya. Saya tentu saja senang. Saya sungguh bersyukur, kemana pun saya pergi selalu ketemu orang yang baik. Adik-adik angkat, sahabat, teman bae, adalah anugerah Tuhan yang “luar biasa”. Semoga saya bisa mendatangkan hal-hal baik buat mereka.
Subscribe to:
Posts (Atom)