Pagi ke Gereja. Nyambut jemaat bersama Penatua yang bertugas. Pendeta yang berkotbah anak remaja ketika dulu saya di GKI Bektim. Ga kerasa 14-15 tahun yang lalu. Waktu begitu cepat. Tiba-tiba saya ngerasa sudah tua:).
Siang ke RS Abdi Waluyo di daerah Menteng. Nengok. Ada ayah anak pemuda yang sakit dirawat di sana. Berangkat bareng beberapa anak pemuda. Pulang mau makan es teller di jalan Bandung. Katanya enak. Muter-muter nyari. Ketika ketemu, eh ga jualan. Hujan gede. Beberapa hari ini Jakarta terus-terusan hujan.
Malam ada teman ngajak makan di restoran seafood di Pantai Mutiara Pluit. Beberapa hari yang lalu ia ultah. Rame-rame sih. Dengan teman-teman lain. Dewi, Kezia dan Karen juga ikut. Baru pertama saya ke daerah itu. Rumah-rumahnya bagus-bagus. Gede-gede. Megah-megah. Luar biasa deh. Rumah-rumah yang di pinggir pantai malah punya dermaga sendiri. Ada yacht pribadi segala. Huihhhh, keren!
Tapi jujur saya ga akan bisa nikmatin andai pun tinggal di rumah kayak gitu. Saya lebih merindukan rumah kontrakan di Jogja dulu. Rumah lama. Lantai masih dari ubin. Tapi bersih mengkilap. Halaman banyak pohon. Depan dan samping rumah sawah. Kalo pagi ramai suara burung. Malam suara kodok dan jangkrik. Rasanya tentram. Maklum saya kan lahir dan besar di udik :).
Hidup seumpama sebuah sungai; mengalirlah. Dengan keyakinan di mana pun kita “terdampar”, di situ Tuhan menyediakan sesuatu yang baik. Maka, berdamai dengan kenyataan itu indah.
Sunday, April 30, 2006
Catatan Harian - 336a
Di acara Radio Pelita Kasih semalam saya merasa "ga oke" . Rasanya ga lepas. Kagok gitu. Maklum sudah lama ga siaran. Waktunya juga terbatas. Lagian sudah ada skenarionya yang cukup “ketat”. Respon pendengar sih cukup oke-lah. SMS yang masuk hampir 30-an. Telepon cuma satu karena dibatasi. Kalau "dibuka" bisa banyak tuh. Saya punya mimpi, ngasuh sebuah acara radio. Interaktif, santai, tapi “berisi”. Semacam obrolan ringan gitu. May be someday.
Tujuh-delapan tahun lalu bersama beberapa teman, saya pernah ngasuh acara SENADA (Seputar Anak Muda). Di RPK juga. Kerja sama RPK dengan GKI Kayu Putih. RPK sudah banyak berubah. Dulu letak bangunannya di depan, sekarang di belakang. Masih di komplek Suara Pembaruan. Peralatannya lebih canggih. Yang ga berubah operator telpon dan musiknya. Masih Mas Tami.
Dari RPK saya dijemput beberapa teman. Mau jalan-jalan malam. Mumpung besok ga ada tugas, katanya. Kan jarang-jarang. Dewi juga ikut. Salah seorang teman sampai meng-cancel acaranya :). Kita jalan ke daerah Kemang. Ke tempat nongkrong anak-anak muda.
Makan di sebuah cafe. Saya ga ingat namanya. Pokoknya halaman terbuka gitu. Terus dikasih payung-payung. Banyak stand penjual makanan. Rame banget. Cuma saya ga betah. Habis pada ngerokok. Ga cewek ga cowok. Dulu waktu saya remaja, rasanya remaja apalagi cewek ga sebebas itu deh ngerokok. Zaman makin maju. Tapi dalam banyak hal malah makin mundur. Waktu pulang saya sempat tertidur di mobil. Ngantuk banget. Dua hari ini tidur saya ga ketentuan.
Tujuh-delapan tahun lalu bersama beberapa teman, saya pernah ngasuh acara SENADA (Seputar Anak Muda). Di RPK juga. Kerja sama RPK dengan GKI Kayu Putih. RPK sudah banyak berubah. Dulu letak bangunannya di depan, sekarang di belakang. Masih di komplek Suara Pembaruan. Peralatannya lebih canggih. Yang ga berubah operator telpon dan musiknya. Masih Mas Tami.
Dari RPK saya dijemput beberapa teman. Mau jalan-jalan malam. Mumpung besok ga ada tugas, katanya. Kan jarang-jarang. Dewi juga ikut. Salah seorang teman sampai meng-cancel acaranya :). Kita jalan ke daerah Kemang. Ke tempat nongkrong anak-anak muda.
Makan di sebuah cafe. Saya ga ingat namanya. Pokoknya halaman terbuka gitu. Terus dikasih payung-payung. Banyak stand penjual makanan. Rame banget. Cuma saya ga betah. Habis pada ngerokok. Ga cewek ga cowok. Dulu waktu saya remaja, rasanya remaja apalagi cewek ga sebebas itu deh ngerokok. Zaman makin maju. Tapi dalam banyak hal malah makin mundur. Waktu pulang saya sempat tertidur di mobil. Ngantuk banget. Dua hari ini tidur saya ga ketentuan.
Saturday, April 29, 2006
Catatan Harian - 337
Siang pimpin kebaktian syukur pembukaan kantor notaris seorang teman di daerah Hayam Wuruk. Ia anggota pengurus Pokja Demuda. Berangkat dari gereja bareng anggota pengurus Demuda lainnya. Saya sebetulnya sudah bukan pendeta pendamping Pokja Demuda. Tapi masih full-support. Apalagi masih ada program “zaman saya” yang tertunda. Saya sangat menikmati keakraban dengan pengurus Pokja Demuda.
Setelah makan siang, kita lanjut rapat rutin Pokja Demuda. Rencananya bulan Mei pengurus Pokja Demuda bersama keluarga akan ke Bandung. Acara kebersamaan. Pelayanan gerejawi adalah pelayanan kolektif. Maka, penting sekali ada relasi yang baik dan akrab di antara sesama pengurus. Anggota pengurus boleh jago-jago, pinter-pinter, tapi kalau ga ada relasi yang baik, ga akrab, ya “hancur”. Ga akan sehati. Malah potensial konflik. Jadi perlu tuh acara-acara kebersamaan diberi ruang.
Malam ada wawancara live di Radio Pelita Kasih (RPK). Seputar masalah jomblo :). Gara-gara buku Ngejomblo Itu Nikmat, jadi sering tuh saya dimina bicara soal kejombloan hehehe. Pernah di sebuah gereja saya diminta bawakan acara dengan topik itu. Eh yang datang banyaknya orang-orang tua. Benar. Sebagian karena cucunya ada yang jomblo. Sebagian anaknya yang jomblo. Hehehe malah orang tua yang resah. Anak atau cucunya yang ngejomblo malah tenang-tenang. Buktinya ga ikutan acara itu :).
Besok ga ada tugas khotbah. Leganya. Jarang-jarang loh hari Sabtu malam bisa saya lewati dengan kelegaan begini. Sungguh merupakan sebuah kemewahan :). Setiap minggu kelima sebetulnya pertukaran pengkhotbah se-GKISW Jabar. Cuma mungkin karena saya dianggap sudah “pindah”, jadi ga dijadwalin. Kayak minggu lalu. Jujur, saya sih senang-senang saja hehehe.
Setelah makan siang, kita lanjut rapat rutin Pokja Demuda. Rencananya bulan Mei pengurus Pokja Demuda bersama keluarga akan ke Bandung. Acara kebersamaan. Pelayanan gerejawi adalah pelayanan kolektif. Maka, penting sekali ada relasi yang baik dan akrab di antara sesama pengurus. Anggota pengurus boleh jago-jago, pinter-pinter, tapi kalau ga ada relasi yang baik, ga akrab, ya “hancur”. Ga akan sehati. Malah potensial konflik. Jadi perlu tuh acara-acara kebersamaan diberi ruang.
Malam ada wawancara live di Radio Pelita Kasih (RPK). Seputar masalah jomblo :). Gara-gara buku Ngejomblo Itu Nikmat, jadi sering tuh saya dimina bicara soal kejombloan hehehe. Pernah di sebuah gereja saya diminta bawakan acara dengan topik itu. Eh yang datang banyaknya orang-orang tua. Benar. Sebagian karena cucunya ada yang jomblo. Sebagian anaknya yang jomblo. Hehehe malah orang tua yang resah. Anak atau cucunya yang ngejomblo malah tenang-tenang. Buktinya ga ikutan acara itu :).
Besok ga ada tugas khotbah. Leganya. Jarang-jarang loh hari Sabtu malam bisa saya lewati dengan kelegaan begini. Sungguh merupakan sebuah kemewahan :). Setiap minggu kelima sebetulnya pertukaran pengkhotbah se-GKISW Jabar. Cuma mungkin karena saya dianggap sudah “pindah”, jadi ga dijadwalin. Kayak minggu lalu. Jujur, saya sih senang-senang saja hehehe.
Renungan Sabtu - 02b
Salomo - lanjutan
Itulah Salomo dengan segala kebesaran dan kebijaksanaannya. Sungguh seorang anak muda yang lengkap. Idaman setiap orang. Boleh dibilang tidak ada celanya. Tetapi tahukah Anda bagaimana perjalanan hidup Salomo kemudian? Sebuah tragedi!
Dalam 1 Raj. 11:1-13 ditulis bagaimana Salomo jatuh ke dalam penyembahan berhala. Dia banyak mencintai perempuan asing, yang membuat hatinya berpaling dari Tuhan. “Demikianlah Salomo mengikuti Asytoret, dewi orang Sidon, dan mengikuti Milkom, dewa kejijikan sembahan Amin, dan Salomo melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, dan ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti Tuhan, seperti Daud, ayahnya.” (Ayat 5-6).
Karena perbuatan Salomo itu, anak cucunya turut menanggung akibat. Kerajaan Israel setelah Salomo terpecah menjadi dua; selatan dan utara. Tidak pernah akur. Penuh intrik dan politik. Masa-masa keemasan Israel Raya hanya tinggal kenangan. Musnah sudah kejayaan yang telah dengan susah payah dibangun oleh Daud. Bangsa Israel bahkan sempat menjadi bulan-bulanan, dibuang ke negeri Babel. Sungguh sebuah akhir yang menyesakkan.
*
Lantas apa yang bisa kita pelajari dari kisah hidup Salomo? Pertama, pasangan hidup yang salah, bisa membawakan kita kedalam tragedi. “Hati Salomo telah terpaut kepada mereka dengan cinta……….. istri-istrinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain.” (1 Raj. 11:2b, 4). Barangkali tepat kalau dikatakan, Salomo telah dibutakan oleh cinta. Sehingga akhirnya dia kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya: iman.
Kedua, mengendalikan diri (self control) itu perlu. Tanpa pengendalian diri, kita akan mudah tergelincir kedalam kehancuran. Kekuasaan dan kekayaan Salomo amatlah besar (1 Raj. 10:14-29). Dengan kekuasaan dan kekayaannya itu, boleh dikata, Salomo dapat memperoleh apa pun yang diinginkannya. Bayangkan, Salomo sampai memiliki 700 istri dari kaum bangsawan dan 300 gundik (1 Raj. 11:3). Seperti apa gaya hidup Salomo, Alkitab memang tidak secara jelas mengungkapkannya. Tetapi dengan jumlah istri dan gundik sebanyak itu, ditambah kekuasaan dan kekayaan begitu besar, Salomo seumpama mobil super mewah – serba canggih, nyaman, dan menyenangkan – tetapi tidak memiliki rem. Blong.
