Senin, 25 Desember 2006 -- Kemarin malam bareng Dewi ikut acara candle light service di GPO. Mulai jam 10 malam. Berangkat dari rumah jam 7. Naik MRT. Malam Natal Orchad ditutup. Naik bis atau taxi susah. Kita makan dulu di The Cafe Crystal Plaza Singapura. Terkenal steaknya. Kita kehabisan. Cuma makan pasta. Acaranya di halaman gereja. Semua kongregrasi; Mandarin, Indonesia, Jerman dan Inggris ngasih "presentasi". Yang hadir banyak juga orang yang lagi liburan ke sini. Hari biasa MRT terakhir sekitar jam 12. Tapi kalau hari "ramai" begini bisa sampai jam 1.30-an.
Tadi pimpin kebaktian Natal. Majelis Jemaat semua pakai batik. Saya juga. Ini pertama kali saya pimpin kebaktian Natal ga pakai toga :). Good jugalah. Batik bukan hanya ngingetin kita sebagai jemaat berbahasa Indonesia di luar negeri akan "keindonesiaan". Tapi juga memang ada makna simbolis yang bisa diambil berkenaan dengan Natal.
Batik dulu dan sekarang "beda" tuh. Dulu batik sangat dekat dengan kesederhanaan. Dibuat dengan cara, bahan, tempat, dan oleh orang-orang sederhana. Batik konon ngembat titik atau rambataning titik-titik. Artinya merangkai titik-titik. Sekarang batik sudah menjadi komoditi mahal. Dulu setiap goresan batik ada maknanya. Falsafah Jawa dan Hindu. Sekarang orang cenderung ga pentingin maknanya. Hanya melihat bagusnya. Sekadar "pemanis". Selain itu batik Indonesia juga menyimpan "ironi". Akar seni batik tuh berasal dari budaya Indonesia, tapi yang mempunyai hak paten di dunia internasional justru Malaysia.
Natal ga jauh beda "nasibnya" dengan batik. Natal kini sudah menjadi komoditi yang "wah". Padahal Natal di Alkitab identik dengan kesederhanaan. Yusuf dan Maria, kota kecil Betlehem, gembala, kandang ternak. Kini orang juga lebih fokus pada cerita natal, bukan pada berita natal; pada acara bukan makna, pada konsepsi bukan esensi. Natal menjadi rutinitas. Natal di Indonesia juga menyimpan "ironi". Natal adalah kabar sukacita dan damai sejahtera. Tapi untuk kebaktian malam Natal saja sampai mesti dijaga tentara, polisi, bahkan preman bayaran. So sad :(
Tadi pimpin kebaktian Natal. Majelis Jemaat semua pakai batik. Saya juga. Ini pertama kali saya pimpin kebaktian Natal ga pakai toga :). Good jugalah. Batik bukan hanya ngingetin kita sebagai jemaat berbahasa Indonesia di luar negeri akan "keindonesiaan". Tapi juga memang ada makna simbolis yang bisa diambil berkenaan dengan Natal.
Batik dulu dan sekarang "beda" tuh. Dulu batik sangat dekat dengan kesederhanaan. Dibuat dengan cara, bahan, tempat, dan oleh orang-orang sederhana. Batik konon ngembat titik atau rambataning titik-titik. Artinya merangkai titik-titik. Sekarang batik sudah menjadi komoditi mahal. Dulu setiap goresan batik ada maknanya. Falsafah Jawa dan Hindu. Sekarang orang cenderung ga pentingin maknanya. Hanya melihat bagusnya. Sekadar "pemanis". Selain itu batik Indonesia juga menyimpan "ironi". Akar seni batik tuh berasal dari budaya Indonesia, tapi yang mempunyai hak paten di dunia internasional justru Malaysia.
Natal ga jauh beda "nasibnya" dengan batik. Natal kini sudah menjadi komoditi yang "wah". Padahal Natal di Alkitab identik dengan kesederhanaan. Yusuf dan Maria, kota kecil Betlehem, gembala, kandang ternak. Kini orang juga lebih fokus pada cerita natal, bukan pada berita natal; pada acara bukan makna, pada konsepsi bukan esensi. Natal menjadi rutinitas. Natal di Indonesia juga menyimpan "ironi". Natal adalah kabar sukacita dan damai sejahtera. Tapi untuk kebaktian malam Natal saja sampai mesti dijaga tentara, polisi, bahkan preman bayaran. So sad :(
No comments:
Post a Comment