Kelirumologi Natal
Tidak salah, seperti disinyalir oleh Oom Jaya Suprana, pencetus kelirumologi, bahwa di dunia ini ada banyak sekali kekeliruan. Tapi karena sudah terlanjur biasa diucapkan dan didengar, atau terlanjur sering dipakai, sehingga lalu tidak lagi dirasakan sebagai kekeliruan.
Misalnya, anggapan bahwa Yunus ditelan ikan paus. Keliru. Selain paus bukan sejenis ikan, tetapi mamalia, dalam cerita Yunus di Alkitab juga tidak pernah disebutkan ikan paus; hanya disebutkan ikan besar (Yunus 1:17).
Yang paling kerap keliru adalah pemakaian kata-kata. Misalnya sebutan Majelis Jemaat. Sering orang bilang begini, “Pak Samin tuh seorang Majelis Jemaat.” Ini keliru. Majelis itu korp-nya. Orangnya ya anggota Majelis Jemaat, atau Penatua. Kekeliruan yang sama tampak pada percakapan ini: “Kamu anggota gereja mana?” “O, saya jemaat GKI Kayu Putih.” Yang benar kalau ditanya anggota gereja mana, jawabnya anggota GKI. Kalau mau diteruskan, GKI Kayu Putih atau GKI Bekasi Timur. “Saya jemaat GKI Kayu Putih” juga keliru. Yang benar, “Saya anggota jemaat GKI Kayu Putih.” Jemaat bukan sebutan untuk personal, tapi komunal.
Dalam pemakaian kata-kata umum pun tidak sedikit kekeliruan. Contoh kata acuh, kerap orang menyamakan dengan tidak peduli, cuek. Misalnya dengan bilang begini, “Sudah, acuhin saja dia.”. Padahal acuh, artinya justru peduli, tidak cuek. Juga kata semena-mena biasa disamakan dengan sewenang-wenang. Padahal semena-mena artinya adalah: tidak sewenang-wenang. (Lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Di seputar Natal juga ada kekeliruan. Misalnya, cerita tentang orang majus dari Timur. Selama ini selalu digambarkan berjumlah tiga orang. Padahal Alkitab hanya menyebutkan “orang-orang majus” (Matius 2:1-12); tidak disebutkan jumlahnya secara pasti berapa. Memang dalam kisah orang majus itu disebutkan tiga jenis hadiah yang mereka bawa; mas, kemenyan dan mur. Tetapi tiga jenis hadiah tidak serta merta dibawa oleh tiga orang juga ‘kan?
Atau cerita tentang Yusuf dan Maria yang tengah mencari penginapan. Dalam drama Natal biasanya digambarkan begini: Yusuf berjalan menuntun keledai, sementara Maria yang tengah hamil tua duduk di atasnya. Mereka berjalan dari satu penginapan ke penginapan lain, dan selalu dijawab, “Maaf, tidak ada kamar kosong”. Jawaban tersebut keliru sebab yang dikatakan Alkitab bukan tidak ada kamar kosong, tapi tidak ada tempat bagi mereka (Lukas 2:1-7). Jadi kamar kosong sih mungkin ada, cuma buat Yusuf dan Maria tidak ada tempat.
Hal ini bisa dimengerti mengingat situasi dan kondisi waktu itu. Kota Betlehem tengah dipadati orang-orang dari luar kota yang mau ikut sensus penduduk. Penginapan tentunya menjadi sangat mahal. Sedang Yusuf dan Maria hanyalah orang-orang sederhana. Pula, Maria sedang hamil tua. Kalau sampai melahirkan di penginapan, pasti akan merepotkan sekali. Belum lagi suara tangis bayi yang bisa mengganggu tamu-tamu lain. Jadi dari perhitungan bisnis, tentu rugi menerima mereka menginap. Karena itu bagi mereka, maaf saja, tidak ada tempat.
Begitu juga anggapan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari kelahiran Tuhan Yesus. Bulan Desember di Palestina adalah musim dingin, padahal di Alkitab ketika Tuhan Yesus lahir diceritakan tentang gembala-gembala yang sedang menggembalakan dombanya di padang (Lukas 2:8-20), jadi pasti bukan musim dingin.
