Hidup seumpama sebuah sungai; mengalirlah. Dengan keyakinan di mana pun kita “terdampar”, di situ Tuhan menyediakan sesuatu yang baik. Maka, berdamai dengan kenyataan itu indah.
Saturday, September 09, 2006
Renungan Sabtu - 17
Suporter
Bayern Muenchen juara Piala Champion Eropa, setelah 25 tahun tidak pernah lagi merebut gelar terhormat itu. Di final mereka melibas Valencia lewat adu pinalti. Ribuan suporter klub Jerman itu tumpah ruah ke jalan; menari, bernyanyi, bersorak. Semua larut dalam satu kata: sukacita!
Euforia itu barangkali wajar. Dua tahun lalu, dalam final kenangan sepanjang zaman, Bayern betul-betul dibuat terluka. Mereka harus melepaskan kemenangan yang sudah di depan mata. Dua gol dalam satu menit terakhir membalikkan keadaan. Mimpi indah pun buyar sudah. Manchester United juara.
Setahun kemudian luka itu semakin bernanah; di semi final Bayern diganjal Real Madrid. Padahal dalam babak penyisihan, dua kali mereka menghajar klub Spanyol yang kemudian menjadi juara itu. Mimpi buruk? Lebih dari itu: tragedi!
Maka ketika Oliver Khan berhasil memblok tendangan Mauricio Pellegrino, dan memastikan kemenangan Bayern; semua emosi bagai meledak. Mulai dari “Sang Kaisar” Franz Beckenbauer, Pelatih Ottmar Hitzfield, seluruh official dan pemain lebur dalam lautan kegembiraan. “Luka itu tak lagi menyakitkan,” begitu Khan berkomentar. Mereka memang berkepentingan untuk itu.
Akan tetapi para suporter; apa yang mereka dapatkan dari euforia itu? Kadang saya tidak habis pikir dengan “fenomena suporter fanatik”; mereka bisa habis-habisan mendukung kesebelasan kesayangannya, berlelah dan berkorban, tidak jarang sampai berantem pula. Tetapi setelah itu apa? Entah kesebelasannya itu menang atau kalah, bagi soporter toh sama saja. Paling sedih kalah kalah, dan puas kalau memang. Lalu setelah itu selesai. Tidak lebih, tidak kurang.
Bukan berarti tidak usahlah menjadi suporter. Tidak begitu. Menjadi suporter baik-baik saja, dan perlu. Dengan menjadi suporter berarti kita menyediakan diri untuk bertaut secara emosi dengan kesebelasan yang kita dukung; segala sesuatu akan terasa lebih punya makna bila melibatkan emosi. Dalam sepakbola, suporter ibarat bumbu penyedap. Tanpa suporter, sebuah pertandingan sepakbola akan terasa hambar. Tetapi jangan berlebihan. Emosi juga harus diimbangi dengan rasio. Supaya kegembiraan tidak kebablasan berujung bencana. Berkorban, termasuk untuk kesebelasan favorit, tentunya tidak salah, yang salah kalau perngorbanan itu tidak membuahkan apa-apa.
Dari Buku Potret Diri Tanpa Bingkai - Ayub Yahya, Gloria
Label:
Renungan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment