Yudas IskariotOrang banyak mengenalnya. Paling tidak, pernah mendengar namanya. Bahkan sepanjang sejarah orang mengingatnya dan....... mengutuknya! Ya, siapa yang tidak tahu Yudas Iskariot, sang pengkhianat Tuhan Yesus. Namanya pun sudah identik dengan pengkhianatan. Entah berapa banyak versi drama tentang dirinya yang telah ditulis dan dipertunjukkan pada setiap masa raya Paskah.

Tetapi tahukah Anda kenapa Yudas sampai mengkhianati Tuhan Yesus, Gurunya sendiri? Pasti bukan karena uang. Sebab kalau karena uang, kenapa setelah mendapatkan uang itu ia malah membuangnya? Pula, kenapa hanya 30 uang perak? Sungguh sebuah harga yang kecil. Kalau mau, Yudas bisa mendapatkan uang lebih banyak lagi. Para pemimpin agama Yahudi ketika itu tentunya akan mau membayar berapa pun yang Yudas minta untuk menyerahkan Tuhan Yesus.
Juga pasti bukan karena Yudas membenci Tuhan Yesus. Buktinya setelah ia berhasil mencelakakan Tuhan Yesus, sebaliknya dari senang Yudas malah sedih dan menyesal. Begitu menyesalnya, sampai-sampai ia gantung diri.
Lalu Karena Apa?
Ini pertanyaan yang sulit dijawab. Lebih-lebih karena Yudas sudah terlanjur dicap buruk. Sehingga seakan-akan tidak ada kebaikan sedikit pun dalam dirinya. Orang hanya tahu Yudas itu pengkhianat. Titik. Tetapi jarang mencoba mencari tahu, kenapa Yudas sampai tega berbuat begitu.
Mari kita rekonstruksi keadaan pada masa itu.
*
Pada waktu itu bangsa Yahudi sedang dijajah oleh bangsa Romawi. Orang Yahudi memiliki pengharapan mesianis; pengharapan akan datangnya Mesias, Sang Pembebas, yang akan menjadi pemimpin nasional dan mengembalikan kejayaan mereka seperti pada masa Raja Daud. Pengharapan itu sudah muncul jauh sejak zaman pembuangan di Babel ratusan tahun yang lalu.
Di pihak lain, Tuhan Yesus adalah tokoh yang sangat populer. Dia adalah tokoh dengan kharisma sangat besar. Kata-katanya penuh kuasa. Dia begitu populer sehingga dapat menghimpun orang dalam jumlah besar. Dia juga bisa membuat banyak mujizat yang luar biasa.
Sebagai salah seorang yang dekat dengan-Nya, Yudas tentunya menyadari potensi ini. Bahkan sejak awal tampaknya Yudas sudah tahu, bahwa Tuhan Yesus bukan tokoh sembarang tokoh. Bisa jadi karena itu juga ia mau mengikuti-Nya dan menjadi murid-Nya.
Tetapi kemudian rupa-rupanya Yudas jadi kecewa. Sang Guru bukannya segera menghimpun kekuatan massa untuk mengusir penjajah Romawi, Dia malah mengajarkan tentang mengasihi musuh dan memberkati orang yang menganiaya. Sang Guru bukannya aktif dalam pergerakan revolusi, Dia malah sibuk mengurusi orang-orang miskin dan terbuang.
Padahal seperti orang-orang Yahudi lainnya, Yudas juga sangat mencintai bangsanya. Ia ingin agar bangsanya terbebas dari cengkraman penjajah Romawi. Ia rindu melihat bangsanya berkembang menjadi bangsa yang besar, seperti pada zaman Raja Daud dulu.
Tampaknya Yudas lantas berpikir begini: Mungkin Sang Guru harus dipaksa untuk menunjukkan kekuasaan-Nya. Sang Guru harus diperhadapkan pada situasi dan kondisi dimana Dia tidak dapat mengelak untuk betindak. Kalau sampai itu terjadi, Yudas sangat yakin orang banyak akan berada di belakang-Nya. Tuhan Yesus hanya tinggal memerintahkan. Dan revolusi akan pecah.
Maka dibuatlah skenario "ciuman maut" di Taman Getsemani. Dan terjadilah tragedi itu. Tragedi yang membuatnya begitu merana dan menyesal, sampai-sampai ia mengambil jalan pintas gantung diri.
Yudas tidak pernah berpikir akhirnya akan seperti itu. Ia sama sekali tidak menduga, Tuhan Yesus akan membiarkan diri-Nya ditangkap tanpa perlawanan. Ia telah salah perhitungan, ternyata ambisinya malah mengundang tragedi. Tetapi apalah artinya sesal, nasi sudah menjadi bubur.
*
Jadi sebetulnya, dalam hati Yudas tidak sedikit pun terbersit keinginan untuk mencelakakan Tuhan Yesus. Seperti para murid yang lain, ia sangat mengagumi dan hormat terhadap Gurunya itu. Yudas hanya salah langkah, telah memaksakan keinginan dan caranya sendiri untuk Tuhan Yesus lakukan. Itu saja. Sejarah telah mencatat, betapa keinginan dan ambisi pribadi yang dipaksakan terhadap orang lain kerap mengundang tragedi. Kisah Yudas hanya salah satu contoh.
Kisah Yudas juga membuktikan, bahwa cinta tidaklah bisa diwujudkan dengan menghalalkan segala cara. Pun cinta kepada bangsa dan negara. Cinta terhadap apa pun dan diapa pun tetaplah harus didasarkan pada koridor kebenaran yang berlaku. Cinta tanpa kebenaran adalah cinta yang membabi buta. Cinta yang membabi buta hanya akan menciptakan bencana.
**Dari Buku: Bersyukur Itu Indah - Ayub Yahya