Ketiga, seseorang yang sejak mudanya berperilaku baik, bahkan juga rajin dan taat menjalankan kewajiban agama, tidak serta merta seterusnya akan menjadi orang baik-baik. Manusia itu bisa berubah. Kalau tidak waspada, ia juga bisa jatuh terjerumus ke jalan yang salah. Pada waktu muda Salomo adalah seorang yang berhikmat; semua orang mengaguminya (1 Raj. 10:24), tetapi pada waktu tuanya Salomo toh bisa jatuh kedalam dosa (1 Raj. 11:4). Maka, seperti nasihat Petrus, “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.” (1 Pet. 5:8).
** Dari buku Bila Cinta Menyapa: Ayub Yahya
Kedua, mengendalikan diri (self control) itu perlu. Tanpa pengendalian diri, kita akan mudah tergelincir kedalam kehancuran. Kekuasaan dan kekayaan Salomo amatlah besar (1 Raj. 10:14-29). Dengan kekuasaan dan kekayaannya itu, boleh dikata, Salomo dapat memperoleh apa pun yang diinginkannya. Bayangkan, Salomo sampai memiliki 700 istri dari kaum bangsawan dan 300 gundik (1 Raj. 11:3). Seperti apa gaya hidup Salomo, Alkitab memang tidak secara jelas mengungkapkannya. Tetapi dengan jumlah istri dan gundik sebanyak itu, ditambah kekuasaan dan kekayaan begitu besar, Salomo seumpama mobil super mewah – serba canggih, nyaman, dan menyenangkan – tetapi tidak memiliki rem. Blong.
Ketiga, seseorang yang sejak mudanya berperilaku baik, bahkan juga rajin dan taat menjalankan kewajiban agama, tidak serta merta seterusnya akan menjadi orang baik-baik. Manusia itu bisa berubah. Kalau tidak waspada, ia juga bisa jatuh terjerumus ke jalan yang salah. Pada waktu muda Salomo adalah seorang yang berhikmat; semua orang mengaguminya (1 Raj. 10:24), tetapi pada waktu tuanya Salomo toh bisa jatuh kedalam dosa (1 Raj. 11:4). Maka, seperti nasihat Petrus, “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.” (1 Pet. 5:8).
** Dari buku Bila Cinta Menyapa: Ayub Yahya
Renungan Sabtu - 02a
Salomo
Siapa yang tidak kenal salomo. Pada usia muda dia sudah menjadi orang nomor satu di Kerajaan Israel Raya, mewarisi tahta Raja Daud, ayahnya. Batas kekuasaanya sangat luas; mulai dari sungai Efrat sampai negeri orang Filistin dan sampai tapal batas Mesir (1 Raj. 4:21). Sepeninggalan Raja Daud, Kerajaan Israel memang sedang berada di puncak kejayaan.
Siapa yang tidak kenal salomo. Pada usia muda dia sudah menjadi orang nomor satu di Kerajaan Israel Raya, mewarisi tahta Raja Daud, ayahnya. Batas kekuasaanya sangat luas; mulai dari sungai Efrat sampai negeri orang Filistin dan sampai tapal batas Mesir (1 Raj. 4:21). Sepeninggalan Raja Daud, Kerajaan Israel memang sedang berada di puncak kejayaan.
Dia seorang yang pintar, diyakini banyak menulis wejangan hikmat; baik berupa peribahasan, sajak, pepatah, maupun kata-kata mutiara. Kitab-kitab Amsal (bahasa Ibrani: masyal), Pengkhotbah (qohelet), dan Kidung Agung (syir-hasysyirim), menurut tradisi dianggap ditulis oleh atau berasal dari Salomo.
Dia seorang yang saleh, ketika Tuhan menawarkan kepadanya, “Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu”, Salomo tidak lantas aji mumpung, misalnya dengan minta kekayaan lebih banyak atau kerajaannya tambah jaya. Dia hanya minta hikmat. Itu pun bukan untuk dirinya sendiri, tetapi supaya dia bisa memimpin bangsanya dengan baik dan benar (1 Raj. 3:1-15).
Seandainya saja setiap pemimpin bangsa-bangsa di dunia ini memiliki kesalehan seperti Salomo; tidak kemaruk harta atau kekuasaan, betapa akan tata tentramnya bumi ini. Banyak sudah terjadi dalam sejarah, ketamakan dan kerakusan para pemimpin pada akhirnya bukan hanya menjerumuskan diri mereka sendiri, tetapi juga menyengsarakan rakyat banyak yang tidak bersalah.
Dia juga seorang yang bijaksana. Kasus “monumental” yang pernah ditanganinya adalah kisah dua orang wanita yang sama-sama mengaku diri sebagai ibu dari seorang bayi. Tidak ada bukti material. Ketika itu belum dikenal DNA, yang bisa membuktikan orang tua kandung seorang anak. Yang ada hanyalah pengakuan kedua wanita itu, yang tentunya sangat subyektif.
Perkara sangat sulit? Bagi orang kebanyakan barangkali iya, tetapi tidak bagi salomo. “Potong bayi itu menjadi dua, dan berikan masing-masing satu potong kepada kedua wanita itu!” begitu katanya. Tentu, gegerlah hadirin yang mendengar; bagaimana mungkin seorang bayi dipotong menjadi dua?! Tidakkah itu tindakan yang sadis tidak berperikemanusiaan?!
Akan tetapi, toh kita semua tahu akhirnya. Kisah itu berakhir bahagia; kebenaran terungkap, siapa ibu kandung sang bayi siapa bukan ketahuan juga. Sebab di dunia ini mana ada seorang ibu yang rela anak dari kandungannya dipotong menjadi dua. Dia akan lebih rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi sang anak lepas dari nestapa mengerikan itu. (to be continued)
Catatan Harian - 338
Setengah harian di rumah. Ngetik. Terima telepon. Baca buku. Baru selesai baca 5 Cm, novel karangan Donny Dhirgantoro. Lanjut baca Indiana Chronicle Lipstick, novel karangan Clara Ng. Gara-gara mau bikin skenario film jadi harus baca novel lagi. Saya sudah sangat jarang baca novel. Dulu sih suka.
Jam 5 sore pimpin PA di GKI Kelapa Cengkir. Saya cukup kerap pimpin acara di GKI Kelapa Cengkir. Persekutuan lansia, PA Jemaat, pembinaan pemuda dan remaja. Jadi rasanya cukup akrab pula. Umumnya aktivis di sana tahu saya mau pindah. Karena itu mumpung masih di Jakarta katanya, saya diminta pimpin beberapa acara lain bulan depan.
Malam bawakan renungan di Komsel wilayah Kelapa Gading Utara. Tentang kekuatiran. Kekuatiran dalam batas tertentu sebetulnya baik. Membuat kita jadi waspada dan ingat Tuhan. Orang yang ga pernah kuatir jangan-jangan malah ceroboh. Kekuatiran akan menjadi berbahaya dan melumpuhkan kalau berlebihan. Kuncinya ga ada lain, bersandar kepada Tuhan. Hidup ini yang punya Dia koq. Jalani dengan iman. Kalau Tuhan mengijinkan sesuatu terjadi, pasti Dia pun akan memperlengkapi kita menjalaninya. Ga mungkinlah Tuhan mengijinkan sesuatu kalau itu buruk. Yang penting kita patuh. Jangan “menyimpang ke kiri dan ke kanan”. Itu saja.
Setelah renungan dilanjutkan dengan sharing seputar rasa kuatir. Ada yang tanya, sebagai pendeta apakah saya juga pernah merasa kuatir. Saya jawab, tentu saja. Ada saatnya saya galau, bimbang, bahkan takut menghadapi kehidupan ini. Saat saya butuh “telinga” untuk mendengar, “tangan” untuk menopang, dan “hati” untuk memahami. Dari sharing itu saya banyak juga belajar dan dikuatkan. Thank temans. Kita lalu saling mendoakan.
Sepanjang hari ini perasaan saya ga enak. Saya juga ga tahu kenapa. Mungkin karena jenuh ato capek. Entah. Rasanya hati ini ga nyaman gitu. Dalam psikologi ada tuh istilahnya; kalau orang tiba-tiba ngerasa gembira atau ngerasa sedih tanpa alasan yang jelas. Saya lupa apa itu.
Jam 5 sore pimpin PA di GKI Kelapa Cengkir. Saya cukup kerap pimpin acara di GKI Kelapa Cengkir. Persekutuan lansia, PA Jemaat, pembinaan pemuda dan remaja. Jadi rasanya cukup akrab pula. Umumnya aktivis di sana tahu saya mau pindah. Karena itu mumpung masih di Jakarta katanya, saya diminta pimpin beberapa acara lain bulan depan.
Malam bawakan renungan di Komsel wilayah Kelapa Gading Utara. Tentang kekuatiran. Kekuatiran dalam batas tertentu sebetulnya baik. Membuat kita jadi waspada dan ingat Tuhan. Orang yang ga pernah kuatir jangan-jangan malah ceroboh. Kekuatiran akan menjadi berbahaya dan melumpuhkan kalau berlebihan. Kuncinya ga ada lain, bersandar kepada Tuhan. Hidup ini yang punya Dia koq. Jalani dengan iman. Kalau Tuhan mengijinkan sesuatu terjadi, pasti Dia pun akan memperlengkapi kita menjalaninya. Ga mungkinlah Tuhan mengijinkan sesuatu kalau itu buruk. Yang penting kita patuh. Jangan “menyimpang ke kiri dan ke kanan”. Itu saja.
Setelah renungan dilanjutkan dengan sharing seputar rasa kuatir. Ada yang tanya, sebagai pendeta apakah saya juga pernah merasa kuatir. Saya jawab, tentu saja. Ada saatnya saya galau, bimbang, bahkan takut menghadapi kehidupan ini. Saat saya butuh “telinga” untuk mendengar, “tangan” untuk menopang, dan “hati” untuk memahami. Dari sharing itu saya banyak juga belajar dan dikuatkan. Thank temans. Kita lalu saling mendoakan.
Sepanjang hari ini perasaan saya ga enak. Saya juga ga tahu kenapa. Mungkin karena jenuh ato capek. Entah. Rasanya hati ini ga nyaman gitu. Dalam psikologi ada tuh istilahnya; kalau orang tiba-tiba ngerasa gembira atau ngerasa sedih tanpa alasan yang jelas. Saya lupa apa itu.
Friday, April 28, 2006
Friday's Joke - 01
Tuli
Seorang suami merasa kuatir, akhir-akhir ini istrinya setiap dipanggil tidak pernah menyahut. Jangan-jangan istrinya itu menderita ketulian, begitu dia berpikir. Lalu dia menulis imel kepada temannya yang seorang dokter, menceritakan kekuatirannya dan minta saran.
“Begini saja,” tulis temannya di imel. “Coba panggil istrinya dari jarak sekitar tiga meter, kalau dia tidak menyahut kamu mendekat dan panggil lagi dia. Kalau masih tidak menyahut, kamu lebih mendekat lagi. Kalau istrimu tetap tidak menyahut berarti memang dia tuli.”
Suatu pagi dia melihat istrinya sedang masak. Dari jarak sekitar tiga meter dia bertanya, “Sedang masak apa, Ma?” Istrinya tidak bergeming. Sang suami mulai curiga, dia mendekat, “Sedang masak apa, Ma?” tanyanya lagi lebih keras.
Istrinya masih tidak menoleh. Dia terus asyik memasak. Antara makin curiga dan kesal sang suami lebih mendekat lagi, “SEDANG MASAK APA, MA?” kali ini dia berteriak.
Tiba-tiba istrinya berbalik, dan sambil melotot berkata, “KAMU INI KENAPA SIH, PA?! TIGA KALI AKU BILANG SEDANG MASAK BAYAM. KAMU MASIH TANYA TERUS!!”
Ayah’s quote:
Sumber masalah kita dengan orang lain, jangan-jangan terletak dalam diri kita sendiri. Maka, sebelum menuduh orang lain begini dan begitu, baiknya kita instrospeksi dulu. Jangan sampai, selumbar di mata orang lain kelihatan; sedangkan balok di mata sendiri tidak kelihatan.
Thursday, April 27, 2006
Catatan Harian - 339
Tadi siang ketemu dengan seorang teman. Pendeta juga. Kita sudah janjian sejak seminggu yang lalu. Ia bersama seorang pemudi anggota jemaatnya.
Ceritanya begini. Pemudi itu punya trauma dengan “cowok”. Ia memutuskan untuk ngejomblo seumur hidup. Keputusannya ditentang orang tuanya. Orang tuanya itu sebetulnya bagian dari trauma ia juga. Suatu kali ia membaca buku saya: “Ngejomblo Itu Nikmat”. Ia seolah mendapat dukungan. Ia begitu terpengaruh dengan buku itu. Hingga ia membeli semua buku saya. Ia pengen ketemu dan ngobrol dengan saya. Pendeta teman saya itu memfasilitasinya.
Saya jelaskan, bahwa dengan buku itu saya ga hendak “mengagungkan” status jomblo. Ga. Yang mau saya katakan, yang penting tuh bukan statusnya; jomblo atau ga. Yang penting cara kita memandang dan menyikapinya. Ngejomblo pun bisa produktif koq, kalo kita pandang dan sikapi dengan positif.
Jadi keliru kalau kita memutlakkan, bahwa seseorang itu baiknya kawin. Sama kelirunya dengan memutlakkan, bahwa seseorang itu baiknya ngejomblo. Ngejomblo ato ga, biar itu menjadi “urusan” Tuhan. Kita jalani saja hidup ini apa adanya. Mengalir. Go with the flow. Jangan menutup diri. Tapi juga jangan mengobral diri.
Malam saya pimpin persekutuan wilayah Kayu Putih. Dilanjutkan dengan acara ramah tamah. Saya selalu menikmati suasana pesekutuan wilayah. Rasanya akrab gitu.
Ceritanya begini. Pemudi itu punya trauma dengan “cowok”. Ia memutuskan untuk ngejomblo seumur hidup. Keputusannya ditentang orang tuanya. Orang tuanya itu sebetulnya bagian dari trauma ia juga. Suatu kali ia membaca buku saya: “Ngejomblo Itu Nikmat”. Ia seolah mendapat dukungan. Ia begitu terpengaruh dengan buku itu. Hingga ia membeli semua buku saya. Ia pengen ketemu dan ngobrol dengan saya. Pendeta teman saya itu memfasilitasinya.
Saya jelaskan, bahwa dengan buku itu saya ga hendak “mengagungkan” status jomblo. Ga. Yang mau saya katakan, yang penting tuh bukan statusnya; jomblo atau ga. Yang penting cara kita memandang dan menyikapinya. Ngejomblo pun bisa produktif koq, kalo kita pandang dan sikapi dengan positif.
Jadi keliru kalau kita memutlakkan, bahwa seseorang itu baiknya kawin. Sama kelirunya dengan memutlakkan, bahwa seseorang itu baiknya ngejomblo. Ngejomblo ato ga, biar itu menjadi “urusan” Tuhan. Kita jalani saja hidup ini apa adanya. Mengalir. Go with the flow. Jangan menutup diri. Tapi juga jangan mengobral diri.
Malam saya pimpin persekutuan wilayah Kayu Putih. Dilanjutkan dengan acara ramah tamah. Saya selalu menikmati suasana pesekutuan wilayah. Rasanya akrab gitu.
Wednesday, April 26, 2006
Catatan Harian - 340b
Jam 10 janji wawancara dengan majalah dan renungan harian Imamat Rajani. Untuk edisi bulan Juli. Saya agak "gagap". Salah sih, ga minta dikirim dulu pertanyaan-pertanyaannya. Ga kepikir. Jadi ga nyiapin. Padahal ada topiknya. Seputar upah pekerja. Ada kaitan dengan demonstrasi buruh yang lagi marak. Maklum saja ini kan pengalaman baru. Namanya juga bukan selebritis :).
Siang, Dewi ada urusan ke Mangga Dua. Beli kacamata. Sekalian betulin kacamata yang lama. Jadi saya yang jemput Kezia dan Karen pulang sekolah. Repot juga jemput dua anak sendirian. Keluarnya ga bareng lagi. Beda 15 menit. Jam-jam pulang sekolah gitu mobil ‘umpel-umpelan’. Macet. Dapat parkir jauh. Dewi tiap hari tuh begitu. Pikir-pikir baik juga sesekali suami istri tuker tugas. Biar saling ngerasain susahnya masing-masing. Jadi bisa saling ngehargai gitu.
Pulang ke rumah on internet bentar. Ada imel penting. Ngantuk banget. Kurang tidur. Jam 3.30-an pewawancara dari Imamat Rajani telpon. Ada kesalahan teknis, katanya. Tape recorder tadi ga muter. Jadi wawancaranya harus diulang. Dikirim lewat email. Nah loh :). Gimana kalo yang diwawancara tokoh penting tuh
Sore ngajar kursus menulis di PPWG STTJ. Ini pertemuan ketiga dari empat kali yang direncanakan. Saya terharu dengan kesungguhan para peserta kursus. Bayangkan. Hujan deras, jalanan dimana-mana macet, mulai kursus jam 6 sore. Jam segitu kan umumnya di Jakarta orang masih di jalan pulang kantor. Tapi mereka ga absen loh. Yang dari Bogor, yang dari Cimahi. Yang dari Jakarta pun jauh-jauh; dari Surya Utama, Palsigunung, Bintaro. Wah. Wah. Bravo, rekans.
Siang, Dewi ada urusan ke Mangga Dua. Beli kacamata. Sekalian betulin kacamata yang lama. Jadi saya yang jemput Kezia dan Karen pulang sekolah. Repot juga jemput dua anak sendirian. Keluarnya ga bareng lagi. Beda 15 menit. Jam-jam pulang sekolah gitu mobil ‘umpel-umpelan’. Macet. Dapat parkir jauh. Dewi tiap hari tuh begitu. Pikir-pikir baik juga sesekali suami istri tuker tugas. Biar saling ngerasain susahnya masing-masing. Jadi bisa saling ngehargai gitu.
Pulang ke rumah on internet bentar. Ada imel penting. Ngantuk banget. Kurang tidur. Jam 3.30-an pewawancara dari Imamat Rajani telpon. Ada kesalahan teknis, katanya. Tape recorder tadi ga muter. Jadi wawancaranya harus diulang. Dikirim lewat email. Nah loh :). Gimana kalo yang diwawancara tokoh penting tuh
Sore ngajar kursus menulis di PPWG STTJ. Ini pertemuan ketiga dari empat kali yang direncanakan. Saya terharu dengan kesungguhan para peserta kursus. Bayangkan. Hujan deras, jalanan dimana-mana macet, mulai kursus jam 6 sore. Jam segitu kan umumnya di Jakarta orang masih di jalan pulang kantor. Tapi mereka ga absen loh. Yang dari Bogor, yang dari Cimahi. Yang dari Jakarta pun jauh-jauh; dari Surya Utama, Palsigunung, Bintaro. Wah. Wah. Bravo, rekans.
Catatan Harian - 340a
Hati saya galau. Jam 2.00 tidur jam 3.30 kebangun. Ga bisa tidur lagi. Baca buku ga konsen. Setel TV males. Jadi buka komputer.
Saya kepikiran terus seorang teman. Ia “teraniaya” lahir batin. Ia ingin lepas. Tapi toh ia ga juga melepaskan diri dari “penjaranya” itu. Okelah kalau ia emang ga bisa. Tapi ia bisa koq. Kalau mau. Ia punya semua prasyarat untuk hidup produktif. Okelah kalau demi sebuah mission luhur. Tapi ia, untuk apa?!
Demi reputasi? Sebegitu mahalkah sebuah reputasi? Sehingga harus dibangun di atas puing-puing hidupnya. Demi keluarga? Tapi, betulkah keluarganya setega itu; rela mendirikan kebanggaan di atas penderitaan dirinya? Melukis tawa di atas kanvas tangisan dirinya? Andai keluarganya tahu keadaan dan perasaan ia yang sesungguhnya. Tidakkah ia tengah membangun “istana mimpi” buat mereka?!
Atau karena cinta? Sebab, bukankah hanya cinta yang bisa membuat derita serasa embun sejuk? Deraan serasa belaian lembut? Dan hinaan serasa nyanyian merdu? Ah, betapa absurdnya cinta. Sumir. Dan samar.
Saya gereget sekali. Saya tahu ia ga sendiri. Saya kenal beberapa orang dalam posisi seperti ia. Secara fisik merdeka, tapi jiwa terpenjara. Terpenjara oleh harapan orang lain. Terpenjara oleh ketakutan sendiri. Terpenjara oleh cinta buta. Tuhan kiranya memaafkan ia, atas apa yang ia lakukan terhadap dirinya.
Saya kepikiran terus seorang teman. Ia “teraniaya” lahir batin. Ia ingin lepas. Tapi toh ia ga juga melepaskan diri dari “penjaranya” itu. Okelah kalau ia emang ga bisa. Tapi ia bisa koq. Kalau mau. Ia punya semua prasyarat untuk hidup produktif. Okelah kalau demi sebuah mission luhur. Tapi ia, untuk apa?!
Demi reputasi? Sebegitu mahalkah sebuah reputasi? Sehingga harus dibangun di atas puing-puing hidupnya. Demi keluarga? Tapi, betulkah keluarganya setega itu; rela mendirikan kebanggaan di atas penderitaan dirinya? Melukis tawa di atas kanvas tangisan dirinya? Andai keluarganya tahu keadaan dan perasaan ia yang sesungguhnya. Tidakkah ia tengah membangun “istana mimpi” buat mereka?!
Atau karena cinta? Sebab, bukankah hanya cinta yang bisa membuat derita serasa embun sejuk? Deraan serasa belaian lembut? Dan hinaan serasa nyanyian merdu? Ah, betapa absurdnya cinta. Sumir. Dan samar.
Saya gereget sekali. Saya tahu ia ga sendiri. Saya kenal beberapa orang dalam posisi seperti ia. Secara fisik merdeka, tapi jiwa terpenjara. Terpenjara oleh harapan orang lain. Terpenjara oleh ketakutan sendiri. Terpenjara oleh cinta buta. Tuhan kiranya memaafkan ia, atas apa yang ia lakukan terhadap dirinya.
Tuesday, April 25, 2006
Tuesday's Song - 01
JANJIMU S’PERTI FAJAR
(Penyanyi: Franky Sihombing)
Ketika kuhadapi kehidupan ini
Jalan mana yang harus kupilih
Kutahu ku tak mampu
Kutahu ku tak sanggup
Hanya Kau, Tuhan, tempat jawabku
Aku pun tahu ku tak pernah sendiri
Sebab Engkau Allah yang menggendongku
Tangan-Mu membelaiku
Cinta-Mu memuaskanku
Engkau yang mengangkatku ke tempat yang tinggi
Reff: Janji-Mu seperti fajar pagi hari
Yang tiada pernah terlambat bersinar
Cinta-Mu s’perti sungai yang mengalir
Dan kutahu betapa dalam kasih-Mu
Renungan:
Mungkin ada satu-dua episode suram dalam film kehidupan kita. Saat luka tertoreh. Galau mendera. Hari esok bergelayut mendung. Blank. Tiada daya. Dalam situasi demikian tidak ada yang bisa kita lakukan selain "berserah". Dengan satu keyakinan: kita tidak berjalan sendirian. Dia menggendong kita. Ketika daya tiada, di situ justru kita menjadi kuat. Karena kita lalu jadi bergantung kepada-Nya. Maka, berjalanlah dengan iman. Tuhan tidak akan mengecewakan. Berserah itu indah. Sungguh.
(Penyanyi: Franky Sihombing)
Ketika kuhadapi kehidupan ini
Jalan mana yang harus kupilih
Kutahu ku tak mampu
Kutahu ku tak sanggup
Hanya Kau, Tuhan, tempat jawabku
Aku pun tahu ku tak pernah sendiri
Sebab Engkau Allah yang menggendongku
Tangan-Mu membelaiku
Cinta-Mu memuaskanku
Engkau yang mengangkatku ke tempat yang tinggi
Reff: Janji-Mu seperti fajar pagi hari
Yang tiada pernah terlambat bersinar
Cinta-Mu s’perti sungai yang mengalir
Dan kutahu betapa dalam kasih-Mu
Renungan:
Mungkin ada satu-dua episode suram dalam film kehidupan kita. Saat luka tertoreh. Galau mendera. Hari esok bergelayut mendung. Blank. Tiada daya. Dalam situasi demikian tidak ada yang bisa kita lakukan selain "berserah". Dengan satu keyakinan: kita tidak berjalan sendirian. Dia menggendong kita. Ketika daya tiada, di situ justru kita menjadi kuat. Karena kita lalu jadi bergantung kepada-Nya. Maka, berjalanlah dengan iman. Tuhan tidak akan mengecewakan. Berserah itu indah. Sungguh.
Catatan Harian - 341
Siang hujan deras. Saya paling senang kalo lagi hujan begitu, duduk-duduk di teras. Lihat tetes-tetes hujan ngebasahi rumput, tanaman, pagar, halaman. Rasanya damai gitu. Dulu waktu kecil, saya suka banget main hujan-hujanan.
Saya ingat sekitar dua tahun lalu, saya dan keluarga masih tinggal di Jatimulyo, Jogja. Hujan deras. Saya ajak Kezia main hujan-hujanan. Karen masih terlalu kecil. Jadi ia ga ikutan. Kebetulan di depan rumah sawah baru habis panen. Senang banget tuh. Kami main kejar-kejaran, main bola, nyari kodok. Besoknya Kezia flu. Dewi ngomel :). Tapi Kezia ga kapok. Saya juga hehehe.
Pengen juga sih sekarang main hujan-hujanan. Cuma, kalau nanti dilihat jemaat gimana? Kalau yang ngelihat itu “netral”, ga akan jadi masalah. Lha, kalau yang ngelihat itu kebetulan punya “masalah” dengan saya, bisa jadi bahan gosip tuh. Mendingan menahan keinginan itu dalam-dalam deh :). Pendeta: 100 kepala, 100 sorotan.
Malam acara ceramah dewasa muda (DEMUDA) di gereja. Nara sumbernya Rm. Franz Magnis-Suseno. Saya moderator. Temanya seputar Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP). Yang lagi heboh pro-kontra.
Rm. Magnis dosen waktu saya kuliah di STF Driyarkara. Saya mengaguminya. Rasanya semua bukunya saya punya. Hampir semua kuliahnya saya ikuti. Ngajarnya enak. Yang sulit bisa jadi gampang dijelaskan Romo. Ia juga sangat rendah hati. Luar biasa deh. Saya pernah tiga kali jadi moderatornya. Pertama, di Kayu Putih juga. Lupa acara apa. Kedua, di Puncak. Ketika itu gereja-gereja se-Sukabumi bikin acara seputar Pemilu. Rm. Magnis jadi nara sumber. Saya diminta jadi modertaor. Ketiga, malam ini.
Saya ingat sekitar dua tahun lalu, saya dan keluarga masih tinggal di Jatimulyo, Jogja. Hujan deras. Saya ajak Kezia main hujan-hujanan. Karen masih terlalu kecil. Jadi ia ga ikutan. Kebetulan di depan rumah sawah baru habis panen. Senang banget tuh. Kami main kejar-kejaran, main bola, nyari kodok. Besoknya Kezia flu. Dewi ngomel :). Tapi Kezia ga kapok. Saya juga hehehe.
Pengen juga sih sekarang main hujan-hujanan. Cuma, kalau nanti dilihat jemaat gimana? Kalau yang ngelihat itu “netral”, ga akan jadi masalah. Lha, kalau yang ngelihat itu kebetulan punya “masalah” dengan saya, bisa jadi bahan gosip tuh. Mendingan menahan keinginan itu dalam-dalam deh :). Pendeta: 100 kepala, 100 sorotan.
Malam acara ceramah dewasa muda (DEMUDA) di gereja. Nara sumbernya Rm. Franz Magnis-Suseno. Saya moderator. Temanya seputar Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP). Yang lagi heboh pro-kontra.
Rm. Magnis dosen waktu saya kuliah di STF Driyarkara. Saya mengaguminya. Rasanya semua bukunya saya punya. Hampir semua kuliahnya saya ikuti. Ngajarnya enak. Yang sulit bisa jadi gampang dijelaskan Romo. Ia juga sangat rendah hati. Luar biasa deh. Saya pernah tiga kali jadi moderatornya. Pertama, di Kayu Putih juga. Lupa acara apa. Kedua, di Puncak. Ketika itu gereja-gereja se-Sukabumi bikin acara seputar Pemilu. Rm. Magnis jadi nara sumber. Saya diminta jadi modertaor. Ketiga, malam ini.
Monday, April 24, 2006
Catatan Harian - 342
Hari ini ga ada kegiatan penting keluar. Pagi setelah temenin Dewi antar Kezia dan Karen sekolah, saya terus di rumah. Ngetik. Ada beberapa naskah tulisan yang belum kelar. Termasuk rancangan kotbah Hari Doa Alkitab 2006 permintaan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).
Saya ini aneh. Kalo lagi santai begini, ide nulis malah susah keluar. Kalo lagi sibuk, baru deh ide mengalir. Makin sibuk makin deras. Yang begini-begini ini nih yang bikin repot. Ga klop. Tapi hidup emang ga selalu klop kan. Itulah gunanya “seni hidup” :).
Saya baca di Koran Sindo, ada “teknologi ikhlas”. Semacam program pelatihan yang bisa membuat orang hidup tanpa beban; menerima segala hal apa adanya. Asyik tuh, kalau benar. Kebahagiaan itu kan ga terletak di luar diri kita, tapi di dalam hati kita. Kalo hati kita dilimpahi rasa syukur, “ikhlas”, ga ada benci ato niat buruk terhadap orang laen, kita akan bahagia. Cuma untuk begitu tu, ya ga gampang.
Malam Dewi latihan Paduan Suara. Saya di rumah bersama Kezia dan Karen. Kita main kartu UNO. Terus main “Cacabulange”. Itu permainan anak-anak, waktu saya kecil di Bandung. Inilah saat-saat terindah dalam hidup saya. Thank God untuk Kezia dan Karen.
Saya ini aneh. Kalo lagi santai begini, ide nulis malah susah keluar. Kalo lagi sibuk, baru deh ide mengalir. Makin sibuk makin deras. Yang begini-begini ini nih yang bikin repot. Ga klop. Tapi hidup emang ga selalu klop kan. Itulah gunanya “seni hidup” :).
Saya baca di Koran Sindo, ada “teknologi ikhlas”. Semacam program pelatihan yang bisa membuat orang hidup tanpa beban; menerima segala hal apa adanya. Asyik tuh, kalau benar. Kebahagiaan itu kan ga terletak di luar diri kita, tapi di dalam hati kita. Kalo hati kita dilimpahi rasa syukur, “ikhlas”, ga ada benci ato niat buruk terhadap orang laen, kita akan bahagia. Cuma untuk begitu tu, ya ga gampang.
Malam Dewi latihan Paduan Suara. Saya di rumah bersama Kezia dan Karen. Kita main kartu UNO. Terus main “Cacabulange”. Itu permainan anak-anak, waktu saya kecil di Bandung. Inilah saat-saat terindah dalam hidup saya. Thank God untuk Kezia dan Karen.
Sunday, April 23, 2006
Catatan Harian - 343
Hari ini saya ga ada tugas khotbah. Lega. Minggu keempat sebetulnya jadwal rutin pertukaran pengkhotbah GKI se-Jabotabek. Mungkin karena dianggap “sudah pindah”, jadi saya ga dijadwalin. Senang :). Saya ke kebaktian tiga. Ikut nyambut tamu bersama penatua yang bertugas. Dewi paduan suara. Kezia dan Karen Sekolah minggu.
Siang Persidangan Majelis Jemaat. Serah terima jabatan. Saya Ketua Umum Majelis Jemaat lama, Adi Ketua Umum Majelis Jemaat baru. Lega. Jadi pengen bikin film ni. Judulnya: Selamat Tinggal Duka. Ato mungkin, seperti judul buku saya: Hidup Ini Indah. Hehehehe j/k. Selamat bertugas, Di. Selamat memikul salib.
Sore pimpin kebaktian tutup peti. Ada anggota jemaat meninggal. Seorang ibu. Dulu saya juga yang ngebaptis ia. Setiap ngehadapi peristiwa kematian saya suka kepikir gini: Sekarang saya berdiri di sini, besok lusa saya yang terbujur di sana. Di dalam peti jenazah. Bila saat itu tiba, apa kira-kira yang akan istri, anak-anak, sanak saudara, teman-teman kenangkan dari saya? Semoga “cerita indah”. Tuhan, selagi mungkin ajar saya, kalau perlu hajar saya, untuk membuat “cerita indah” dalam hidup ini.
Malam bersama beberapa teman gereja makan di seafood 212, Kelapa Gading. Dari situ mampir di La Piazza. “Kongkow” sebentar. Dewi, Kezia dan Karen ikut. Kalau nanti saya jadi pindah, suasana macam ini akan selalu saya rindukan. Bukan makannya. Tapi keakraban dan rasa sayangnya itu lho. Thx, friends. Semoga saya tidak mengecewakan mereka.
Siang Persidangan Majelis Jemaat. Serah terima jabatan. Saya Ketua Umum Majelis Jemaat lama, Adi Ketua Umum Majelis Jemaat baru. Lega. Jadi pengen bikin film ni. Judulnya: Selamat Tinggal Duka. Ato mungkin, seperti judul buku saya: Hidup Ini Indah. Hehehehe j/k. Selamat bertugas, Di. Selamat memikul salib.
Sore pimpin kebaktian tutup peti. Ada anggota jemaat meninggal. Seorang ibu. Dulu saya juga yang ngebaptis ia. Setiap ngehadapi peristiwa kematian saya suka kepikir gini: Sekarang saya berdiri di sini, besok lusa saya yang terbujur di sana. Di dalam peti jenazah. Bila saat itu tiba, apa kira-kira yang akan istri, anak-anak, sanak saudara, teman-teman kenangkan dari saya? Semoga “cerita indah”. Tuhan, selagi mungkin ajar saya, kalau perlu hajar saya, untuk membuat “cerita indah” dalam hidup ini.
Malam bersama beberapa teman gereja makan di seafood 212, Kelapa Gading. Dari situ mampir di La Piazza. “Kongkow” sebentar. Dewi, Kezia dan Karen ikut. Kalau nanti saya jadi pindah, suasana macam ini akan selalu saya rindukan. Bukan makannya. Tapi keakraban dan rasa sayangnya itu lho. Thx, friends. Semoga saya tidak mengecewakan mereka.
