Day - 318
Bangun kepala sakit. Flu. Semalam tidur ga beres. Ngetik. Baca. Ketiduran di kamar kerja. Terbangun. Ga bisa tidur lagi. Terus ngetik lagi. Baca lagi. Bosen. Nonton Barcelona-Arsenal. Tapi cuma ujungnya. Barcelona menang 2-1. Berarti “ramalan” saya kemarin ga terlalu meleset :).
Jam 7.30 ke Stasiun Gambir. Mau ke Cirebon. Naik kereta api Cirebon Express Utama jam 8.45. Pimpin di GKI Pengampon. Sore acara keakraban lansia. Malamnya acara Malam Puji dan Sabda. Pergi berdua Dewi. Kezia dan Karen “titip” sama oma opa. Satu kelebihan naik kereta api dibanding naik pesawat, bisa SMS-an sepanjang jalan :).
Sampai di Cirebon siang. Dijemput teman. Nginep di rumah ia. Teman saya tuh “aneh”. Ia anak laki-laki paling besar. Sudah selesai kuliah. Tahun lalu ayahnya meninggal. Mewariskan toko dan perusahaan cukup besar. Boleh di bilang, hidupnya sudah mapan dan nyaman. Eh, katanya ia mau masuk sekolah teologi. Ibunya nentang. Setiap kali bertanya kepada pendetanya, bagaimana ia harus bersikap? Dijawab: “Kamu harus lebih taat kepada Tuhan, daripada kepada manusia.”
Saya setuju banget dengan ungkapan itu. Tapi masalahnya, apa masuk sekolah teologi selalu identik dengan taat kepada Tuhan?! Dan ikut keinginan ibu: bimbing adik-adik mengelola toko dan perusahaan peninggalan ayah, berarti ga taat kepada Tuhan?! Belum tentu kan. Ga sesederhana itu. Dan ga bisa hitam putih begitu. Kenapa ia pengen masuk sekolah teologi? Dan kenapa ibunya menentang ia? Pasti ada alasannya kan.
7 comments:
test komen. mestinya nggak ada trouble sih. Mestinya ya. Silahkan memberi komen.
Nanti kalo semua orang jadi pendeta sebagai bentuk ketaatan, siapa yang jadi jemaat ya? hihihi
komen rekans tentang ini bisa sangat berguna loh buat "teman" yang dimaksud, yang juga pengunjung setia blog ini :))
Hehe, nimbrung ngomong ni... Soal kata - katanya pendeta temennya ayub yang bilang bahwa kamu harus lebih taat kepada Tuhan ketimbang sama manusia. Gw sih kurang sependapat sama statement itu. Terlalu pesimistis. Seolah pilihan cuma ada dua itu. Padahal manusia dengan kehebatan akalnya bisa menciptakan "pilihan baru" atau bisa dibilang "jalan tengah" nya supaya kalau memilih suara Tuhan manusia nya yang lain ga sakit hati dan kalaupun memilih suara manusia, dia pun tidak mengecewakan Tuhan.
Menurut saya kalau keadaanya begitu, tinggal mengadakan kompromi aja. Bahwa pelayanan yang dilakukannya nanti dikomitmenkan agar tidak "menghasilkan buah kesibukan" sampai lupa sama keluarga. Atur waktu, bagi waktu. Lha kalau demikian kan baik suara Tuhan dan suara manusia itu sama - sama didengar. Pelayanan jalan, keluargapun tetap terperhatikan.
Dan lagi, dengan dia masuk STT kan bukan berarti dia membenci ibunya to? Dan kalaupun dia ga jadi masuk STT belum tentu itu adalah bukti dia adalah sayang sama ibunya. Siapa tau dengan lolosnya dia masuk STT kualitas sayang dia sama ibunya makin baik?
salam,
pram
mas pram, dengan pemikiran seperti ini. Apa perlu masuk STT lagi? hehehe. Pelayanan bisa dimana saja dan untuk siapa saja. Ga perlu dengan harus jadi pendeta, kan. Atau harus masuk STT. Ilmu bisa ditimba dimana saja, tetapi kematangan dan kedewasaan hanya bisa dipelajari di univeristy of life, bukan di bangku pendidikan formal.
Masuk stt? Menurut gw ada baiknya juga. Lho, bukannya ilmu itu akan "bertumbuh" dengan baik di lingkungan dan suasana yang tepat?
University of life gw setuju, bahwa pengalaman hidup akan memberikan sumbangsih yang besar buat "pertumbuhan" ilmu seseorang. Dan ilmu yang ga diamalin semasa hidup juga ga akan "bertumbuh". Malahan mubazir.
Kedua, masuk stt menurut gw ga boleh langsung diidentikan bakal jadi pendeta. Tapi pasti jadi seorang theolog yang pengetahuan dan ketrampilannya bisa disumbangsihkan untuk kehidupan pelayanan, apapun bentuk pelayanannya dan apapun instansi pelayanannya.
Wah, kalau sampai ada orang yang berobsesi jadi pendeta saya kira itu keliru abis2an. Apa yang mau dikejer dengan titel pendeta? Kepuasan? Kepuasan siapa? Wah kasus berat tu kalau orang yang atas nama pelayanan Tuhan tapi mengejar obsesi pribadi.
Anyway pelayanan itu kan setau gw luas banget. Trus yang punya ladang Tuhan tentunya. Jadi banyak - banyak bergumul aja de. Bergumul dengan akal budi yang sudah Tuhan kasih: gimana supaya pelayanan itu menjadi baik buat Tuhan dan sesama, kedua: gimana supaya yang buruk2 terhindar sebisa mungkin. Bergumul juga dengan perasaan, supaya jangan terlalu rasionalis: gimana supaya pelayanannya itu nanti jangan menyakitkan tapi malah menyenangkan hati Tuhan dan hati sesama.
salam,
pram
saya kenal seorang teman. ia bukan mahasiswa stt. tapi pengetahuan teologia jauh lebih mumpuni daripada banyak jebolan stt. teologi ga selalu harus dicari di dunia formal kan
Post a Comment