Malu
Kisah ini sangat dikenal. Para ahli Taurat dan orang Farisi membawa kepada Tuhan Yesus seorang perempuan yang ketahuan berzinah. Menurut hukum yang berlaku ketika itu jelas: perzinahan adalah dosa besar, dan vonisnya adalah dirajam dengan batu sampai mati.
Apa yang akan Tuhan Yesus lakukan? Ini yang ditunggu-tunggu. Kalau Dia tidak melakukan tindakan tegas, maka terbukalah kesempatan untuk menghantam-Nya dengan tuduhan pelecehan terhadap hukum. Berarti sekali tepuk dua lalat. Sebaliknya kalau Dia mengambil tindakan tegas, toh mereka juga yang akan mendapat nama sebagai penegak supremasi hukum.
Begitulah sejarah mencatat, selalu saja ada orang-orang yang bertindak atas nama hukum untuk kepentingan sendiri. Hukum hanya dijadikan sebagai topeng atau pemuas ambisi pribadi. Bangsa kita sudah cukup kenyang dengan soal yang satu ini.
Sekilas kedudukan Tuhan Yesus terpojok. Para tokoh agama itu sepertinya sudah siap dengan sorai kemenangan. Tinggal menunggu waktu. Tetapi siapa yang menduga dengan cerdik Dia mengeluarkan maklumat pamungkas-Nya, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini.”
Tidak ada sorai kemenangan. Tangan tidak jadi teracung, pun sorak tidak jadi terungkap. Sepi. Seorang demi seorang, demikian Injil Yohanes mencatat, mulai dari yang tua meninggalkan tempat itu. Kisah ini kita akhiri sampai di sini.
Mari kita bicara tentang para ahli Taurat dan orang Farisi. Image mereka selama ini sangat buruk; munafik, keras kepala, kaku, merasa paling benar. Pada kisah ini kita melihat sisi lain dari mereka. Yaitu, bahwa setidaknya mereka masih punya rasa malu hati atau dalam bahasa Sunda rumangsa. Kalau mau mereka tetap bisa mengambil batu dan melempari perempuan itu. Siapa yang peduli dengan dosa-dosa mereka. Apalagi saat itu kebanggaan mereka betul-betul sedang dipertaruhkan; merekalah yang membawa perempuan itu kepada Tuhan Yesus.
Rasa malu, Saudara, itulah yang sudah lama hilang dari banyak politikus di negeri ini. Dulu mereka yang mendukung, sekarang mereka juga yang menghujat, bahkan tidak sedikit juga yang menyangkal pernah mendukung; dulu mereka yang menjegal, sekarang mereka juga membujuk-bujuk, sampai agama dibawa-bawa, entah untuk menjegal entah untuk mendukung. Lalu istilah-istilah “cerdik” (tetapi tidak tulus alias licik) muncul, dari mulai poros tengah sampai koalisi permanen.
Rasa malu, rasa malu, duhai….. dimanakah engkau gerangan berada…..???
dari buku Potret Diri Tanpa Bingkai - Ayub Yahya, diterbitkan oleh Gloria