Saturday, May 13, 2006

Renungan Sabtu - 04

Namaku Ayub


Aku sungguh tidak habis mengerti, mengapa justru demikian yang harus aku alami. Anak-anakku mati ketika rumah tempat mereka berkumpul tersapu angin badai dan roboh menimpa mereka. Harta bendaku yang kuupayakan bertahun-tahun musnah dalam sekejap. Dan aku sendiri, sekujur tubuhku dari telapak kaki hingga ujung kepala terjangkit borok-borok yang menjijikkan.

Semuanya datang bertubi-tubi dan begitu tiba-tiba. Aku ibarat orang yang jatuh dari ketinggian ke tempat paling rendah, gelap dan kotor. O, sungguh penderitaan yang sempurna, dan tidak tertanggungkan.
Mengapa semua ini terjadi dalam hidupku?
Apa yang salah dari diriku?

Elifas, Bildad dan Zofar, para sahabatku, menuduh aku telah melakukan dosa besar. Itulah sebabnya mereka mendesak agar aku bertobat, mengakui dosa-dosaku, dan meminta ampun kepada Allah.
Tetapi dosa apa yang harus aku akui? Dosa macam apa yang telah aku perbuat, sehigga karenanya aku dan keluargaku harus menanggung penderitaan sehebat ini? Aku sungguh tidak tahu.

Ya, aku memang bukan orang yang tanpa cacat cela. Aku juga manusia biasa yang penuh kelemahan. Aku tentu pernah berbuat dosa. Tapi tolong tunjukkan kepadaku kekejian apa yang telah aku lakukan, sehingga dengan begitu aku pantas menanggung semua kemalangan ini.

Apakah aku pernah menzalimi dan menyengsarakan hidup orang lain, menipu dan mengkhianati kepercayaan orang lain? Atau pernahkah aku merampas hak-hak orang miskin dan lemah?
Apakah aku pernah melakukan perbuatan amoral, tindakan tidak senonoh yang melanggar kesusilaan? Atau pernahkah demi uang dan jabatan aku merekayasa kejadian biadab dengan mengorbankan orang-orang tidak bersalah?

Apakah aku pernah menghujat Allah, mempermainkan hukum-hukum-Nya atau menjual nama-Nya demi ambisi dan kepentingan pribadiku?
Tunjukkanlah kepadaku!
Akh, aku jadi tidak bisa mengendalikan kata-kataku sendiri. Maaf. Seribu kali maaf. Aku tidak bermaksud membela diri. Aku juga tidak bermaksud menyindir orang lain. Sama sekali tidak.

Tetapi memang, aku sama sekali tidak mengerti kalau semua penderitaan yang aku alami ini dianggap sebagai akibat dari dosaku. Sungguh aku tidak mengerti. Sebab aku tahu persis, banyak orang yang jelas-jelas berperilaku bobrok dan jahat hidupnya malah enak. Jangankan mengalami nestapa seperti yang aku alami, mereka malah hidup semakin subur makmur. Karena itu semakin congkak dan takaburlah mereka. Betapa tidak adilnya.

Aku tahu Elifas, Bildad dan Zofar tidak bermaksud buruk. Mereka justru mau membantuku, memberi solusi terhadap pergumulan batinku. Tetapi pemahaman mereka terlalu sempit, pandangan mereka sangat kerdil. Sehingga bukannya memahami, mereka malah menghakimi. Bukannya menopang dan menguatkan, mereka malah memojokkan dan memberati. Apakah segala hal yang terjadi dalam hidup, termasuk penderitaan dan kemalangan, selalu dapat diukur dengan hukum sebab akibat?

Hukum sebab akibat sesungguhnya terlalu sederhana untuk dipakai mengukur semua kejadian dalam hidup ini. Coba pikir, apakah orang yang sukses; kekayaannya segudang, jabatannya selangit, anak-cucunya hebat-hebat dijamin pasti orangnya baik dan saleh? Belum tentu! Jangan lupa, setan pun bisa memberi kekayaan dan kekuasaan asalkan orang mau tunduk kepadanya. Sama, orang yang susah pun belum tentu karena dosanya. Iya, kan?!
Jadi ada apa sebenarnya dibalik penderitaan yang aku alami ini? Mengapa aku harus menghadapi ini semua?
Mengenai itu aku sendiri tidak tahu. Entahlah. Tapi sudahlah. Dalam hidup ini memang ada banyak hal yang kadang-kadang tidak bisa kita urai dengan akal. Kita hanya bisa menerima, tanpa tahu sebabnya.

Toh aku bukan pemilik hidup ini. Hidupku hanyalah titipan. Aku hanya tinggal menjalani apa yang memang harus terjadi. Susah maupun senang. Kalau susah kiranya tidak membuat aku putus asa. Sebaliknya kalau senang tidak membuat aku takabur dan lupa diri. Setiap orang tanpa kecuali pada akhirnya akan menuju satu titik yang sama: kematian.

Yang penting apa pun yang terjadi dalam hidup ini, aku jalani dengan penuh iman dan pengharapan kepada Sang Khalik. Sehingga ketika Dia mengambil kembali hidup yang dititipkan-Nya, tidak ada yang aku sesali.
Aku bisa menghadapi panggilan pulang dari-Nya dengan kepala tegak dan hati tenang. Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan
***
Dari buku: Di Manakah Allah Saat Aku Menderita? - Ayub Yahya

No comments: