Yang Tak Sempat TerucapKesan-Pesan Dalam Rangka HUT 60 Tahun
Pdt Eka Darmaputera PhD
Grogi. Saya grogi ketika diminta Pak Santo (MC), ke depan, dan ditanya tentang kesan saya terhadap tulisan-tulisan Pak Eka. Itu sungguh di luar dugaan. Tidak ada dalam skenario.
Sempat memang terpikir mau bicara apa, tetapi segera saya ingat waktu yang sangat ketat. Acara perayaan ulang tahun Pak Eka--setelah ibadah setengah jam; yang ditandai dengan potong kue, nyanyi "Happy Birthday", dan serah terima buku ke beberapa orang--lalu dilanjutkan dengan apresiasi buku-buku Pak Eka direncanakan tidak lebih dari satu jam.
Yang lebih bikin grogi adalah "nama-nama besar" yang hadir. Walah, gimana pula ini. Rasanya seperti "dibawa jatuh ke dalam pencobaan", he, he, he. Ya, saya bicara juga sih akhirnya. Lha, ditanya, masak tidak ngejawab. Cuma kering dan ya tidak ada apa-apanyalah. Saya cuma bilang waktu itu, saya kagum dengan kedalaman dan keluasan sekaligus keringanan tulisan-tulisan Pak Eka.
Namun, it's oke. Toh saya bisa mengutarakan apa yang tidak sempat terucap lewat tulisan kelak. Saya yakin momen ini tidak berhenti sampai di sini. Pasti ada kelanjutannya. Dan benar, teman-teman di Gloria berencana hendak melanjutkan momen ini di website. Syukur. Sebab sangat tidak enak loh menyimpan sesuatu yang ingin diucapkan, tetapi belum sempat terucap.
Awalnya. Bermula dari percakapan ngalor-ngidul tentang buku dengan Ang Tek Khun di rumah kontrakan saya sekitar awal Oktober. Percakapan biasa saja; tidak direncanakan, tidak juga dengan tujuan apa-apa. Just omong-omong. Kebetulan kami bertetangga, satu RW beda RT. Saya banyak berguru tentang lika-liku penerbitan buku pada rekan yang satu ini. Siapa tahu suatu saat kelak saya bisa punya penerbitan sendiri. Tidak salah kan bermimpi?! :)
Ketika itu buku Pak Eka, "Beragama Dengan Akal Sehat", sudah beredar. Sedang buku "Dengarlah yang Dikatakan Roh" sudah hampir rampung dicetak. Dan "Khotbah Yesus Di Bukit" masih dalam proses awal. Ketiga buku tersebut merupakan kumpulan tulisan Pak Eka yang baru, yang secara rutin dimuat dalam rubrik Sabda, Sinar Harapan (yang kemudian dimuat juga di website GloriaNet, ed).
Perbincangan lalu mengarah pada tulisan-tulisan lama Pak Eka yang belum diterbitkan. Kami juga menyinggung soal ulang tahun Pak Eka bulan November. Persis yang ke-60. Kami punya kesamaan rasa terhadap Pak Eka; kagum sekaligus sayang. Dari perbincangan itu terlontar ide, untuk membuat acara khusus guna menyambut momen tersebut. Tentunya yang berhubungan dengan buku.
Singkat kata, ide itu terus bergulir. Dan berkembang. Mendapat dukungan dari banyak pihak. Termasuk--yang penting--Pak Eka juga tidak keberatan.
Persiapan selanjutnya mengalir begitu saja. Kecuali saat terakhir menjelang keberangkatan ke Jakarta, tidak ada rapat khusus. Teman-teman Gloria memang setiap hari bertemu. Dan saya bisa lewat telepon. Hingga hari H-nya memang ada saja yang direncanakan tidak jadi, dan yang jadi padahal tidak direncanakan. Tetapi toh semuanya berjalan dengan lancar. Puji Tuhan atas perkenan-Nya.
Saya kagum dengan dedikasi dan ritme kerja teman-teman Gloria. Mereka antusias dan sungguh-sungguh sekali menyiapkan acara ini. Padahal sebagian besar dari mereka mungkin hanya tahu Pak Eka. Itu pun dari tulisan-tulisannya. Tidak mengenal dekat, apalagi punya hubungan formal. Rasa sayang dan apresiasi kadang memang tidak ditentukan oleh jarak formal.
Saya kebagian peran menyiapkan buku-buku Pak Eka yang akan diterbitkan. Gloria memberi kebebasan penuh; bukan hanya soal buku macam apa, tetapi juga soal berapa banyak yang bisa disiapkan.
Oleh karena waktu yang sangat singkat--sekitar dua minggu--saya konsentrasi pada tulisan-tulisan Pak Eka di Sinar Harapan dulu dan Suara Pembaruan. Targetnya sebenarnya satu atau dua buku sudah bagus. Tetapi dalam perjalanan ternyata bisa empat buku: "Mengapa Harus Salib?", "Iklan Bagi Anak Hilang", "Tanpa Plus, Tanpa Minus", dan "Ketika Takut Mencengkram". Sungguh di luar dugaan. (Plus satu buku lagi yang diluncurkan--tulisan-tulisan terbaru dengan judul "Khotbah Yesus di Bukit", ed).
Peran saya relatif tidak terlalu sulit. Selain memang saya enjoy, tulisan-tulisan sekaliber Pak Eka juga tidak perlu diapa-apakan lagi. Saya hanya memilih-milah; mengelompokkan setiap tulisan ke dalam satu tema tertentu. Lalu mengganti beberapa judul tulisan yang agak overlap, sedikit menyesuaikan isi pada satu-dua tulisan, dan memberi judul setiap bab. Terakhir, menulis kata pengantar. Saya mendapat masukan juga dari teman-teman Gloria.
Kesan. Saya hanya penikmat tulisan-tulisan Pak Eka. Bukan pengamat. Sebab kapasitas saya memang kurang memadai untuk mengambil posisi sebagai pengamat. Jadi sangat sulit buat saya kalau mau bicara soal kesan. Kecuali kalau kesan itu sebatas pada kulit luar. Tidak sampai ke daging, apalagi tulang sumsum--kalau daging dan tulang sumsum, itu porsinya para pendekar mumpuni.
Sebagai penikmat, saya menangkap ketajaman tulisan-tulisan Pak Eka; tanpa tedeng aling-aling, tanpa basa-basi--seumpama gerakan silat Huang Fei Yung, legenda dalam cerita silat, sekali sabet dua-tiga orang musuh terjengkang. Saya juga merasakan kejutan-kejutan yang ditimbulkan--seumpama jurus-jurus Sakuraba, jagoan asal Jepang di Pride Fighting Championship; tidak terpikirkan, tidak terduga. Kadang malah menjungkirbalikkan apa yang selama ini dipahami. Coba saja simak, sekadar menyebut contoh, Ester dan Yang Merah-merah dalam "Tanpa Plus, Tanpa Minus".
Kalau pun ada yang "sedikit kurang", menurut hemat saya, barangkali pada bahasa. Kadang-kadang Pak Eka lebih bergaya lisan daripada tulisan. Misalnya, dengan memakai kata "tapi" di awal paragraf. Harusnya "Akan tetapi" atau "Namun". Ya, tidak soal sih. Toh tidak ada pengaruhnya terhadap isi. Cuma bagi yang suka menulis terasa agak janggal juga.
Dan kalau saya bandingkan, tulisan-tulisan Pak Eka dulu; ketika masih aktif menulis di Suara Pembaruan, dan sakitnya belum separah sekarang--"Mengapa Harus Salib?", "Iklan Bagi Anak Hilang", "Tanpa Plus, Tanpa Minus", dan "Ketika Takut Mencengkram"--terkesan lebih jernih dan lebih lepas.
Dalam tulisan-tulisan baru di Sinar Harapan; setelah sekian lama tidak menulis renungan di koran--"Beragama Dengan Akal Sehat", "Dengarlah Yang Dikatakan Roh", dan "Khotbah Yesus Di Bukit"--terkesan agak "berat". Seperti kalau orang bicara, tidak lagi rileks. Pendeknya, dalam tulisan-tulisan Pak Eka yang baru, saya agak--sekali lagi agak, tidak sama sekali--kehilangan salah satu hal yang selama ini menjadi kekuatannya: "keringanan". Atau mungkin saya yang mengalami kemunduran.
Seorang teman bilang, mungkin saking banyaknya yang ingin Pak Eka tulis setelah sekian lama tidak menulis. Apalagi sejak 1998--ketika itu Pak Eka sudah tidak lagi menulis di Suara Pembaruan, kecuali saat Natal dan Tahun Baru--sampai kini bangsa Indonesia betul-betul dihantam oleh bertubi-tubi persoalan. Pak Eka adalah seorang yang amat mencintai bangsanya. Melihat semua yang terjadi, sangat mungkin ia merasa geram, marah, sedih, ingin berbuat sesuatu tetapi juga tidak berdaya.
Bisa jadi begitu. Tetapi menurut saya, sederhana saja, karena sakitnya yang tambah parah. Memang, energi intelektual Pak Eka itu luar biasa. Jauh melampaui energi fisiknya. Bayangkan, dalam sakitnya pun ia tetap bisa produktif. Tetapi toh sedikit banyaknya kelelahan dan kesakitan fisik akan mempengaruhi kejernihan dan keringanan pikiran.
Terima kasih. Saya sungguh beruntung mendapat kesempatan dari Gloria, dan perkenan dari Pak Eka untuk mengedit buku-bukunya. Dan memberi kata penutup pada salah satu buku yang lain. Sekali lagi terima kasih.
Selain saya bisa ikut terkenal he, he, he. Selama sekitar dua minggu "bergumul" dengan tulisan-tulisan Pak Eka, saya juga bisa banyak belajar--bahkan lebih banyak, dibanding saya belajar mata kuliah "Agama dan Masyarakat" selama satu semester di pasca sarjana Duta Wacana--Betul. Ini bukan melebih-lebihkan. Agama dan Masyarakat adalah bidangnya Pak Eka.
Padahal, kalau diibaratkan kue, tulisan-tulisan yang saya edit itu sebetulnya hanya "remah-remah" dari kue besar dan enak yang dibikin Pak Eka. Sedang potongan "dagingnya" sudah diambil oleh banyak pihak. Yang paling banyak mendapat, siapa lagi kalau bukan panitia buku emiritasi Pak Eka dulu, yang berhasil menerbitkan kumpulan tulisan Pak Eka dalam buku sangat tebal. It's oke. Setiap orang punya bagian tertentu dalam hidupnya. Pula yang penting toh bukan berapa besar bagian yang di dapat, tetapi bagaimana memanfaatkan bagian yang ada.
Ketika saya bertemu Pak Eka di rumahnya, sehari sebelum acara, terus terang hati saya sebetulnya agak gentar. Buku-buku Pak Eka yang saya edit itu karena keterbatasan waktu tidak sempat Pak Eka periksa. Jadi dari saya langsung ke penerbit. Tidak ke Pak Eka dulu. Saya kuatir Pak Eka kecewa atau bagaimanalah. Soalnya saya tahu kalau untuk urusan karya Pak Eka sangat perfeksionis. Walau juga saya tahu, Pak Eka seorang yang sangat bisa menghargai upaya seseorang. Betapa pun kecilnya. Tetapi setelah Pak Eka, dan juga Bu Evang, bilang senang--dan bahkan kemudian ditelepon, Pak Eka bilang puas--saya lega sekali. Plong. Kelegaan yang sama, saya yakin akan dirasakan juga oleh teman-teman Gloria.
Ke depan saya berharap akan makin banyak lagi tulisan-tulisan Pak Eka; entah makalah-makalah di seminar, atau yang dimuat di berbagai majalah dan koran, yang bisa diterbitkan. Rasanya sayang sekali kalau tulisan-tulisan itu hanya numpuk di dus. Dan menjadi harta karun yang tidak tersentuh. Padahal kalau dibaca banyak orang, pasti akan jadi berkat yang luar biasa. Apalagi untuk urusan arsip, Pak Eka--seperti juga untuk urusan kesehatan--maaf--agak ceroboh. Sebab, konon banyak sekali tulisan-tulisannya itu yang entah di mana.
Saya yakin sekali, kerjasama Pak Eka dan Gloria akan menjalin simbiosis mutualisma. Yang paling merasakan manfaat dari kerjasama ini, siapa lagi kalau bukan masyarakat luas. Khususnya gereja. Semoga.
Sebuah tulisan dalam rangka mengenang Alm. Pdt Eka Darmaputera. Gereja kehilangan salah satu pemikir besar. Saya kehilangan mentor dan tokoh yang saya kagumi dan hormati. Selamat jalan, Pak Eka.