Saturday, April 22, 2006
Catatan Harian - 344
Tadi ke Gramedia Kelapa Gading. Ada buku yang harus dicari. Sekalian janji ketemu sama Franklin di Excelso. Ngobrolin kelanjutan skenario film yang mau dibikin. Masih mencari-cari ide yang pas; ide ceritanya, ide karakter para tokohnya. Harus yang menarik, membumi, sederhana, ga klise. Kita belum punya bahan jadi, kayak novel atau cerpen. Jadinya agak sulit memulai.
Jam 12-an pulang. Di bunderan Kelapa Gading macet. Mungkin karena ada petugas dan polisi yang ngatur hehehehe. Biasanya kalo nggak ada petugas atau polisi yang ikut campur, malah lancar koq. Huss! Nggak boleh lho berpraduga buruk begitu :). Sori. Sori.
Lepas dari perempatan Kelapa Gading, jalan Kelapa Gading juga macet. Ada pawai. Entah pawai apa. Apa pun itu, saya nggak setuju bikin acara sampai ganggu jalan umum. Pernah tuh ada demonstrasi besar-besaran. Jalan tol diblokir. Macet total. Pas waktu itu ada suami istri dalam perjalanan ke rumah sakit. Si istri mau melahirkan. Kasihan kan. Begitulah kalo orang baru bisa menuntut hak. Nggak mikir kewajiban. Nggak peduli hak orang laen. Kayak anak balita.
Siang pimpin kebaktian pemberkatan dan peneguhan nikah. Mempelai terlambat datang. Macet katanya. Kebaktian yang harusnya mulai jam dua, tertunda sampai hampir jam tiga-an. Saya suka terharu saat ngelihat mempelai peluk-pelukan sama orang tua. Apalagi kalo pake tangis-tangisan. Ingat Kezia dan Karen. Duh.
Jam 12-an pulang. Di bunderan Kelapa Gading macet. Mungkin karena ada petugas dan polisi yang ngatur hehehehe. Biasanya kalo nggak ada petugas atau polisi yang ikut campur, malah lancar koq. Huss! Nggak boleh lho berpraduga buruk begitu :). Sori. Sori.
Lepas dari perempatan Kelapa Gading, jalan Kelapa Gading juga macet. Ada pawai. Entah pawai apa. Apa pun itu, saya nggak setuju bikin acara sampai ganggu jalan umum. Pernah tuh ada demonstrasi besar-besaran. Jalan tol diblokir. Macet total. Pas waktu itu ada suami istri dalam perjalanan ke rumah sakit. Si istri mau melahirkan. Kasihan kan. Begitulah kalo orang baru bisa menuntut hak. Nggak mikir kewajiban. Nggak peduli hak orang laen. Kayak anak balita.
Siang pimpin kebaktian pemberkatan dan peneguhan nikah. Mempelai terlambat datang. Macet katanya. Kebaktian yang harusnya mulai jam dua, tertunda sampai hampir jam tiga-an. Saya suka terharu saat ngelihat mempelai peluk-pelukan sama orang tua. Apalagi kalo pake tangis-tangisan. Ingat Kezia dan Karen. Duh.
Renungan Sabtu - 01
Yudas Iskariot
Orang banyak mengenalnya. Paling tidak, pernah mendengar namanya. Bahkan sepanjang sejarah orang mengingatnya dan....... mengutuknya! Ya, siapa yang tidak tahu Yudas Iskariot, sang pengkhianat Tuhan Yesus. Namanya pun sudah identik dengan pengkhianatan. Entah berapa banyak versi drama tentang dirinya yang telah ditulis dan dipertunjukkan pada setiap masa raya Paskah.
Tetapi tahukah Anda kenapa Yudas sampai mengkhianati Tuhan Yesus, Gurunya sendiri? Pasti bukan karena uang. Sebab kalau karena uang, kenapa setelah mendapatkan uang itu ia malah membuangnya? Pula, kenapa hanya 30 uang perak? Sungguh sebuah harga yang kecil. Kalau mau, Yudas bisa mendapatkan uang lebih banyak lagi. Para pemimpin agama Yahudi ketika itu tentunya akan mau membayar berapa pun yang Yudas minta untuk menyerahkan Tuhan Yesus.
Juga pasti bukan karena Yudas membenci Tuhan Yesus. Buktinya setelah ia berhasil mencelakakan Tuhan Yesus, sebaliknya dari senang Yudas malah sedih dan menyesal. Begitu menyesalnya, sampai-sampai ia gantung diri.
Lalu Karena Apa?
Ini pertanyaan yang sulit dijawab. Lebih-lebih karena Yudas sudah terlanjur dicap buruk. Sehingga seakan-akan tidak ada kebaikan sedikit pun dalam dirinya. Orang hanya tahu Yudas itu pengkhianat. Titik. Tetapi jarang mencoba mencari tahu, kenapa Yudas sampai tega berbuat begitu.
Mari kita rekonstruksi keadaan pada masa itu.
*
Pada waktu itu bangsa Yahudi sedang dijajah oleh bangsa Romawi. Orang Yahudi memiliki pengharapan mesianis; pengharapan akan datangnya Mesias, Sang Pembebas, yang akan menjadi pemimpin nasional dan mengembalikan kejayaan mereka seperti pada masa Raja Daud. Pengharapan itu sudah muncul jauh sejak zaman pembuangan di Babel ratusan tahun yang lalu.
Di pihak lain, Tuhan Yesus adalah tokoh yang sangat populer. Dia adalah tokoh dengan kharisma sangat besar. Kata-katanya penuh kuasa. Dia begitu populer sehingga dapat menghimpun orang dalam jumlah besar. Dia juga bisa membuat banyak mujizat yang luar biasa.
Sebagai salah seorang yang dekat dengan-Nya, Yudas tentunya menyadari potensi ini. Bahkan sejak awal tampaknya Yudas sudah tahu, bahwa Tuhan Yesus bukan tokoh sembarang tokoh. Bisa jadi karena itu juga ia mau mengikuti-Nya dan menjadi murid-Nya.
Tetapi kemudian rupa-rupanya Yudas jadi kecewa. Sang Guru bukannya segera menghimpun kekuatan massa untuk mengusir penjajah Romawi, Dia malah mengajarkan tentang mengasihi musuh dan memberkati orang yang menganiaya. Sang Guru bukannya aktif dalam pergerakan revolusi, Dia malah sibuk mengurusi orang-orang miskin dan terbuang.
Padahal seperti orang-orang Yahudi lainnya, Yudas juga sangat mencintai bangsanya. Ia ingin agar bangsanya terbebas dari cengkraman penjajah Romawi. Ia rindu melihat bangsanya berkembang menjadi bangsa yang besar, seperti pada zaman Raja Daud dulu.
Tampaknya Yudas lantas berpikir begini: Mungkin Sang Guru harus dipaksa untuk menunjukkan kekuasaan-Nya. Sang Guru harus diperhadapkan pada situasi dan kondisi dimana Dia tidak dapat mengelak untuk betindak. Kalau sampai itu terjadi, Yudas sangat yakin orang banyak akan berada di belakang-Nya. Tuhan Yesus hanya tinggal memerintahkan. Dan revolusi akan pecah.
Maka dibuatlah skenario "ciuman maut" di Taman Getsemani. Dan terjadilah tragedi itu. Tragedi yang membuatnya begitu merana dan menyesal, sampai-sampai ia mengambil jalan pintas gantung diri.
Yudas tidak pernah berpikir akhirnya akan seperti itu. Ia sama sekali tidak menduga, Tuhan Yesus akan membiarkan diri-Nya ditangkap tanpa perlawanan. Ia telah salah perhitungan, ternyata ambisinya malah mengundang tragedi. Tetapi apalah artinya sesal, nasi sudah menjadi bubur.
*
Jadi sebetulnya, dalam hati Yudas tidak sedikit pun terbersit keinginan untuk mencelakakan Tuhan Yesus. Seperti para murid yang lain, ia sangat mengagumi dan hormat terhadap Gurunya itu. Yudas hanya salah langkah, telah memaksakan keinginan dan caranya sendiri untuk Tuhan Yesus lakukan. Itu saja. Sejarah telah mencatat, betapa keinginan dan ambisi pribadi yang dipaksakan terhadap orang lain kerap mengundang tragedi. Kisah Yudas hanya salah satu contoh.
Kisah Yudas juga membuktikan, bahwa cinta tidaklah bisa diwujudkan dengan menghalalkan segala cara. Pun cinta kepada bangsa dan negara. Cinta terhadap apa pun dan diapa pun tetaplah harus didasarkan pada koridor kebenaran yang berlaku. Cinta tanpa kebenaran adalah cinta yang membabi buta. Cinta yang membabi buta hanya akan menciptakan bencana.
**Dari Buku: Bersyukur Itu Indah - Ayub Yahya
Catatan Harian - 345
Jam 10 tadi ada janji konseling di gereja. Seorang Ibu. Masalah anak-anak. Derita dan bahagia orang tua kerap terletak di pundak anak-anak. Anak-anak baik, berbakti, rukun, saling sayang, orang tua bahagia. Anak-anak ga baik, nyakitin, "berantem" melulu, orang tua menderita. Semoga saya bisa menjadi anak yang membahagiakan orang tua.
Dari gereja saya pulang dulu. Makan. Terus ke Nyonya Dapur, resto di Kelapa Gading. Janji ketemu sama Frida. Saya makan es campur. Udah lama kita janjian mau "ngobrol" ga ketemu-ketemu waktunya. Ia pendeta juga. Teman seangkatan di STT. Bedanya ia di Jakarta, saya di Jogja. Saya jarang bisa "ngobrol" dengan teman pendeta. "Ngobrol" maksudnya sharing gitulah. Waktu Pak Eka Darmaputera masih kuat, saya kerap sharing dengannya. Makanya ketika Pak Eka meninggal, saya kehilangan sekali.
Dengan Frida saya suka juga sharing. Tapi, ya jaranglah. Bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Frida udah bikin rekaman kaset. Sebelumnya saya ga tau ia suka nyanyi. Ketika tau ia rekaman saya "ejek" ia, bisa rekaman karena produsernya anggota jemaat ia :). Ia sih ketawa-ketawa saja. Dan ternyata saya salah. Setelah dengar kasetnya, suaranya emang bagus. Saya harus narik "ejekan" saya.
Sebagai wujud "pengakuan dosa", saya traktir ia :). Tadi Frida ngasih kaset baru ia. Saya kasih buku baru saya. Kita ngobrolin soal gereja. Pergumulan ia ga lebih ringan dibanding saya. Tapi ia punya "keteguhan" dan "kematangan". Dua hal yang mungkin saya belum miliki.
Malam pimpin Persekutuan Jemaat di Pos Kota Wisata Cibubur. Topiknya tentang pengaruh televisi terhadap anak-anak. Jalan macet banget. Tol juga. Di Indonesia, tol = tetep ora lancar :)
Thursday, April 20, 2006
Catatan Harian - 346
Tadi pagi waktu bercermin, saya baru tersadar rambut makin tipis. Jidat makin lebar. Duh. Biasanya saya ga gitu perhatian dengan rambut. Tapi tadi agak “gentar” juga rasanya hehehe. Belum sampai UMAR sih. Masih AGUS-lah. Malah GUNAWAN koq :) Suerrr. (Keterangan: Umar = untung masih ada rambut. AGUS = agak gundul sedikit. GUNAWAN = gundul namun menawan).