Sebetulnya memang tidak ada tanggal yang pasti kapan Tuhan Yesus lahir. Pada zaman itu merayakan hari kelahiran dianggap sebagai tradisi kafir. Orang-orang Kristen pun tidak terbiasa melakukannya. Satu-satunya perayaan hari kelahiran yang dicatat dalam Perjanjian Baru adalah ulang tahun Herodes Antipas (Matius 14:6). Gereja perdana hanya merayakan hari kebangkitan Tuhan Yesus.
Tanggal 25 Desember semula merupakan perayaan non-kristiani; menyambut kembalinya matahari ke belahan bumi bagian utara. Sekitar akhir abad ke-4 orang-orang Kristen di kota Roma mengambil alih tanggal itu dan menjadikannya sebagai peringatan kelahiran Tuhan Yesus. Hari Natal. Sampai sekarang. (Lih. buku Pak Andar Ismail).
Itulah beberapa kekeliruan seputar Natal. Tetapi dari semua kekeliruan itu, ada dua kekeliruan yang paling fatal. Pertama, ketika Natal sudah identik dengan kemeriahan; hura-hura pesta atau pertunjukkan rupa-rupa acara. Entah di rumah, di gereja, di kantor, atau di mana saja. Seakan Natal tanpa itu semua bukan lagi Natal. Sehinggga orang pun lantas lebih sibuk dengan acara, bukan makna; lebih peduli pada bentuk, bukan isi. Tidak heran Natal satu datang Natal lain pergi, semua berlalu tanpa makna, tanpa bekas. Gone with the wind. Padahal natal bukan soal konsepsi, tapi esensi. Coba ingat-ingat dari sekian banyak Natal yang telah kita lewati, Natal mana yang paling memberi makna dalam hidup?!
Kedua, ketika Natal seolah menjadi “pesta” kita. Lalu orang pun “berpikir” untuk mendapatkan apa-apa dari acara Natal; entah kado, kartu ucapan atau “angpau”. Padahal Natal bukan “pesta” kita. Natal adalah “pesta” Dia. Kitalah yang harus memberi. Membawa “kado” seperti Para Majus datang membawa persembahan. Kado tidak selalu berupa materi, tapi bisa berupa pembaruan perilaku, bisa tekad untuk hidup lebih baik, atau pun komitmen melayani lebih sungguh (Ayub Yahya).
Misalnya, anggapan bahwa Yunus ditelan ikan paus. Keliru. Selain paus bukan sejenis ikan, tetapi mamalia, dalam cerita Yunus di Alkitab juga tidak pernah disebutkan ikan paus; hanya disebutkan ikan besar (Yunus 1:17).
Yang paling kerap keliru adalah pemakaian kata-kata. Misalnya sebutan Majelis Jemaat. Sering orang bilang begini, “Pak Samin tuh seorang Majelis Jemaat.” Ini keliru. Majelis itu korp-nya. Orangnya ya anggota Majelis Jemaat, atau Penatua. Kekeliruan yang sama tampak pada percakapan ini: “Kamu anggota gereja mana?” “O, saya jemaat GKI Kayu Putih.” Yang benar kalau ditanya anggota gereja mana, jawabnya anggota GKI. Kalau mau diteruskan, GKI Kayu Putih atau GKI Bekasi Timur. “Saya jemaat GKI Kayu Putih” juga keliru. Yang benar, “Saya anggota jemaat GKI Kayu Putih.” Jemaat bukan sebutan untuk personal, tapi komunal.
Dalam pemakaian kata-kata umum pun tidak sedikit kekeliruan. Contoh kata acuh, kerap orang menyamakan dengan tidak peduli, cuek. Misalnya dengan bilang begini, “Sudah, acuhin saja dia.”. Padahal acuh, artinya justru peduli, tidak cuek. Juga kata semena-mena biasa disamakan dengan sewenang-wenang. Padahal semena-mena artinya adalah: tidak sewenang-wenang. (Lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Di seputar Natal juga ada kekeliruan. Misalnya, cerita tentang orang majus dari Timur. Selama ini selalu digambarkan berjumlah tiga orang. Padahal Alkitab hanya menyebutkan “orang-orang majus” (Matius 2:1-12); tidak disebutkan jumlahnya secara pasti berapa. Memang dalam kisah orang majus itu disebutkan tiga jenis hadiah yang mereka bawa; mas, kemenyan dan mur. Tetapi tiga jenis hadiah tidak serta merta dibawa oleh tiga orang juga ‘kan?
