Anugerah Itu : Eka Darmaputera
Barangkali tidak ada yang tahu, bahwa bagi saya, berkenalan dengan Pak Eka, lantas menjadi rekan sekerja, lebih dari itu menjadi dekat, ibarat mimpi yang menjadi kenyataan. Ceritanya begini.
Dulu sekali, saya masih mahasiswa semester tiga di Duta Wacana, buku Pak Eka, Etika Sederhana Untuk Semua, terbit. Ketika itu di kalangan teman-teman sekampus nama Pak Eka sudah "harum"; sosok dan tulisannya kerap menjadi bahan pembicaraan. Ada beberapa teman yang saya tahu rajin sekali mengkliping tulisan Pak Eka di Suara Pembaruan. Saya juga suka mengklipingnya, cuma ya sesekali. Soalnya saya tidak selalu punya uang untuk beli koran.
Saya membaca habis buku itu. Dan amat terkesan. Materi yang berat dan sarat, dipaparkan dengan bahasa sederhana. Dengan cara yang menarik dan kreatif pula. Ini memang salah satu dari banyak kelebihan Pak Eka: Membuat sesuatu yang sulit dicerna menjadi enak dibaca dan perlu. Sampai kini istilah "pemandu wisata" yang Pak Eka pakai untuk menyebut perannya dalam buku itu, masih kerap saya "pinjam" kalau memimpin acara pembinaan.
Setelah membaca buku itu saya berkeinginan berkirim surat ke Pak Eka. Selain karena dari buku itu ada beberapa hal yang ingin saya percakapkan, juga saya terilhami oleh surat-menyurat Walter Trobisch dengan gadis bernama Karen yang kemudian dibukukan. Siapa tahu surat-menyurat Pak Eka dengan saya juga bisa dibukukan, begitu saya pikir. Ketika itu tidak terbersit sedikit pun dalam benak saya, bahwa suatu saat saya akan menjadi rekan sekerja Pak Eka.
Lalu saya menulis surat. Namun entah mengapa, setelah tiga lembar folio dan belum selesai saya berhenti. Mungkin karena tertunda-tunda menyelesaikan, jadi malah tidak pernah selesai. Pendek kata saya tidak jadi berkirim surat ke Pak Eka. Surat yang belum selesai itu saya robek. Jadi ibarat orang bermimpi, mimpi belum selesai sudah terbangun. Ya, sudah.
Sampai tiga setengah tahun kemudian setelah saya lulus, tidak dinyana oleh BPMS bersama dua rekan yang lain saya ditempatkan di GKI Bekasi Timur sebagai calon pengerja. Penempatan calon pengerja lulusan STT 1991 waktu itu memang unik, berbeda dari sebelum dan sesudahnya. Mungkin saking uniknya saya sendiri malah tidak tahu bagaimana menuliskannya di sini. Para "saksi mata" dan yang mengalami pasti tahulah.
Selanjutnya empat tahun lebih saya, kalau mau memakai istilah yang bombastis, "senasib dan sepenanggungan" dengan Pak Eka di GKI Bekasi Timur. Sekali lagi ini istilah bombastis, makna yang sebenarnya silakan tafsirkan sendiri. Saya berelasi lebih dekat dengannya. Saya kerap bercerita kepadanya, dan mendengar ceritanya. Saya banyak belajar darinya; entah melalui obrolan dengannya yang selalu aspiratif, atau bahkan melalui sikap "diamnya".
Bagaimana perasaan saya terhadap Pak Eka, barangkali bisa disejajarkan dengan perasaan Thio Cui San, ayah Tio Bu Ki, terhadap gurunya, Thio Sam Hong, pendiri Bu Tong Pay, dalam cerita silat Golok Pembunuh Naga; antara kagum dan hormat, antara segan dan sayang. "Tapi guruku tak usah lari keras. Sekali ia berjalan atau berlari pelan-pelan, kami sudah tidak dapat mengikutinya," begitu kata Cui San suatu ketika. Ya, Pak Eka tidak perlu bicara banyak, cukup anggukan dan senyuman dalam sikap diamnya itu sudah berarti sangat banyak buat saya. Berlebihan? Buat orang lain, barangkali iya. Tetapi buat saya tidak. Memang itulah yang saya rasakan. Dan karena saya yang menulis kesan ini, apa boleh buat, Anda, pembaca, lebih baik terima saja. Atau, berhenti sampai di sini dan lupakan.
Dari GKI Bekasi Timur saya membawa banyak kenangan. Ada kenangan pahit, dan karenanya ingin saya lupakan. Ada kenangan manis yang akan terus saya ingat, dan bingkai menjadi hiasan dalam dinding kehidupan saya. Dan salah satu kenangan manis itu adalah sosok seorang Eka Darmaputera. Bisa jadi karena itu, sampai kini, lima tahun kemudian, saya masih merasa dekat dengan Pak Eka. Bahkan istri saya, dan mungkin anak saya yang baru genap setahun usianya.
Dalam kurun waktu itu, untuk ukuran orang sesibuk Pak Eka, cukup kerap kami bertemu. Pernah sepulang bersama dari suatu acara di Kinasih, saya dan Pak Eka mampir di Bogor menjemput "mantan pacar" (sekarang sudah jadi istri) saya pulang. Pak Eka mungkin tidak tahu, waktu itu saya bangga sekali. Bayangkan, saya bisa mengajak Pak Eka menjemput pacar!
Pernah Pak Eka, bersama Bu Evang, juga datang ke rumah. Nengok Kezia, anak saya yang baru lahir. Ketika itu saya sedang tidak ada di rumah. Dari istri, saya dengar Pak Eka sempet menggendong si Kezia. Tapi anak itu malah nangis. Keras lagi. Untuk yang satu ini, saya tidak punya komentar. Jadi, lewatin saja bacanya. Tapi toh tetap, saya merasa perlu menuliskannya di sini. Namanya juga kenangan. Boleh saja 'kan orang memilih kenangan yang hendak diingatnya.
Sekitar tiga minggu lalu saya bertemu dengan Pak Eka di rumahnya. Kami berbincang tentang suatu hal. Tidak banyak yang berubah pada Pak Eka. Senyum dan raut wajahnya tetap cerah; sikap dan sapaannya, yang membuat siapa pun yang menerimanya merasa "berharga", tetap segar. Ya, bagi Pak Eka sepertinya memang tidak ada orang yang "terlalu kecil" untuk diperlakukan "besar".
Kalau pun ada yang berubah, itu adalah fisiknya. Pak Eka sekarang jauh lebih kurus. Keriput di leher makin mempertegas itu. Saya tahu tentang penyakit yang menggeroti tubuhnya. Dan saya hanya bisa berdoa buatnya. Sambil tetap yakin, tak ada yang bisa menggerogoti cinta di hati saya, dan di hati banyak orang, terhadap Pak Eka. Pak Eka adalah anugerah dari Tuhan, kalau bukan yang terbesar, pastilah salah satu di antara yang besar.
Tulisan ini dibuat khusus saat emeritasi Alm. Pdt Eka Darmaputera, PhD. Merupakan versi asli dari tulisan berjudul "Sepotong Cinta buat Pak Eka" yang dimuat dalam buku Atas Nama Cinta - Ayub Yahya, diterbutkan oleh Kairos. Disajikan kembali sebagai satu dari dua tulisan khusus untuk mengenang Alm. Pak Eka yang lahir tanggal 16 November.
1 comment:
ah sayang sekali saya tidak sempat kenal dengan pak Eka...semoga dalam hidup saya, saya bisa berjumpa dengan "pak Eka pak Eka" lainnya....
Post a Comment