Siang bawakan renungan di Persekutuan Doa Yerusalem, dekat Sport Club, Kelapa Gading. Sebelum mulai seorang pengurus ngasih tahu saya, MC-nya ga siap tampil. Lagi ada pergumulan. Jadi digantikan orang lain. Kalau pendeta bisa begitu “enak” juga, ye. Sorry, pendetanya ga jadi pimpin khotbah, lagi ada pergumulan. Sorry, pendetanya ga bisa terima konseling, lagi ngehadapi masalah berat :)). Tapi ya, mana bisa kan?!
Emang ga gampang loh. Masalah lagi bertumpuk, hati lagi ga menentu, lagi kepengen sendiri. Eh, ada yang minta konseling, minta dilawat. Atau pikiran lagi benar-benar sumpek, be-te, badan juga lagi ga sehat, capek banget. Eh, harus pimpin khotbah. Itulah salah satu wujud memikul salib dan menyangkal diri. Tapi kalau karena harus konseling, ngelawat atau khotbah sebetulnya masih oke-lah. Setidaknya masih ada “gunanya” kan. Yang celaka, kalau karena harus rapat; rapatnya yang mboten-mboten lagi. Ya, ampun. Tobat deh.
Sore ketemu Franklin Darmadi di La Piazza. Ada dua temannya yang ikut. Orang film juga. Asyik sekali ngobrol tentang film dengan orang-orang film. Saya banyak belajar dari mereka. Bukan hanya “tehnis” soal film, tapi juga pergulatan “spritual” mereka. Saya diajak bikin skenario film. Tadi kita share ide. Nanti ketemu lagi.
Pulang jemput Dewi dari latihan Paduan Suara. Ada orang tua anggota jemaat yang jatuh. Diawat di RS. Mitra Kelapa Gading. Jadi nengok dulu.
Siang bawakan renungan di Persekutuan Doa Yerusalem, dekat Sport Club, Kelapa Gading. Sebelum mulai seorang pengurus ngasih tahu saya, MC-nya ga siap tampil. Lagi ada pergumulan. Jadi digantikan orang lain. Kalau pendeta bisa begitu “enak” juga, ye. Sorry, pendetanya ga jadi pimpin khotbah, lagi ada pergumulan. Sorry, pendetanya ga bisa terima konseling, lagi ngehadapi masalah berat :)). Tapi ya, mana bisa kan?!
Emang ga gampang loh. Masalah lagi bertumpuk, hati lagi ga menentu, lagi kepengen sendiri. Eh, ada yang minta konseling, minta dilawat. Atau pikiran lagi benar-benar sumpek, be-te, badan juga lagi ga sehat, capek banget. Eh, harus pimpin khotbah. Itulah salah satu wujud memikul salib dan menyangkal diri. Tapi kalau karena harus konseling, ngelawat atau khotbah sebetulnya masih oke-lah. Setidaknya masih ada “gunanya” kan. Yang celaka, kalau karena harus rapat; rapatnya yang mboten-mboten lagi. Ya, ampun. Tobat deh.
Sore ketemu Franklin Darmadi di La Piazza. Ada dua temannya yang ikut. Orang film juga. Asyik sekali ngobrol tentang film dengan orang-orang film. Saya banyak belajar dari mereka. Bukan hanya “tehnis” soal film, tapi juga pergulatan “spritual” mereka. Saya diajak bikin skenario film. Tadi kita share ide. Nanti ketemu lagi.
Pulang jemput Dewi dari latihan Paduan Suara. Ada orang tua anggota jemaat yang jatuh. Diawat di RS. Mitra Kelapa Gading. Jadi nengok dulu.
Wednesday, April 19, 2006
Catatan Harian - 347
Tadi pagi, Franklin Darmadi telpon. Ia sutradara film. Salah satu filmnya, Ekspedisi Madewa. Ia punya rencana bikin film untuk kaum muda bernuansa Kristen. Ia pengen diskusi dengan saya. Ia sudah membaca buku saya, Ngejomblo Itu Nikmat. Dan katanya tertarik. Kita janjian mau ketemu besok sore di La Piazza.
Asyik juga. Saya tuh senang mencoba hal-hal baru. Tambah pengalaman. Tambah wawasan. Cuma jeleknya saya, kalo udah tau terus ya udah gitu. Ga nekunin. Banyak maunya, sedikit usaha :)
Sampai siang di rumah. Ga kemana-mana. Ngetik. Jam 15-an pergi pijat di Segar Sehat, Kelapa Gading. Sudah langganan. Badan pegal-pegal. Perut agak kembung. Kayaknya masuk angin. Jadi sekalian minta kerokan. Pake minyak gandapura. Sakit sih. Merah merah banget. Tapi udahnya ‘enakanlah’. Dulu saya pernah baca di Intisari, kerokan tuh ada alasan medisnya. Tapi lupa apa.
Dari pijit terus ke STTJ. Pimpin kursus menulis di Pusat Pembinaan Warga Gereja (PPWG). Saya kaget, ada peserta kursus yang dari Cimahi, Bandung. Pulang pergi. Wah. Wah. Terus ada juga satu ibu yang baru ikut kursus, ia baru selesai program doktoral. Wah. Wah. Wah. Saya sengaja memformat kursus ini banyak prakteknya. Sebab menulis kan emang ga bisa sekadar teori.
Selesai di STTJ, laper banget. Tapi saya harus terus rapat di wilayah Kelapa Gading. Bisa sampai malam lagi, nih.
Asyik juga. Saya tuh senang mencoba hal-hal baru. Tambah pengalaman. Tambah wawasan. Cuma jeleknya saya, kalo udah tau terus ya udah gitu. Ga nekunin. Banyak maunya, sedikit usaha :)
Sampai siang di rumah. Ga kemana-mana. Ngetik. Jam 15-an pergi pijat di Segar Sehat, Kelapa Gading. Sudah langganan. Badan pegal-pegal. Perut agak kembung. Kayaknya masuk angin. Jadi sekalian minta kerokan. Pake minyak gandapura. Sakit sih. Merah merah banget. Tapi udahnya ‘enakanlah’. Dulu saya pernah baca di Intisari, kerokan tuh ada alasan medisnya. Tapi lupa apa.
Dari pijit terus ke STTJ. Pimpin kursus menulis di Pusat Pembinaan Warga Gereja (PPWG). Saya kaget, ada peserta kursus yang dari Cimahi, Bandung. Pulang pergi. Wah. Wah. Terus ada juga satu ibu yang baru ikut kursus, ia baru selesai program doktoral. Wah. Wah. Wah. Saya sengaja memformat kursus ini banyak prakteknya. Sebab menulis kan emang ga bisa sekadar teori.
Selesai di STTJ, laper banget. Tapi saya harus terus rapat di wilayah Kelapa Gading. Bisa sampai malam lagi, nih.
Tuesday, April 18, 2006
Catatan Harian - 348
Tadi pagi agak kacau. Hati saya ga tau kenapa, ga nyaman gitu. Saya juga harus ‘beresin’ tesis. Awal Mei sidang. Harusnya, tesis sudah diserahkan ke dosen minggu lalu. Tapi saya ga kerja-kerjain. Saya repot sekali dengan banyak hal. Salah saya juga sih, harusnya bisa bilang ‘ga’. Ga semua permintaan ‘tugas’ mesti diiyakan kan.
Waktu lagi ngerjain tesis, telpon terus berdering. Duh. Yang minta kotbah. Yang tanya ini itu. Yang minta ketemu. Yang minta dilawat anaknya sakit. Yang minta surat keringanan uang sekolah. Duh. Duh. Duh. Padahal untuk sampai pada "mau" ngerjain tesis bagi saya ga gampang lho. Saya benar-benar ‘berbeban berat’ dengan tesis. Begitu beratnya, sampai baru niat mau ngerjain saja, perut langsung mual. Stres saya. Pertarungan antara tanggung jawab dan hati nurani. Susah, susah, susah. Bukan saya ga bisa. Masalahnya hati ini, lho. Bener deh, seandainya mungkin biar cawan ini lalu. Tapi ya, saya harus meminumnya.
Jam 9 sudah harus berangkat, bersama beberapa penatua melayani perjamuan kudus ke rumah-rumah. Orang-orang tua yang sudah ga bisa lagi ke gereja. Ada 8 orang. Terpaksa deh, itu tesis ditinggal lagi. Sampai siang menjelang sore. Oh ya, tadi juga Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) telpon. Saya lupa belum kirim rancangan kotbah untuk Hari Doa Alkitab. Tahun ini saya yang diminta untuk bikin.
Malam pimpin PA di GKI Bektim. Ga segrogi minggu lalu :). Pulangnya, di Rawamangun jalan macet. Sebelah jalan di tutup. Dipake entah buat acara apa. Ada panggung. Jadi jalan yang biasanya searah dijadiin dua arah. Heran deh. Koq bisa-bisanya bikin acara dengan nutup jalan umum. Berapa banyak tuh orang yang jadi susah. Ga mikir kepentingan orang laen.
Dari GKI Bektim terus ke gereja, ada janji percakapan dengan calon mempelai. Suka susah cari waktu. Jadi kadang janji percakapan pribadi begini bisanya malam-malam
Waktu lagi ngerjain tesis, telpon terus berdering. Duh. Yang minta kotbah. Yang tanya ini itu. Yang minta ketemu. Yang minta dilawat anaknya sakit. Yang minta surat keringanan uang sekolah. Duh. Duh. Duh. Padahal untuk sampai pada "mau" ngerjain tesis bagi saya ga gampang lho. Saya benar-benar ‘berbeban berat’ dengan tesis. Begitu beratnya, sampai baru niat mau ngerjain saja, perut langsung mual. Stres saya. Pertarungan antara tanggung jawab dan hati nurani. Susah, susah, susah. Bukan saya ga bisa. Masalahnya hati ini, lho. Bener deh, seandainya mungkin biar cawan ini lalu. Tapi ya, saya harus meminumnya.
Jam 9 sudah harus berangkat, bersama beberapa penatua melayani perjamuan kudus ke rumah-rumah. Orang-orang tua yang sudah ga bisa lagi ke gereja. Ada 8 orang. Terpaksa deh, itu tesis ditinggal lagi. Sampai siang menjelang sore. Oh ya, tadi juga Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) telpon. Saya lupa belum kirim rancangan kotbah untuk Hari Doa Alkitab. Tahun ini saya yang diminta untuk bikin.
Malam pimpin PA di GKI Bektim. Ga segrogi minggu lalu :). Pulangnya, di Rawamangun jalan macet. Sebelah jalan di tutup. Dipake entah buat acara apa. Ada panggung. Jadi jalan yang biasanya searah dijadiin dua arah. Heran deh. Koq bisa-bisanya bikin acara dengan nutup jalan umum. Berapa banyak tuh orang yang jadi susah. Ga mikir kepentingan orang laen.
Dari GKI Bektim terus ke gereja, ada janji percakapan dengan calon mempelai. Suka susah cari waktu. Jadi kadang janji percakapan pribadi begini bisanya malam-malam
Monday, April 17, 2006
Catatan Harian - 349
Siang saya pimpin Paskahan PT BFI Finance di Kebon Sirih. Acaranya sederhana. Nyanyi dua lagu. Terus renungan. Nyanyi lagi. Doa syafaat. Lalu makan bersama. Selesai.
Saya senang acara-acara yang sederhana. Ga formal-formalan; sambutan ini sambutan itu. Ga bertele-tele. Seolah semua mau ditampilin, semua lagu mau dinyanyiin. Jadinya ga fokus. Sederhana itu indah:). Tapi sederhana yang berisi, lho
Sore nonton Ice Age 2 di Gading XXI sama Dewi dan anak-anak. Lihat ekstranya menarik. Resensinya di majalah oke. Semua teman yang sudah nonton juga bilang bagus. Kezia sebetulnya ga mau nonton. Karen sih mau. Kami rayu-rayu Kezia. Pake sedikit ancaman pula. Ga ikut nonton ga dibeliin buku. Akhirnya ia mau.
Tapi di bioskop ia ga nikmati. Bentar-bentar tanya, kapan selesai filmnya. Kemudian ia malah minta dipangku. Takut, katanya. Kami salah juga sih. Nonton kan keinginan kami, bukan keinginan Kezia. Filmnya emang bagus. Tapi itu menurut kami. Ga berarti bagus juga menurut Kezia. Salah satu kesalahan orang tua, maksain anak-anak harus begini begitu. Memandang hanya dari sudut pandang ortu. Walau atas nama sayang. Maafin Papa Mama, ya Kez :(
Pulang nonton tadinya Dewi mau latihan Paduan Suara. Tapi ada tugas sekolah Kezia yang belum beres. Ya, ga jadi, deh. Zaman sekarang, anak sekolah, orang tua ikut sibuk :).
Saya senang acara-acara yang sederhana. Ga formal-formalan; sambutan ini sambutan itu. Ga bertele-tele. Seolah semua mau ditampilin, semua lagu mau dinyanyiin. Jadinya ga fokus. Sederhana itu indah:). Tapi sederhana yang berisi, lho
Sore nonton Ice Age 2 di Gading XXI sama Dewi dan anak-anak. Lihat ekstranya menarik. Resensinya di majalah oke. Semua teman yang sudah nonton juga bilang bagus. Kezia sebetulnya ga mau nonton. Karen sih mau. Kami rayu-rayu Kezia. Pake sedikit ancaman pula. Ga ikut nonton ga dibeliin buku. Akhirnya ia mau.
Tapi di bioskop ia ga nikmati. Bentar-bentar tanya, kapan selesai filmnya. Kemudian ia malah minta dipangku. Takut, katanya. Kami salah juga sih. Nonton kan keinginan kami, bukan keinginan Kezia. Filmnya emang bagus. Tapi itu menurut kami. Ga berarti bagus juga menurut Kezia. Salah satu kesalahan orang tua, maksain anak-anak harus begini begitu. Memandang hanya dari sudut pandang ortu. Walau atas nama sayang. Maafin Papa Mama, ya Kez :(
Pulang nonton tadinya Dewi mau latihan Paduan Suara. Tapi ada tugas sekolah Kezia yang belum beres. Ya, ga jadi, deh. Zaman sekarang, anak sekolah, orang tua ikut sibuk :).
Catatan Harian - 350b
Ke Bogor ditemani Dewi. Ia yang nyetir. Saya masih ngantuk. Tadi istirahat cuma sempet "meluruskan badan". Ga bisa tidur. Ini salah satu “enaknya” punya istri hehehe j/k. Tiba di GKI Pengadilan hampir jam 17.00.
Kebaktian Paskah sore ada dramanya. Pengantar khotbah. Dramanya oke. Ceritanya sederhana. Ga njelimet. Pesannya jelas. Dan dalam. Tentang keluarga yang punya anak cacat mental. Sang bapak terus menyesali. Ia malu. Sedang sang ibu sabar dan tetap bisa gembira. “Kalo Tuhan memilih kita menjadi orang tua dari anak yang cacat, mestinya kita bersyukur. Tandanya kita punya kelebihan,” kata sang ibu. Dipikir dan dirasa benar juga.
Selesai kebaktian hujan deras. Hujan di Bogor mah biasa. Teu aneh. Saya diajak Marno dan beberapa pengurus berdiskusi soal pengembangan Pos Jemaat Taman Yasmin. Sambil makan di Cafe Gumati. Marno, teman saya. Ia dulu guru Sekolah Minggu di GKI Kayu Putih. Sekarang aktif di GKI Bogor. Ketua Komisi Anak. Ia yang ngajar saya nyetir mobil. Beberapa waktu yang lalu Marno bercerita tentang pergumulan Pos Jemaat Taman Yasmin. Ia dan beberapa pengurus lalu ngajak saya berdiskusi. Saya sangat senang punya kesempatan “share mimpi” tentang gereja. Akhirnya ada juga orang-orang yang mau dengerin mimpi saya :).
Mimpi saya tentang gereja sederhana. “Kedalam” gereja itu punya makna bagi warga jemaatnya. Mereka merasa enjoy beribadah; bukan semacam rutinitas tanpa arti. Enjoy beraktivitas; berelasi positif satu sama lain. Gereja betul-betul dapat menjadi “rumah kedua”. Dirindukan. “Keluar” gereja itu menjadi gereja yang memberi. Sehingga masyarakat di sekitar merasakan kehadirannya. Sesederhana itu. Walau penjelasannya bisa panjang bin lebar.
Kebaktian Paskah sore ada dramanya. Pengantar khotbah. Dramanya oke. Ceritanya sederhana. Ga njelimet. Pesannya jelas. Dan dalam. Tentang keluarga yang punya anak cacat mental. Sang bapak terus menyesali. Ia malu. Sedang sang ibu sabar dan tetap bisa gembira. “Kalo Tuhan memilih kita menjadi orang tua dari anak yang cacat, mestinya kita bersyukur. Tandanya kita punya kelebihan,” kata sang ibu. Dipikir dan dirasa benar juga.
Selesai kebaktian hujan deras. Hujan di Bogor mah biasa. Teu aneh. Saya diajak Marno dan beberapa pengurus berdiskusi soal pengembangan Pos Jemaat Taman Yasmin. Sambil makan di Cafe Gumati. Marno, teman saya. Ia dulu guru Sekolah Minggu di GKI Kayu Putih. Sekarang aktif di GKI Bogor. Ketua Komisi Anak. Ia yang ngajar saya nyetir mobil. Beberapa waktu yang lalu Marno bercerita tentang pergumulan Pos Jemaat Taman Yasmin. Ia dan beberapa pengurus lalu ngajak saya berdiskusi. Saya sangat senang punya kesempatan “share mimpi” tentang gereja. Akhirnya ada juga orang-orang yang mau dengerin mimpi saya :).
Mimpi saya tentang gereja sederhana. “Kedalam” gereja itu punya makna bagi warga jemaatnya. Mereka merasa enjoy beribadah; bukan semacam rutinitas tanpa arti. Enjoy beraktivitas; berelasi positif satu sama lain. Gereja betul-betul dapat menjadi “rumah kedua”. Dirindukan. “Keluar” gereja itu menjadi gereja yang memberi. Sehingga masyarakat di sekitar merasakan kehadirannya. Sesederhana itu. Walau penjelasannya bisa panjang bin lebar.
Sunday, April 16, 2006
Catatan Harian - 350a
Pagi ikut kebaktian Paskah subuh jam 4.30 berdua Dewi. Jarang-jarang kami bisa ikut kebaktian bareng berdua. Biasanya kan kalo hari minggu saya ‘tugas’. Resiko jabatan :). Kalo pun kebaktiannya sama, duduknya ga bareng. Saya pimpin kebaktian, Dewi nyanyi dengan Paduan Suara atau jadi penerima tamu.
Jadwal keseharian rutin pendeta tuh ga umum. Kalo yang laen Sabtu Minggu kosong, pendeta justru sibuk. Kalo yang laen Senin sibuk, pendeta relatif kosong. Yang susah nyesuain waktu dengan anak-anak. Acara-acara keluarga di mal atau hiburan di tempat-tempat rekreasi, biasanya Sabtu atau Minggu. Jadi ga bisa ikut. Kalo mau jalan-jalan bisanya Senin. Tapi Senin justru mal atau tempat rekreasi sepi. Jadi ga ‘seru’:).
Jam 8 bersama anak-anak Pra Remaja ke Taman Buah Mekar Sari (TBMS). Paskahan. Saya pimpin ibadahnya. Dilanjutkan permainan-permainan sampai siang. TBMS dirintis oleh Ibu Tien Soeharto. Mulai didirikan sekitar Bulan Oktober 1991. Luas 264 ha. Tiga kali luas Kebun Raya Bogor. Ada sekitar 736 varietas tanaman buah. Untuk acara-acara outdoor boleh juga tuh. Tadi pun saya lihat, ada beberapa gereja laen yang adain acara paskahan di sana. TBMS, seperti juga TMII (Taman Mini Indonesia Indah), bisa dibilang salah satu peninggalan Orde Baru yang oke :)
Pulang sesudah makan siang. Saya ngantuk banget. Mana harus nyetir. Untung jalanan lancar. Keluar TBMS-nya saja yang agak tersendat. Anterin anak-anak pra-remaja yang ikut mobil saya ke gereja. Sampai rumah jam 14.30. Istirahat bentar. Jam 15.30 harus berangkat lagi ke Bogor. Jam 17.00 pimpin kebaktian Paskah di GKI Pengadilan, Bogor.
Jadwal keseharian rutin pendeta tuh ga umum. Kalo yang laen Sabtu Minggu kosong, pendeta justru sibuk. Kalo yang laen Senin sibuk, pendeta relatif kosong. Yang susah nyesuain waktu dengan anak-anak. Acara-acara keluarga di mal atau hiburan di tempat-tempat rekreasi, biasanya Sabtu atau Minggu. Jadi ga bisa ikut. Kalo mau jalan-jalan bisanya Senin. Tapi Senin justru mal atau tempat rekreasi sepi. Jadi ga ‘seru’:).
Jam 8 bersama anak-anak Pra Remaja ke Taman Buah Mekar Sari (TBMS). Paskahan. Saya pimpin ibadahnya. Dilanjutkan permainan-permainan sampai siang. TBMS dirintis oleh Ibu Tien Soeharto. Mulai didirikan sekitar Bulan Oktober 1991. Luas 264 ha. Tiga kali luas Kebun Raya Bogor. Ada sekitar 736 varietas tanaman buah. Untuk acara-acara outdoor boleh juga tuh. Tadi pun saya lihat, ada beberapa gereja laen yang adain acara paskahan di sana. TBMS, seperti juga TMII (Taman Mini Indonesia Indah), bisa dibilang salah satu peninggalan Orde Baru yang oke :)
Pulang sesudah makan siang. Saya ngantuk banget. Mana harus nyetir. Untung jalanan lancar. Keluar TBMS-nya saja yang agak tersendat. Anterin anak-anak pra-remaja yang ikut mobil saya ke gereja. Sampai rumah jam 14.30. Istirahat bentar. Jam 15.30 harus berangkat lagi ke Bogor. Jam 17.00 pimpin kebaktian Paskah di GKI Pengadilan, Bogor.
Saturday, April 15, 2006
Catatan Harian - 351
Kemarin ada teman ulang tahun. Malamnya dirayain di Eiteen, La Piazza, Kelapa Gading. Makan-makan. Seperti biasa pendeta, kalo ga kebagian bawakan renungan, ya pimpin doa :).
Saya suka heran, deh dengan yang namanya perayaan ulang tahun. Ulang tahun kan peristiwa alami. Bukan sebuah prestasi. Lha, koq dirayain? Lagian, apa coba bedanya hari ulang tahun dengan hari-hari lain. Kecuali hari itu genap usia sekian tahun. Itu saja. Bagi saya pribadi, ulang tahun tu peringatan, bahwa waktu kita di dunia makin terbatas. Makanya kalo ulang tahun saya lebih senang menyepi. Sekadar buat introspeksi dan evaluasi diri. Apa hidup saya selama ini udah benar? Apa yang mesti di ubah? Dan apa rencana saya ke depan? Target saya pribadi setahun ini? Buat keluarga? Gereja? Masyarakat?
Tadi pagi saya ikut jalan santai di Ancol dengan jemaat wilayah Kelapa Gading Utara. Dewi, Kezia, Karen ikut. Berangkat dari rumah jam 5.30 naik mobil. Banyak juga orang yang jalan pagi di Ancol. Tua, muda, anak-anak. Ada teman yang katanya hampir setiap hari sabtu jalan pagi di Ancol. Emang asyik juga sih, pagi-pagi jalan santai rame-rame di pinggir pantai Ancol. Sayang air lautnya kotor.
Pulang dari Ancol saya ketemu teman mantan pendeta. Ia dulu pendeta GKI. Karena suatu hal ia harus tanggalkan kependetaannya. Kita ngobrol sebentar. Ia bilang, ia lebih happy sekarang. Ga mesti jadi orang munafik. Ga mesti boongin jemaat. Saya agak tersentak dengar ia bilang begitu. Kalo betul ia begitu, berarti ia sudah jadi orang “merdeka”. Puji Tuhan. Tapi kalo cuma omdo alias omong doang. Semoga Tuhan mengampuninya:)
Saya suka heran, deh dengan yang namanya perayaan ulang tahun. Ulang tahun kan peristiwa alami. Bukan sebuah prestasi. Lha, koq dirayain? Lagian, apa coba bedanya hari ulang tahun dengan hari-hari lain. Kecuali hari itu genap usia sekian tahun. Itu saja. Bagi saya pribadi, ulang tahun tu peringatan, bahwa waktu kita di dunia makin terbatas. Makanya kalo ulang tahun saya lebih senang menyepi. Sekadar buat introspeksi dan evaluasi diri. Apa hidup saya selama ini udah benar? Apa yang mesti di ubah? Dan apa rencana saya ke depan? Target saya pribadi setahun ini? Buat keluarga? Gereja? Masyarakat?
Tadi pagi saya ikut jalan santai di Ancol dengan jemaat wilayah Kelapa Gading Utara. Dewi, Kezia, Karen ikut. Berangkat dari rumah jam 5.30 naik mobil. Banyak juga orang yang jalan pagi di Ancol. Tua, muda, anak-anak. Ada teman yang katanya hampir setiap hari sabtu jalan pagi di Ancol. Emang asyik juga sih, pagi-pagi jalan santai rame-rame di pinggir pantai Ancol. Sayang air lautnya kotor.
Pulang dari Ancol saya ketemu teman mantan pendeta. Ia dulu pendeta GKI. Karena suatu hal ia harus tanggalkan kependetaannya. Kita ngobrol sebentar. Ia bilang, ia lebih happy sekarang. Ga mesti jadi orang munafik. Ga mesti boongin jemaat. Saya agak tersentak dengar ia bilang begitu. Kalo betul ia begitu, berarti ia sudah jadi orang “merdeka”. Puji Tuhan. Tapi kalo cuma omdo alias omong doang. Semoga Tuhan mengampuninya:)
Friday, April 14, 2006
Catatan Harian - 352
Kemarin malam hujan gede banget. Di beberapa daerah banjir. Jalan-jalan macet. Tol dari Ancol arah Cawang kendaraan ga bisa bergerak. Lucunya pintu tol tetap di buka. Cari untung mbok ya jangan di atas kesulitan orang laen.
Saya sebetulnya pengen ikut acara Kamis Hening di gereja. Tapi ada teman yang pengen ketemu. Ia sedang punya masalah besar dengan istrinya. Ia pengen ngobrol. Mendesak pula. Karena ga ada waktu laen, jadi ‘terpaksa’ saya ga ikut Kamis Hening. Kadang saya heran deh, dengan orang. Ia tau itu tuh salah. Bahkan bisa menjerumuskan dan menghancurkan diri sendiri. Lha koq, tetap saja dilakukan. Akal sehat ga berfungsi. Yang ngendaliin hanya rasa. Tapi kadang saya juga begitu. Duh, ampun, Tuhan.
Pagi saya pimpin kebaktian Jumat Agung. Ada Perjamuan Kudus tiga kali. Jam 6.30, 8.30 dan 11.00. Bisa jadi ini Perjamuan Kudus terakhir saya di GKI Kayu Putih. Jadi ingat lukisan "The Last Supper"-nya Leonardo da Vinci. Kebaktian kedua jemaat yang datang, seperti biasa kalo ada momen khusus, membludak. Sampai banyak duduk di tangga dan di bawah tenda. Pas ketika salaman dengan jemaat selesai kebaktian, hujan turun deras. Macet deh di pintu pagar. Kebaktian ketiga hujan udah berhenti. Jemaat yang datang juga membludak. Saya terharu melihat antusiasme jemaat untuk beribadah. Sampai mau duduk di tangga dan di bawah tenda.
Jemaat secara umum itu ga neko-neko, koq. Mereka hanya pengen beribadah kepada Tuhan. Dan rohaninya disegarkan. Itu saja. Yang neko-neko, yang bikin ‘trouble’, yang bikin gereja jadi tempat ga sejahtera, ladang gosip, sumber pertentangan, kan para aktivis dan pejabat gerejawinya. Termasuk pendetanya :)
Bapa, ampuni kami, sebab kami tidak (mau) tau apa yang kami perbuat. Selesai kebaktian seperti biasa, rasanya lega banget. Thank God!
Saya sebetulnya pengen ikut acara Kamis Hening di gereja. Tapi ada teman yang pengen ketemu. Ia sedang punya masalah besar dengan istrinya. Ia pengen ngobrol. Mendesak pula. Karena ga ada waktu laen, jadi ‘terpaksa’ saya ga ikut Kamis Hening. Kadang saya heran deh, dengan orang. Ia tau itu tuh salah. Bahkan bisa menjerumuskan dan menghancurkan diri sendiri. Lha koq, tetap saja dilakukan. Akal sehat ga berfungsi. Yang ngendaliin hanya rasa. Tapi kadang saya juga begitu. Duh, ampun, Tuhan.
Pagi saya pimpin kebaktian Jumat Agung. Ada Perjamuan Kudus tiga kali. Jam 6.30, 8.30 dan 11.00. Bisa jadi ini Perjamuan Kudus terakhir saya di GKI Kayu Putih. Jadi ingat lukisan "The Last Supper"-nya Leonardo da Vinci. Kebaktian kedua jemaat yang datang, seperti biasa kalo ada momen khusus, membludak. Sampai banyak duduk di tangga dan di bawah tenda. Pas ketika salaman dengan jemaat selesai kebaktian, hujan turun deras. Macet deh di pintu pagar. Kebaktian ketiga hujan udah berhenti. Jemaat yang datang juga membludak. Saya terharu melihat antusiasme jemaat untuk beribadah. Sampai mau duduk di tangga dan di bawah tenda.
Jemaat secara umum itu ga neko-neko, koq. Mereka hanya pengen beribadah kepada Tuhan. Dan rohaninya disegarkan. Itu saja. Yang neko-neko, yang bikin ‘trouble’, yang bikin gereja jadi tempat ga sejahtera, ladang gosip, sumber pertentangan, kan para aktivis dan pejabat gerejawinya. Termasuk pendetanya :)
Bapa, ampuni kami, sebab kami tidak (mau) tau apa yang kami perbuat. Selesai kebaktian seperti biasa, rasanya lega banget. Thank God!
Thursday, April 13, 2006
Catatan Harian - 353
Hari ini agak legaan. Kezia dan Karen libur sekolah. Pagi main sepeda-an sama Karen. Kezia ga ikut. Mo main komputer. Inilah saat-saat yang paling saya dambakan. Bersama keluarga,menyambut pagi dengan pikiran ga dibebani tugas. Mungkin kelak kalo sudah bisa bebas secara finansial bisa sering-sering begini hehehe j/k.
Siang rekaman buat acara Renungan Embun Pagi RPK. Akan disiarkan hari senin jam lima pagi. Saya isi tiga kali hari senin berturut-turut. RPK tu radio yang didirikan orang-orang GKI, tapi jarang dimanfaatin dan diperhatikan oleh jemaat-jemaat GKI.
Sayang sebetulnya. Pelayanan radio sangat strategis. Jangkauan lebih luas. Dulu saya dan beberapa teman pernah ngisi acara interaktif Seputar Anak Muda (SENADA). Tapi ga lanjut. Ga kepegang. Habis, kita ga cuma membawakan; setiap Kamis jam 9-11 malam. Live. Tapi juga harus mikirin dan persiapkan materinya. Belum cari narasumber. Repot. Kerap emang bikin sesuatu itu gampang, yang susah ngerawat dan ngembanginnya.
Siang rekaman buat acara Renungan Embun Pagi RPK. Akan disiarkan hari senin jam lima pagi. Saya isi tiga kali hari senin berturut-turut. RPK tu radio yang didirikan orang-orang GKI, tapi jarang dimanfaatin dan diperhatikan oleh jemaat-jemaat GKI.
Sayang sebetulnya. Pelayanan radio sangat strategis. Jangkauan lebih luas. Dulu saya dan beberapa teman pernah ngisi acara interaktif Seputar Anak Muda (SENADA). Tapi ga lanjut. Ga kepegang. Habis, kita ga cuma membawakan; setiap Kamis jam 9-11 malam. Live. Tapi juga harus mikirin dan persiapkan materinya. Belum cari narasumber. Repot. Kerap emang bikin sesuatu itu gampang, yang susah ngerawat dan ngembanginnya.
Cermin - 06
Sukses
Sukses kerap tergantung pada ketepatan pilihan kita. Dan komitmen kita terhadap apa yang kita pilih itu.
Michael Owen, di Liverpool ia adalah pujaan. Selalu jadi pilihan utama. Boleh dibilang ia adalah anak emas Anfield, stadion kebanggaan kesebelasan Liverpoool. Kemudian ia memilih hijrah ke Real Madrid, kesebelasan bertabur bintang asal Spanyol. Waktu itu Liverpool tertatih-tatih, baik di kompetisi lokal maupun Eropa. Dengan maksud mengepakkan sayap Owen pindah ke Madrid.
Apa yang terjadi? Ia malah lebih banyak jadi pemain cadangan. Padahal prestasinya lumayan bagus. Selain di Real ia mencetak sembilan gol. Tapi ia kalah besaing dengan Raul Gonzales dan Ronaldo. Real Madrid sendiri kemudian terseok-seok; baik di kompetisi lokal, maupun Eropa. Justru Liverpool yang tak diduga-duga malah jadi juara Liga Champions Eropa.
Owen pun hanya bertahan satu musim di Real. Ia kembali ke Premiership. Newcastle tempatnya berlabuh. Tapi malang tak dapat diraih. Di klub barunya ia tidak berkembang juga. Malah cedera panjang menghantamnya. Poor Michael Owen.
Lain Owen lain Diego Forlan, pesebakbola asal Uruguay. Dengan optimisme besar ia memilih Manchester United. Tapi kariernya tidak berkembang. Kerap bikin blunder. Alhasil ia pun lebih sering jadi pemain cadangan. Sampai-sampai ada joke Diego for loan (untuk dipinjamkan). Gagal total.
Forlan kemudian “dijual” ke Villareal, Spanyol. Apa yang terjadi? Berhasil. Di klub barunya itu permainannya berkembang. Ia pun jadi andalan klubnya di lini depan. Tidak tanggung-tanggung ia menjadi pencetak gol terbanyak di musim pertamanya. 25 gol. Sama dengan Thiery Henrry di Arsenal. Mereka berdua mendapat sepatu emas, sebagai top scorer Eropa.
Maka, bijaklah memilih. Dan bajiklah melangkah di dalam pilihan itu. Sukses tak akan jauh-jauh.
Subscribe to:
Posts (Atom)