Atau cerita tentang Yusuf dan Maria yang tengah mencari penginapan. Dalam drama Natal biasanya digambarkan begini: Yusuf berjalan menuntun keledai, sementara Maria yang tengah hamil tua duduk di atasnya. Mereka berjalan dari satu penginapan ke penginapan lain, dan selalu dijawab, “Maaf, tidak ada kamar kosong”. Jawaban tersebut keliru sebab yang dikatakan Alkitab bukan tidak ada kamar kosong, tapi tidak ada tempat bagi mereka (Lukas 2:1-7). Jadi kamar kosong sih mungkin ada, cuma buat Yusuf dan Maria tidak ada tempat.
Hal ini bisa dimengerti mengingat situasi dan kondisi waktu itu. Kota Betlehem tengah dipadati orang-orang dari luar kota yang mau ikut sensus penduduk. Penginapan tentunya menjadi sangat mahal. Sedang Yusuf dan Maria hanyalah orang-orang sederhana. Pula, Maria sedang hamil tua. Kalau sampai melahirkan di penginapan, pasti akan merepotkan sekali. Belum lagi suara tangis bayi yang bisa mengganggu tamu-tamu lain. Jadi dari perhitungan bisnis, tentu rugi menerima mereka menginap. Karena itu bagi mereka, maaf saja, tidak ada tempat.
Begitu juga anggapan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari kelahiran Tuhan Yesus. Bulan Desember di Palestina adalah musim dingin, padahal di Alkitab ketika Tuhan Yesus lahir diceritakan tentang gembala-gembala yang sedang menggembalakan dombanya di padang (Lukas 2:8-20), jadi pasti bukan musim dingin.
Sebetulnya memang tidak ada tanggal yang pasti kapan Tuhan Yesus lahir. Pada zaman itu merayakan hari kelahiran dianggap sebagai tradisi kafir. Orang-orang Kristen pun tidak terbiasa melakukannya. Satu-satunya perayaan hari kelahiran yang dicatat dalam Perjanjian Baru adalah ulang tahun Herodes Antipas (Matius 14:6). Gereja perdana hanya merayakan hari kebangkitan Tuhan Yesus.
Tanggal 25 Desember semula merupakan perayaan non-kristiani; menyambut kembalinya matahari ke belahan bumi bagian utara. Sekitar akhir abad ke-4 orang-orang Kristen di kota Roma mengambil alih tanggal itu dan menjadikannya sebagai peringatan kelahiran Tuhan Yesus. Hari Natal. Sampai sekarang. (Lih. buku Pak Andar Ismail).
Itulah beberapa kekeliruan seputar Natal. Tetapi dari semua kekeliruan itu, ada dua kekeliruan yang paling fatal. Pertama, ketika Natal sudah identik dengan kemeriahan; hura-hura pesta atau pertunjukkan rupa-rupa acara. Entah di rumah, di gereja, di kantor, atau di mana saja. Seakan Natal tanpa itu semua bukan lagi Natal. Sehinggga orang pun lantas lebih sibuk dengan acara, bukan makna; lebih peduli pada bentuk, bukan isi. Tidak heran Natal satu datang Natal lain pergi, semua berlalu tanpa makna, tanpa bekas. Gone with the wind. Padahal natal bukan soal konsepsi, tapi esensi. Coba ingat-ingat dari sekian banyak Natal yang telah kita lewati, Natal mana yang paling memberi makna dalam hidup?!
Kedua, ketika Natal seolah menjadi “pesta” kita. Lalu orang pun “berpikir” untuk mendapatkan apa-apa dari acara Natal; entah kado, kartu ucapan atau “angpau”. Padahal Natal bukan “pesta” kita. Natal adalah “pesta” Dia. Kitalah yang harus memberi. Membawa “kado” seperti Para Majus datang membawa persembahan. Kado tidak selalu berupa materi, tapi bisa berupa pembaruan perilaku, bisa tekad untuk hidup lebih baik, atau pun komitmen melayani lebih sungguh (Ayub Yahya).
No comments:
Post a Comment