Saturday, May 06, 2006

Renungan Sabtu - 03

Yonatan


Ada banyak tokoh dalam Perjanjian Lama yang dapat disebut sebagai pemimpin besar, terlepas dari segala kekurangan dan kelemahannya. Sebut saja misalnya Musa, Yosua, Debora, dan Gideon. Mereka adalah pahlawan di zamannya masing-masing. Satu lagi tokoh yang juga patut diketengahkan di sini adalah: Yonatan.

Memang, seumpama dalam film, Yonatan bukanlah tokoh utama. Perannya kalah pamor dibanding Daud. Atau bahkan Saul, ayahnya. Kitab 1 Samuel yang memuat kisahnya, lebih banyak menyoroti Daud dan Saul. Boleh dikata peran Yonatan hanyanya peran pembantu.

Namun toh Yonatan mempunyai reputasi yang baik; suatu hal yang perlu dimiliki oleh pemimpin di mana pun. Bahkan bisa jadi reputasinya itu juga lebih baik dibanding Daud dan Saul.

Daud memang Raja Israel yang sangat cemerlang. Ia berhasil mempersatukan seluruh Israel Raya. Tapi perbuatannya menghamili Batsyeba dan kemudian merekayasa kematian Uria, suami Batsyeba, prajuritnya yang setia, benar-benar telah mencoreng reputasinya.

Sedang Saul, lebih lagi. Betul, ia adalah Raja Israel yang pertama, tetapi iri hati dan kedengkiannya terhadap Daud telah menjerumuskannya ke dalam tindakan-tindakan amat tercela.

Lebih dari itu Yonatan juga memiliki karakter yang baik untuk menjadi seorang pemimpin. Ia seorang yang objektif; benar ya benar, salah ya salah. Ia tahu betul dalam konfliknya dengan Daud, Saullah yang salah. Kecemburuan Saul terhadap keberhasilan Daud telah membutakan akal sehat dan nurani Saul. Sehingga Saul sangat membenci dan ingin menyingkirkan Daud.

Dan Yonatan tidak tinggal diam. Sekalipun Saul adalah ayahnya, kalau salah ya tetap salah. “Mengapa ia harus mati? Apa yang dilakukannya?” tanyanya kepada Saul (1 Samuel 20:32).
Lawan dari objektif adalah subjektif; mencampuradukkan penilaian dengan perasaan pribadi. Benar dan salah, baik dan buruk, lebih ditentukan oleh perasaan suka dan tidak suka. Atau oleh kedekatan hubungan (= perkoncoan).

Kalau seseorang itu disukai atau kerabat dekat, dianggapnya selalu benar; seakan ia tidak ada celanya, lalu dibela mati-matian. Tapi sebaliknya kalau seseorang itu tidak disukai, dan tidak punya hubungan apa-apa, dianggapnya selalu salah; seakan dalam diri orang itu tidak ada kebaikannya sama sekali, lalu dicela habis-habisan. Orang yang subjektif tidak layak menjadi pemimpin.
*
Yonatan adalah seorang yang setia. Ia memang sama sekali tidak menyetujui sikap Saul terhadap Daud. Dalam sebuah perjamuan mereka bertengkar hebat. Keduanya sama-sama marah. Saul tidak dapat mengendalikan diri, ia lantas melemparkan tombak ke arah Yonatan. Dan Yonatan meninggalkan perjamuan itu dengan kemarahan yang menyala-nyala (1 Samuel 20:33-34). Selain tentunya ia juga sedih menerima perlakuan Saul begitu.

Namun toh Yonatan tidak meninggalkan ayahnya itu. Sekalipun kalau mau bisa saja ia pergi dan tidak peduli lagi dengan Saul. Bahkan ketika kekuasaan Saul mulai runtuh dan kehancuran sudah di depan mata, Yonatan tetap bersama-sama dengan Saul. Sampai akhir hayatnya Yonatan tidak pernah jauh Saul. Mereka sama-sama mati dalam peperangan (1 Samuel 31:1-4).
*
Yonatan juga bukan seorang yang haus kekuasaan. Saul membenci Daud selain karena iri hati, rupanya juga karena alasan lain. Dan alasan itu ada kaitannya dengan Yonatan. “Sebab sesungguhnya selama anak Isai itu hidup di muka bumi, engkau dan kerajaanmu tidak akan kokoh,” begitu Saul berkata (1 Samuel 20:31).

Dengan kata lain, Saul mempunyai harapan besar kelak Yonatanlah yang akan menggantikan kedudukannnya sebagai raja. Tapi ternyata Daud sangat populer. Di mata rakyat kepahlawanan Daud benar-benar telah menjadi legenda. Hal itu jelas bisa jadi ancaman besar bagi Yonatan. Maka, tidak ada jalan lain satu-satunya cara Daud harus disingkirkan.

Di dunia ini dari dulu sampai sekarang ada banyak pemimpin seperti Saul. Yang hanya memikirkan kekuasaan dan kepentingan pribadi. Yang membutakan diri terhadap kenyataan, bahwa ada orang lain yang lebih potensial dan lebih pantas. Yang malah melihat orang-orang itu sebagai ancaman. Yang lalu dengan cara halus maupun kasar berusaha menyingkirkannya. Yonatan tidak demikian. Ia tidak silau dengan jabatan dan kekuasaan. Karenanya ia tidak kehilangan objektifitasnya.

Andai saja semua pemimpin di dunia ini seperti Yonatan, betapa akan damainya dunia ini. Minimal tidak akan seburuk sekarang. Sebab tidak dapat disangkal, hal-hal buruk yang terjadi di muka bumi ini paling banyak disumbangkan oleh para pemimpin yang buruk.

***
Dari: Bersyukur Itu Indah - Ayub Yahya

4 comments:

Anonymous said...

wah, renungan sabtu ini pas banget di hati.. Bener pak, saya musti copi ah 100 lembar. Trus bagi2in ke gereja gereja. Biar para pemimpin ngerti gitu lho...
Thx pak.

ayub yahya said...

mas calvin, oke juga tuh idenya :)) saya kira salah satu masalah besar di gereja adalah kepemimpinan. tapi jujur saya sendiri belum bisa jadi kayak yonatan

Anonymous said...

kalo bicara kepemimpinan gereja sih kadang capek p ayub, itu lagi itu lagi masalahnya... gak tau udah berapa puluh atau ratus pembinaan tentang kepemimpinan di adin di gereja... what is missing? what is wrong?

kita kita ini yang harusnya terus menggempur gereja dengan semangat kepemimpinan hehehee...


kalo kata saya sih.. sulitnya kepemimpinan itu karena kepemimpinan hidup dari contoh.. dan kita gak punya banyak contoh di sekitar kita dewasa ini...

ayub yahya said...

saya setuju. kita ga krisis orang pinter, mumpuni, jago, kita krisis keteladanan. di gki setelah pak eka ga adaa lagi yang bisa jadi patron kan. dalam lingkup indonesia sulit kita mencari tokoh2 macam pak tb simatupang dan leimena