Saturday, August 05, 2006

Renungan Sabtu - 13


Haman: Harga Sebuah Kedengkian

Sesungguhnya kurang apa lagi hidup Haman; ia kaya raya dan punya jabatan
tinggi di pemerintahan. Tentang dia dalam Alkitab bahkan dituliskan demikian, “Haman bin Hamedata, orang Agag, dikaruniailah kebesaran oleh Raja Ahasyweros, dan pangkatnya dinaikkan serta kedudukannya ditetapkan di atas semua pembesar yang ada di hadapan baginda” (Ester 3:1).

Pula, Haman mempunyai banyak anak laki-laki. Pada masa itu, seperti juga umumnya dalam masyarakat primitif, anak laki-laki kerap dipandang sebagai simbol kehormatan. Jadi, lengkaplah hidup Haman.

Namun toh tak urung ada yang mengganjal hati Haman. Memang, mana ada sih orang yang tidak punya persoalan dalam hidupnya? Sesuatu yang sebenarnya sepele, tetapi bagi Haman teramat mengganggu. Mordekhai-lah yang menjadi biang keladinya. “Akan tetapi semuanya itu tidak berguna bagiku, selama aku masih melihat si Mordekhai, si Yahudi itu, duduk di pintu gerbang istana raja,” begitu ia berkata kepada para sahabatnya dan Zeresy, istrinya (5:13).

Repot memang kalau seseorang tidak dapat bersyukur dengan hidupnya; ia cenderung tidak pernah merasa puas dengan yang ada. Hidupnya selalu terasa kurang lengkap. Padahal, katakanlah ia mendapatkan apa-apa yang diinginkannya, belum tentu hidupnya lantas menjadi lebih menyenangkan. Sifat tidak pernah puas, hanya akan membuat semua keinginannya seperti air laut; makin banyak diminum, makin membuat haus. Itulah Haman.

Lalu siapakah Mordekhai, yang kehadirannya sampai begitu mengganggu hati sang pembesar Haman? Ah, sebenarnya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa pula. Ia hanya seorang buangan. Betul, ia orangtua angkat dari Ratu Ester, tetapi hubungan kekerabatannya itu rupanya tidak lantas membuat ia mempunyai jabatan tinggi di pemerintahan atau saham di perusahaan-perusahaan besar. Dalam Alkitab tidak secara jelas ditulis profesi dan kedudukan Mordekhai.

Dan kenapa Haman sampai begitu membenci Mordekhai, sebetulnya juga sepele. Bukan karena Mordekhai itu saingan beratnya, atau orang yang bisa mengancam kedudukannya. Bukan juga karena Mordekhai itu orang yang pernah berbuat culas atau curang kepadanya. Gara-garanya adalah Mordekhai tidak mau berlutut dan sujud kepada Haman (3:5). Cuma itu.

Begitulah orang kalau sudah diperbudak oleh status dan rasa hormat; sedikit saja ia merasakan ada gangguan atas kebanggaannya, seluruh dunia seakan roboh menimpa bahunya.

Maka, reaksinya pun tidak kurang mengerikan. Seperti Haman, “Ia menganggap dirinya terlalu hina untuk membunuh hanya Mordekhai saja, karena orang telah memberitahukan kepadanya kebangsaan Mordekhai itu. Jadi Haman mencari ikhtiar memusnahkan semua orang Yahudi, yakni bangsa Mordekhai itu, di seluruh Kerajaan Ahasyweros” (3:6). Bayangkan, hanya karena satu orang tidak mau sujud menyembah kepadanya, sebuah bangsa mau dilenyapkan.

Lebih celakanya, orang-orang di dekatnya bukan meredakan amarah dan panas hati Haman; mereka malah seumpama menyiram api yang tengah berkobar dengan bensin. “Suruh saja membuat tiang gantungan setinggi 22 meter. Lalu besoknya, pagi-pagi mintalah izin kepada raja untuk menggantung Mordekhai pada tiang itu. Dengan demikian kau dapat pergi ke perjamuan itu dengan hati yang tenang”. Begitu istri dan para sahabatnya mengusulkan (5:14).

Haman memandang usul itu baik adanya. Ia mendirikan tiang gantungan untuk menggantung Mordekhai. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Ternyata “angin bertiup berbalik arah”. Kebajikan mengatasi kebatilan. Haman, si Angkara, yang hendak berbuat culas, akhirnya termakan oleh keculasannya sendiri. Ia digantung di tiang gantungan yang dibuatnya sendiri untuk menggantung Mordekhai (7:1-10). Selamat jalan, sang pembesar Haman!

Kisah Haman persis dengan telenovela di televisi. Di sana ada tokoh baik dan jahat. Yang baik, baik sekali. Yang jahat, jahat sekali. Penuh intrik yang licik. Tokoh jahat yang awalnya berada di atas angin, pada akhirnya harus mengalami nasib amat tragis. Sedang tokoh baik yang awalnya berada di bawah angin, pada akhirnya dapat tersenyum bahagia.

Pesannya, bagaimanapun juga kebaikan akan berbuahkan kebahagiaan. Dan sebaliknya bagaimanapun juga kejahatan akan berbuahkan kesengsaraan. Rupanya memang sudah menjadi semacam “hukum” yang berlaku di mana pun, kapan pun, dan buat siapa pun, “Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Galatia 6:7). Siapa yang menabur angin, ia akan menuai badai. Seperti Haman.

Andai saja Haman bisa mensyukuri apa yang sudah dicapai dan diperoleh dalam hidupnya; tidak dibutakan oleh status dan keinginannya untuk dihormati. Andai saja Haman tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh kebencian, sehingga ia tidak perlu merancang kejahatan terhadap orang lain. Andai saja Haman memakai akal sehat, dan mendengar suara hati nuraninya.

Akan tetapi Haman sudah membayar semuanya itu. Dengan hidupnya: di tiang gantungan. Sungguh teramat mahal! Semoga kisah Haman cukup sampai di sini; tidak terulang lagi dalam sejarah.

dari buku Bila Cinta Menyapa - Ayub Yahya, Gloria

1 comment:

Anonymous said...

Kisah haman, saya seneng pas baca waktu si Haman GR, pas raja bilang orang berjasa pantesnya dikasih apa, si Haman dengan serakah minta ini itu, padahal maksud Raja yang mau dikasih itu si Mordekhai.

Moga2 aja ga ada Haman2 di pelayanan he3, kalo ada pun ya kasian juga mereka nanti nasibnya kalo sampe kayak si Haman yg beneran.