Saturday, September 30, 2006

Renungan Sabtu - 20


Berharga


Ini cerita lama. Saya mengenalnya tidak sengaja. Sekali waktu, saya melihat dia sedang tidur-tiduran di depan pintu kamar kost saya. Kebetulan saya lagi punya makanan sisa, jadi saya kasih dia. Besoknya eh, dia datang lagi. Saya kasih lagi dia makanan. Besoknya lagi begitu juga. Sejak itu, hampir tiap hari dia datang. Kadang-kadang kalau pun saya lagi pergi, dia sudah menunggu di depan pintu kamar.

Pertamanya saya senang juga. Ibaratnya mendapat teman dikala sepi atau penyegar diwaktu pikiran lagi jenuh dan sumpek. Maklum di rumah sebesar itu, seringnya saya tinggal sendirian. Sekitar tiga bulanan lebih saya menjalin pertemanan dengan dia. Tak ada masalah. Kami rukun-rukun saja. Kalau saya lagi ada kerjaan, saya biarkan saja dia. Dan dia pun tidak tersinggung. Buktinya, besok-besoknya dia terus datang lagi.

Tetapi lama-lama saya mulai dibuat jengkel. Rasanya dia mulai keterlaluan. Dikasih hati mau jantung. Coba saja bayangkan, dia sudah berani nyelonong masuk ke kamar saya tanpa permisi. Padahal kakinya kadang-kadang kotornya minta ampun. Bukan itu saja, dia juga sudah berani mencuri-curi naik ke ranjang saya. Dan kalau saya lagi makan, enak saja dia naik ke atas meja.

Menjengkelkan sekali. Kerap saya habis kesabaran. Entah sudah berapa kali saya pukul dia dengan gulungan koran atau terpaksa saya tendang. Dia tidak kapok-kapok juga. Bahkan sepertinya dia suka membalas mengejek saya, dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya dan berjalan berlenggang. Sekali waktu saya benar-benar tidak bisa menahan diri lagi. Saya siram dia dengan air. Dia lari tunggang langgang. Syukurin.

Sejak itu dia tidak pernah datang lagi. Legalah hati ini sudah. Satu hari berlalu tanpa kejengkelan. Tiga hari juga begitu. Lima hari mulai saya merasa ada sesuatu yang kurang. Tujuh hari, saya kok jadi merindukan dia. Aneh kedengarannya. Tetapi sungguh, rasanya ada sesuatu yang hilang dalam hari-hari saya. Tak ada lagi yang menyambut kalau saya pulang. Tak ada lagi yang bisa saya isengin. Tak ada lagi sumber ide kalau pikiran lagi buntu. Sepi sekali rasanya.

Penyesalan perlahan mulai menyelinap ke dalam hati saya. Kenapa kemarin-kemarin itu saya bersikap kasar kepadanya, bahkan menguyurnya. Kenapa saya hanya memikirkan yang jelek dan menjengkelkannya saja dari dia. Kenapa saya tidak melihatnya hal-hal baik dan bermanfaat yang timbul dengan kehadirannya.

Betul juga, sesuatu itu baru terasa berharga kalau sudah tidak ada. Tetapi kalau sudah tidak ada ya, terlambat. Seharusnya saya berusaha menghargai apa yang ada, dan bersyukur karenanya. Termasuk dengan kehadirannya di kost saya. Walau dia hanya seekor kucing.

Dari buku Potret Diri Tanpa Bingkai – Ayub Yahya, diterbitkan Gloria

No comments: